Terus Beraktivitas di Tengah Klaim KLHK untuk Evaluasi, PT Flobamor Gandeng TWNC Milik Tomy Winata

PT Flobamor melakukan pelatihan untuk warga dari Pulau Komodo, menggandeng Tambling Wildlife Nature Conservation (TWNC), kawasan yang dikelola perusahaan yang berafiliasi dengan grup bisnis milik pengusaha Tomy Winata, sosok yang dikenal memiliki hubungan personal dan bisnis dengan Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat.

Floresa.co – PT Flobamor masih terus beraktivitas di kawasan Taman Nasional [TN] Komodo demi merealisasikan upaya memegang kendali pengurusan jasa wisata di kawasan itu. Langkah itu ditempuh di tengah masih kuatnya penolakan kelompok sipil, termasuk warga di Pulau Komodo dan janji dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] baru-baru ini untuk meninjau kembali izin perusahan itu.

Pekan lalu, Kamis, 29 September, BUMD milik Provinsi NTT itu mengadakan pelatihan untuk naturalist guide atau ranger di Pulau Padar bagian utara.

Dalam kegiatan yang diikuti 15 warga Desa Komodo itu, PT Flobamor menggandeng pihak Balai TN Komodo [BTNK] dan pelatih dari Tambling Wildlife Nature Conservation (TWNC), kawasan yang dikelola perusahaan yang berafiliasi dengan grup bisnis milik pengusaha Tomy Winata, yang dikenal memiliki kedekatan personal dan bisnis dengan Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat.

Pelatihan itu digelar setelah sebelumnya pada 28 September PT Flobamor melayangkan sebuah surat undangan kepada beberapa pihak, seperti Bupati Manggarai Barat, Kepala BTNK, Camat Komodo, Kepala Desa Komodo, Ketua Badan Pemusyawaratan Desa [BPD] Komodo, Ketua Lembaga LKD Desa Komodo, dan Ketua Lembaga Adat Desa Komodo.

PT Flobamor mengklaim telah mengantongi Izin Penguasaan Penyediaan Jasa Wisata Alam (IUPJWA) untuk mengelola  jasa pariwisata di Pulau Komodo, Pulau Padar serta perairan sekitarnya, di mana dia menaikkan biaya akses masuk secara drastis wilayah yang berada di bawah penguasaanya, yaitu Rp 3.75 juta per orang dan 15 juta per empat orang dengan sistem keanggotaan yang berlaku selama satu tahun. Kebijakan ini yang semula mau diterapkan pada 1 Agustus 2022 diundur ke tahun depan.

Dari dokumen Perjanjian Kerjasama antara PT Flobamor dan pihak KLHK, disebutkan juga bahwa perusahaan itu diberi wewenang untuk mengelola lahan seluas 712,12 hektar yang tersebar di sejumlah titik Pulau Padar dan Pulau Komodo.  Hingga kini belum diketahui apa saja jenis usaha pariwisata yang akan dijalankan.

Lokasi Luas
Loh Sebita 304,42 hektar
Loh Liang 87,33 hektar
Kampung Komodo 88,02 hektar
Loh Wau 136,54 hektar
Padar Selatan 1,27 hektar
Padar Utara 26,31 hektar
Pink Beach 54,83 hektar
Total 712,12 hektar

 Lahan yang dikuasai oleh PT Flobamor di TN Komodo. (Sumber: Dokumen Perjanjian Kerja Sama antara BTNK dan PT Flobamor).

Sementara itu, pihak KLHK telah menyatakan dalam rapat di Komisi IV DPR RI bahwa izin perusahaan itu sedang dievaluasi. Hal itu disampaikan Sekjen KLHK sekaligus Plt Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), Bambang Hendroyono dalam rapat pada 22 Agustus 2021 di Komisi IV. Pernyataan tesebut ditegaskan kembali oleh Menteri LHK, Siti Nurbaya Bakar dalam dalam rapat pada 5 September 2022.

Klaim PT Flobamor

Direktur Operasional PT FLobamor, Abner E. R. Ataupah mengatakan bahwa pelatihan bagi warga Pulau Komodo itu bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan terhadap wisatawan serta regenerasi dalam menjaga dan merawat kawasan TN Komodo.

Pelatihan bersama BTNK dan TWNC ini, jelas Abner, adalah wujud nyata kolaborasi Kementerian LHK dengan Pemerintah Provinsi NTT.

“Karena itu hari ini kami dengan pihak BTNK menjalankan program bersama yaitu pemberdayaan masyarakat dengan mengadakan pelatihan naturalist guide bagi warga di kawasan TNK”, ungkapnya, seperti dilansir dari Insideflores.id.

Abner juga mengharapkan keseriusan dari para peserta program pemberdayaan tahap pertama yang membahas pengenalan kawasan dan materi konservasi itu.

“Ini adalah Rumah kalian, tempat kalian, tanah kelahirannya kalian, warisan nenek moyang kalian, karena itu ikuti dengan baik sehingga outputnya nanti kalian bisa jalankan,” tambahnya.

Sementara itu, Urbanus Sius, Kepala Seksi Wilayah III BTNK mengklaim dukungan penuh dari warga Desa Komodo terhadap kegiatan tersebut karena dihadiri oleh para tokoh desa itu.

Senada dengan Abner, Urbanus mengatakan bahwa kegiatan tersebut adalah bentuk kerja sama nyata dengan PT Flobamor sebab BTNK membutuhkan bantuan perusahaan milik Pemprov NTT itu dalam memperkuat pelayanan serta pengawasan bagi wisatawan.

“Komitmen kami dengan PT Flobamor ialah semua aktivitas yang berlangsung di kawasan dilakukan oleh warga yang ada di kawasan. Ini menjadi prioritas kami. Meski ada yang dari luar, tetapi mayoritas harus saudara-saudara yang ada di kawasan”, ungkapnya.

Sandy dan Tahar, wakil peserta pelatihan berjanji akan menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya.

“Yang terpenting, pekerjaan ini membawa dampak baik bagi seluruh masyarakat Pulau Komodo, pasti kita dukung,” katanya.

Aparat Desa: Kami Tetap Menolak

Penyelenggaraan pelatihan ini dilakukan di tengah masih kuatnya penolakan oleh warga Pulau Komodo terhadap kehadiran PT Flobamor, termasuk oleh aparat desa di pulau itu.

Ismail, Sekretaris Desa Komodo mengatakan, mengetahui adanya kegiatan tersebut setelah melihat foto para peserta sebelum berangkat ke Pulau Padar di sebuah grup WhatsApp.

“Memang di grup ada kirim foto”, ungkapnya kepada Floresa.co, Kamis, 29 September.

Terkait surat resmi dari PT Flobamor sehari sebelumnya, ia mengaku tidak mengetahui keberadaan pasti surat itu dan tidak mendapat informasi dari perangkat desa yang lain.

Ia mengatakan, perekrutan sebagian pemuda itu oleh PT Flobamor bisa menimbulkan soal.

“Yang butuh kerja itu banyak, bukan hanya mereka yang dua sampai tiga puluh-an orang itu saja. Setidaknya, kalau PT Flobamora ingin merekrut tenaga untuk dipekerjakan di sana, setidaknya lewat desa, terus nanti mungkin buat pengumuman juga”, tambahnya.

Selain itu, kata dia, koordinasi dengan pemerintah desa nantinya akan menjadi kekuatan [hukum] bagi warga dan pemerintah.

Namun, ia menambahkan, perekrutan peserta pelatihan oleh PT Flobamor dilakukan secara sembunyi-sembunyi, misalnya dengan “panggil [peserta] di tengah jalan”.

Ia juga menegaskan tetap menolak kehadiran PT Flobamor di kawasan TN Komodo.

“Kalau dari kami, kami tetap menolak. Kami tetap menolak sepanjang tidak ada resmi dari pemerintah sendiri. Kementerian LHK saja belum meresmikan, belum menggunakan izin untuk menggunakan fasilitas”, ungkapnya.

“Sepanjang regulasinya, aturannya bertentangan, merugikan masyarakat Komodo, sepanjang itu saya menolak”, tambahnya.

Apa itu TWNC?

Berdasarkan penelusuran Floresa.co dari website resminya, TWNC yang dilibatkan dalam pelatihan itu adalah nama sebuah kawasan konservasi yang terletak di dalam kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) di Provinsi Lampung.

Kawasan itu sejak 1996 dikelola oleh PT Adhidianga Kreanusa, salah satu anak perusahaan jaringan Grup Artha Graha milik pengusaha Tomy Winata. Tomy dikenal dekat dengan Gubernur Viktor.

Seperti dilansir website resminya, pada tahun 2007 TWNC resmi menjadi bagian dari program hijau penandatanganan perjanjian kerjasama antara AGP dengan Kementerian Kehutanan. TWNC mencakup 48.153 hektar hutan yang merupakan bagian dari 365.000 hektar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan atau TNBBS dan sekitar 14.089 hektar suaka laut.

Bentuk-bentuk pelestarian flora dan fauna dari TWNC ini menggunakan skema ex-situ, yaitu memindahkan satwa langka dari habitat asli ke dalam kawasan TWNC. Skema pelestarian ini dilaporkan menyebabkan konflik harimau dan warga setempat karena lokasi habitat buatan yang sangat berdekatan dengan pemukiman.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] pernah mempertanyakan legitimasi perizinan TWNC dalam bidang penangkaran satwa langka, karena mereka hanya mengantongi izin dalam bidang konservasi dan pariwisata alam.  Walhi juga mempersoalkan model penangkaran satwa langka yang dikembangkan oleh TWNC yang sangat tertutup dan tidak diketahui oleh publik.

Di  TNBBS, TWNC juga mengembangkan paket ekoturisme eksklusif dengan biaya wisata sebesar US$ 3.000 untuk tiga hingga empat malam. Beberapa paket yang ditawarkan adalah Wildlife Photography, Wildlife Observation, Safari, Night Safari, Lake Safari, Jungle Tracking, Horse Riding, jogging dan camping.

Tidak hanya di TWNC, grup Artha Graha juga terlibat dalam bisnis lainnya di bidang pariwisata.

Salah satu yang memicu kontroversi adalah PT Tirta Wahana Bali International yang pada 2014 terlibat konflik dengan warga di sekitar Teluk Benoa, Bali karena pengembangan bisnis resort dan hotel eksklusif dari perusahaan ini dianggap berpotensi merusak lingkungan dan menghilangkan lahan penghidupan warga setempat.

Catatan redaksi: Berita ini telah dkoreksi pada Rabu, 5 Oktober, dengan mengubah keterangan soal hubungan pengusaha Tomy Winata dengan Gubernur NTT. Sebelumnya kami tulis bahwa isteri Gubernur NTT adalah adik dari Tomy Winata. Terima kasih dan mohon maaf atas kekeliruan ini.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.