Teriakan ‘Sambo’ dan Represi untuk Frater di Ledalero, NTT: Bagaimana Sebaiknya Respons Polisi?

Kelompok sipil menganggap tindakan polisi yang menginterogasi para frater karena meneriakkan kata 'Sambo' adalah “bentuk tindakan represif untuk membungkam suara kritis publik dalam upaya mengontrol kinerja negara umumnya dan kepolisian khususnya.”

Floresa.co – “Sambo” memang tidak lagi sekedar sebagai nama belakang Ferdy Sambo, petinggi polisi yang menjadi terdakwa kasus pembunuhan berencana terhadap ajudannya.

Bagi sebagian anggota polisi, kata itu menjadi sensitif. Ia tidak lagi sebatas nama, tapi bisa dipersepsi sebagai olokan atau hinaan.

Peristiwa yang dialami para frater atau calon imam Katolik di Maumere, Kabupaten Sikka, NTT jadi contoh terbaru soal ini.

Para frater yang juga mahasiswa di Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero [IFTK] itu diinterogasi polisi pada Kamis, 29 September 2022 karena diduga meneriakkan kata itu kepada Polisi Lalu Lintas [Polantas] yang sedang berjaga di jalan di kota Maumere.

Versi polisi, para frater itu meneriaki kata tersebut dari dalam truk saat mereka hendak berbelanja keperluan dapur di Pasar Tingkat Maumere.

Hal itu membuat polisi menginterogasi para frater, meski para frater bersikeras tidak melakukan hal demikian.

Bruder Legi Oki, salah satu dari rombongan para frater memberi kesaksian bahwa polisi yang menginterogasi meminta mereka jujur tentang siapa yang meneriakkan kata itu.

“Saya langsung tanya ke teman-teman siapa yang teriak tadi. Tapi semua kami tidak tahu karena bukan kami yang meneriaki [kata] ‘Sambo.’ Dan, saya pastikan [itu] bukan kami,” katanya.

Namun, polisi tidak menerima penjelasan mereka dan memaksa para frater untuk jujur, bahkan dengan menyuruh mereka membuat sumpah.

“Mari kita buat sumpah. Kalau kamu teriak, kamu punya ban mobil pecah,” cerita salah satu frater meniru kata-kata salah satu polisi.

Ketidakpuasan polisi terhadap jawaban para frater ditindaklanjuti dengan menemui pimpinan mereka di Seminari Tinggi Ledalero.

Tiga polisi mengawal mobil truk itu menuju Ledalero, di mana mereka menemui Rektor Seminati Tinggi, Pastor Frans Ceunfin, SVD bersama tiga imam lain, Pastor Yanus Lobo, Pastor Vande Raring dan Pastor Felix Baghi.

Dituding Sebagai Bentuk Represi

Tindakan polisi yang dianggap sebagai bentuk represi tersebut membuat elemen masyarakat sipil mendatangi kantor Polres Sikka pada Jumat, 30 September.

Perwakilan dari lembaga Gereja Katolik Komisi JPIC SVD Ende, Badan Eksekutif Mahasiswa IFTK Ledalero dan Tim Relawan Kemanusiaan untuk Flores [Truk-F] berdialog dengan pimpinan Polres, mempersoalkan tindakan bawahan mereka.

Selama pertemuan itu, kelompok sipil menyatakan bahwa interogasi yang dilakukan oknum polisi adalah “bentuk tindakan represif untuk membungkam suara kritis publik dalam upaya mengontrol kinerja negara umumnya dan kepolisian khususnya.”

Pastor Otto Gusti Madung SVD, Rektor IFTK Ledalero mengkiritik tindakan polisi dan menyebutkan bahwa meneriakkan kata Sambo adalah bentuk kebebasan berpendapat.

“Kami juga berpandangan bahwa interogasi terhadap sejumlah mahasiswa untuk soal kecil seperti itu merupakan cara-cara represif yang digunakan oleh aparat keamanan untuk membungkam suara kritis publik dan hal itu tidak boleh dibiarkan,” katanya.

Ia menyatakan, “demokrasi hanya mungkin hidup jika masyarakat boleh bersuara kritis di ruang publik.”

Kapolres Sikka, AKBP Nelon menyatakan dalam pertemuan itu bahwa meneriaki kata Sambo sama sekali tidak memuat unsur kriminal, apalagi pidana.

Ia juga menceritakan bahwa dirinya pernah diejek beberapa kali dengan kata-kata yang lebih sarkastis saat bertugas di daerah sebelumnya dan saat kasus Ferdy Sambo menjadi ramai.

Dalam pernyataan usai pertemuan, ia juga menyatakan permintaan maaf.

“Kami dari Polres menerima dengan baik kunjungan tadi dan meminta maaf, apalagi ada anggota telah membuat menyinggung perasaan. Kami minta maaf,” ujar Nelson.

Bukan Hanya di Maumere

Meneriakkan kata Sambo kepada polisi memang bukan hanya cerita dari Maumere.

Di tempat-tempat lain, hal serupa juga terjadi, setelah hebohnya kasus penembakan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat pada Juli lalu, yang telah menyeret Ferdy Sambo sebagai terdakwa bersama istrinya dan beberapa oknum polisi lain.

Kasus ini menjadi ramai dibicarakan berbulan-bulan, terutama karena sejumlah rangkaian ‘drama’ yang diciptakan Sambo yang disebut-sebut mengarang cerita, sebelum kemudian dia ditetapkan oleh institusinya sebagai otak penembakan.

Peristiwa itu dianggap tidak hanya mencoreng nama Ferdy Sambo sebagai Kepala Divisi Propam Polri, namun juga instansi kepolisian secara umum.

Pada awal bulan ini, 3 September, dalam konser Bertalu Rindu Cinta dari Iwan Fals di Depok, Jawa Barat penggemarnya sempat meneriakkan kata itu.

Itu terjadi saat Iwan mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang terlibat, termasuk kepolisian yang sudah memberikan izin dan pengamanan. Penggemarnya spontan meneriakkan kata Sambo berulang kali, yang ia anggap sebagai permintaan kepadanya untuk mengomentasi kasus itu.

Seperti dilansir Suara.com, sebuah video juga sempat viral di Tiktok yang diunggah oleh akun @cf.white, di mana dua anggota polisi yang tengah berjalan di pinggir lapangan sepak bola, diteriaki kata Sambo oleh suporter pemain.

Sebuah video juga beredar pada bulan lalu, di mana warga meneriaki polisi yang sedang ikut latihan gerak jalan peringatan HUT ke-77 Kemerdekaan Republik Indonesia.

“Sambo, sambo,” demikian teriakan warga kepada polisi, sebagaimana diunggah oleh akun Tiktok @virgo951. Polisi tidak merespons teriakan itu dan tetap fokus berjalan.

Sorotan untuk Kinerja Polisi

Bagaimana sebaiknya polisi merespon teriakan ‘Sambo’?

Penting dicatat bahwa peristiwa di Maumere terjadi dalam pekan yang sama ketika polisi mendapat sorotan luas dalam kasus kekerasan terhadap masyarakat sipil, dengan menembak mati seorang pemuda di Kabupaten Belu.

GYL, pemuda 18 tahun itu ditembak mati pada 27 September oleh anggota polisi di Polres Belu saat hendak ditangkap sebagai tersangka kasus pengeroyokan seorang sopir truk.

Ada perbedaan cerita terkait kronologi penembakan itu, namun yang jelas saat ini oknum polisi yang menembak itu sudah ditahan dan sedang dalam proses penyelidikan yang melibatkan Polda NTT.

Ditarik ke belakang, kasus represif dan kekerasan lainnya oleh polisi juga kerap terjadi di tempat-tempat lain di NTT.

Di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, oknum polisi memukul dan menangkap pelaku wisata yang menggelar asksi mogok menentang komersialisasi dan monopoli bisnis di Taman Nasional Komdodo [TNK] pada 1 Agustus 2022.

Di Polsek Katikutana, Kabupaten Sumba Barat, seorang polisi juga menganiaya tahanan bernama Arkin hingga tewas pada 9 Desember 2021. Korban yang sebelumnya ditangkap di rumahnya lantaran diduga mencuri ternak dan menganiaya korbannya, mengalami memar pada wajah dan tangan, hidung mengeluarkan darah, tangan kiri patah dan mirip luka tembakan.

Pada 27 Maret 2018, oknum polisi di Kabupaten Manggarai juga menembak mati Ferdinandus Taruk, pemuda 24 tahun asal Kelurahan Karot, Kecamatan Langke Rembong.  Ia ditembak mati pada tengah malam saat sedang asyik bercengkerama dengan rekan-rekannya di Sondeng, padahal ia tidak melakukan kesalahan apapun. Bripda Vinsensius Pontianus Dhae [24] dari Unit Sabhara Polres Manggarai dinyatakan sebagai pelaku, namun dihukum ringan penjara 1,5 tahun.

Penembakan oleh polisi juga terjadi di Sumba Barat pada tahun 2018 yang menewaskan Poro Duka [45], warga Desa Patiala Bawa. Ia ditembak saat PT Sutra Maronis, perusahaan yang bergerak di bidang perhotelan, secara sepihak melakukan pengukuran atas tanah adat mereka.

Sementara itu, secara nasional, merujuk pada data Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan [KontraS], pada 2020, terdapat 304 korban tewas dan 1.627 luka-luka dalam 921 insiden kekerasan oleh polisi.

Pada tahun 2021, polisi melakukan 652 tindakan brutal terhadap warga sipil, yang menyebabkan 13 kematian dan 98 luka-luka, sebagian besar karena penggunaan kekerasan yang berlebihan dan penembakan sewenang-wenang.

Dari deretan fakta ini, jika hari-hari ini di banyak tempat muncul banyak teriakan “Sambo…Sambo” untuk polisi, itu lebih sebagai ekspresi kekecewaan, juga harapan untuk reformasi secara institusional agar tidak ada lagi kasus-kasus serupa.

Pastor Otto, Rektor IFTK memberi cataan bahwa bahkan, kalaupun para frater di Ledalero itu benar meneriakkan kata Sambo kepada anggota polisi, itu tetap “bukan sebuah tindakan kriminal.”

“[Itu merupakan] ungkapan kemarahan masyarakat yang sudah membayar pajak terhadap kinerja kepolisian.”

Tim Floresa

spot_img

Artikel Terkini