BerandaREPORTASEMENDALAMPolemik Hutan Bowosie di...

Polemik Hutan Bowosie di Labuan Bajo: Serikat Petani Indonesia Ikut Klaim Lahan di Tengah Langkah Alih Fungsi oleh Pemerintah untuk Proyek Pariwisata

Kawasan Hutan Bowosie yang menjadi penyangga kota Labuan Bajo ‘direbut’ banyak pihak, termasuk oleh Serikat Petani Indonesia. Ada ancaman masalah ekologi dan konflik yang menjadi bom waktu bagi kota pariwisata super-premium di ujung barat Pulau Flores itu.

Floresa.co – Di tengah langkah pemerintah mengalihfungsikan ratusan hektar Hutan Bowosie di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat [Mabar] menjadi kawasan bisnis pariwisata dan lokasi proyek persemaian pohon, ribuan petani yang bergabung dalam Serikat Petani Indonesia [SPI] melakukan pendudukan atas sebagian kawasan hutan itu.

Selain konflik vertikal dengan otoritas pemerintah dan perusahaan-perusahaan, dari penelusuran Floresa.co, langkah SPI mengklaim kawasan yang berlokasi di Satar Kodi, Desa Nggorang itu juga berpotensi melahirkan konflik horizontal dengan warga adat Nggorang yang juga ikut mengklaimnya sebagai tanah ulayat dan masih terus menuntut pemerintah untuk mengembalikan kawasan itu kepada mereka.

Hutan Bowosie merupakan kawasan hutan alami yang membentang dari pinggir kota Labuan Bajo hingga kawasan Mbeliling yang oleh pemerintah diberi status sebagai hutan produksi.

Melalui Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 2018, Presiden Joko Widodo melakukan alih fungsi 400 hektar kawasan hutan itu untuk menjadi kawasan bisnis pariwisata yang dikelola Badan Pelaksana Otorita Pariwisata Labuan Bajo Flores [BPO-LBF].

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] juga merombak setidaknya 30 hektar wilayah hutan yang sama di wilayah Desa Nggorang menjadi lokasi proyek persemaian bibit pohon.

Berbagai langkah pemerintah ini merupakan bagian dari implementasi Proyek Strategis Nasional untuk klaster destinasi pariwisata super prioritas Labuan Bajo, kota kecil yang menjadi pintu masuk akses ke Taman Nasional Komodo.

Upaya Pendudukan oleh SPI

Stefanus Nali, Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Manggarai Barat mengatakan, wilayah di Satar Kodi yang diklaim SPI merupakan bagian dari kawasan hutan RTK 108 Nggorang Bowosie.

Ia mencatat bahwa SPI mulai menduduki lahan itu pada September 2021, di mana mereka mengatasnamakan SPI NTT memasang spanduk yang berisi klaim kepemilikan tanah itu.

“Setelah dicegat, SPI mencabut spanduk tersebut,” katanya dalam wawancara dengan Floresa.co di kantornya, Senin, 26 September 2022.

Ia menjelaskan, anggota organisasi itu tiba-tiba mulai beraktivitas kembali pada tahun ini karena mengklaim mereka telah memiliki dasar hukum dan dokumen yang jelas dari pemerintah.

Menurut Stefanus, mereka mulai hadir di lokasi pada 25 Agustus, dengan  memasang dua buah spanduk di pintu masuk Hutan Bowosie dari arah Nggorang.

Floresa.co mendapati foto spanduk-spanduk itu.

Dalam sebuah spanduk dicantumkan klaim legalitas penguasaan kawasan itu oleh SPI, di mana lahan itu disebut sebagai bagian dari Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) sesuai mandat SK Menteri KLHK No. 7434/MENLHK-PKTL/KUH/PLA.2/9/2019 tentang Peta Indikator Alokasi Kawasan Hutan untuk Penyediaan Sumber TORA Revisi IV.

Salah satu dari spanduk yang dipasang SPI di Satar Kodi. (Foto: Ist)

Sementara dalam spanduk lain SPI mencantumkan SK No. 18/T Tahun 2021 Tentang Pembentukan Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria dan Penguatan Reforma Agraria yang diketuai oleh Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko.

Tim lainnnya juga ditulis di spanduk itu, yakni  Wakil I Menteri Agraria dan Tata Ruang, Wakil II Menteri LHK serta anggota seperti Asisten Staf Operasi Polri, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri dan Pimpinan SPI.

Di situ kemudian ditegaskan bahwa kawasan hutan milik SPI adalah kurang lebih 750 hektar dari total 4.100.000 hektar kawasan yang dilepaskan untuk TORA berdasarkan SK Menteri LHK No. P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2018.

“Bahwa adapun kegiatan masyarakat selama ini di Kawasan Hutan Produksi Nggorang…batal atau tidak sah,” demikian tertulis.

Dalam spanduk yang ditandatangani oleh Dewan Pengurus Cabang SPI Kabupaten Manggarai Barat, Oktavianus Jantung itu, juga dinyatakan bahwa pengurusan sertifikat lahan itu ditangani oleh SPI di Jakarta.

Stefanus dari KPH mengatakan, pemasangan spanduk itu  mendapat perhatian dari pemerintah, sehingga tim dari kepolisian menurunkannya.

Meski telah diturunkan, kata dia, pada tanggal 30 Agustus, SPI kembali memasang spanduk di enam titik.

KPH Mabar, Kesbangpol, Pemerintah Desa Nggorang melakukan peninjauan ke lokasi pada 31 Agustus dan pada 1 September dilakukan pembongkaran spanduk yang melibatkan Tim Operasi Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum (Gakkum)  KLHK wilayah Jawa-Bali dan Nusa Tenggara dan Babinkamtibmas.

Namun, kata Stefanus, hal itu tidak membuat SPI berhenti beraktivitas karena pada 7 September pagi mereka kembali memasang dua buah spanduk, satu bendera merah putih, satu tenda beratap terpal dan menduduki wilayah kurang lebih 200-300 meter di sekitar tenda.

Hari berikutnya, pada 8 September 2022, kata dia, ratusan anggota SPI kembali menduduki hutan tersebut dengan  membawa peralatan seperti parang, perlengkapan masak, dan mesin pemotong kayu.

Ia menjelaskan, aktivitas anggota SPI itu sempat memantik amarah warga Desa Nggorang yang saat itu memantau secara langsung.

Karena itu, pada 10 September, KPH dan Gakkum KLHK menemui secara langsung anggota SPI di lokasi untuk memastikan legalitas aktivitas mereka.

Ia mengklaim bahwa sejauh ini SPI tidak memperlihatkan dokumen yang menjadi dasar bagi penguasaan atas lahan itu.

“Diduga, SPI tidak memiliki surat resmi dari pemerintah,” tudingnya.

Alasan Petani Anggota SPI

Sementara itu Gaspar Jehabat, salah satu petani yang bergabung dengan SPI Mabar mengklaim mereka menduduki lahan tersebut karena sudah mengantongi dokumen yang jelas.

“Kami diperintahkan oleh SPI Manggarai Barat. SPI punya dokumen yang jelas. Dokumennya lengkap sebagai bukti penguasaan kami di sana,” katanya merujuk pada sejumlah ketentuan yang mereka cantumkan dalam sejumlah spanduk.

Ia mengatakan, saat ini terdapat 1.500 orang yang sudah mendaftar di organisasi itu untuk mendapatkan lahan, ditambah 400 orang warga dari Kampung Nggorang.

Menurut Gaspar, kawasan itu dibagi sacara adil dengan ukuran yang sama kepada semua oranya yang sudah memenuhi kewajiban administratif, seperti mengumpulkan KTP, foto pas berukuran 3×4 satu lembar dan membayar biaya administrasi Rp 100.000 dan biaya operasional Rp 3.600.000.

Setiap orang yang sudah memenuhi kewajibannya, kata dia, akan mendapat lahan 30×100 meter.

Ia mengatakan SPI akan menggunakan lahan itu untuk menanam tanaman komoditas pertanian.

Ia menambahkan, upaya mereka menguasai tanah itu adalah bagian dari bentuk protes kepada pemerintah yang mengubah status hutan itu dan kemudian menyerahkannya kepada korporasi.

Padahal, kata dia, wilayah itu seharusnya dibagikan kepada petani yang memang kesulitan mendapatkan lahan untuk bertani.

“Semua warga negara berhak mendapatkan tanah di Satar Kodi. Warga tidak ada tanah, sementara pemerintah membuat Satar Kodi jadi lahan persemaian,” katanya, menyinggung proyek persemaian pohon oleh KLHK di wilayah itu.

Ia pun melempar tudingan ke KPH Manggarai Barat sebagai aktor yang membiarkan perusahaan untuk melakukan proyek pembangunan di kawasan itu.

“Kami melihat KPH Mabar adalah musuh bersama,” katanya.

“KPH Mabar tangkap orang lalu dipenjara, tapi dari belakang mereka yang jadikan tanah itu proyek pembibitan,” katanya.

Penangkapan yang disinggung Damianus merujuk pada penangkapan sembilan warga Nggorang pada 2009, yang kemudian dipenjara karena didakwa membabat hutan negara.

Floresa.co belum berhasil menghubungi pengurus SPI terkait dengan agenda reforma agraria yang diperjuangkan organisasi itu di Manggarai Barat.

Kami berupaya menghubungi Ketua SPI Manggarai Barat, Oktavianus Jantung terkait masalah ini, namun ia tidak merespon permintaan untuk wawancara. Ia hanya membaca pesan yang dikirimkan melalui WA-nya.

Floresa.co juga sudah berusaha menghubungi Agus Rusli, Sekretaris Umum Dewan Pimpinan Pusat SPI. Ia  sempat mengangkat teleponnya saat dihubungi pada 27 September, namun mengaku sedang sibuk ikut demo di Jakarta. Pesan lewat WA-nya juga tidak dibalas.

Klaim Warga Adat Nggorang

Sementara pemerintah telah membuka akses kepada korporasi lewat BPO-LBF untuk menguasai sebagian hutan itu, lahan di Satar Kodi menjadi rebutan petani anggota SPI dan warga adat.

Dari penelusuran Floresa.co, lahan itu juga diklaim warga adat Nggorang sebagai tanah ulayat mereka.

Bahkan, menurut Jamaludin Pahu, Tua Golo atau Kepala Kampung Nggorang, tanah ulayat Nggorang tidak hanya di wilayah yang sedang diklaim SPI, tetapi juga lahan yang dijadikan lokasi persemaian modern oleh KLHK.

“Kawasan itu ada dalam wilayah ulayat  adat Nggorang,” jelas Jamaludin saat ditemui Floresa.co di kediamannya pada Selasa, 27 September 2022.

“Di situ dulu mukang [tempat tinggal] dan kebun nenek kami. Bahkan ada kuburan nenek moyang Kepala Desa Nggorang di Golo Kadul,” jelasnya merujuk ke wilayah di dekat lokasi persemaian bibit pohon.

Ia mengklaim lahan ulayat Nggorang itu sampai di Wae Kuse, ke arah Kampung Tebedo.

Menurut Jamaludin, lahan itu dikusai warga adat Nggorang sebelum kasus penangkapan sembilan warga pada 2009.

Setelah penangkapan yang berujung hukuman penjara itu, kata dia, tanah itu dikuasai pemerintah.

“Pemerintah ambil alih, jadikan hutan produksi,” jelasnya.

Ada Potensi Konflik Horisontal

Ambrosius Daijal, Ketua Tim Operasional Gakkum KLHK wilayah Jawa-Bali dan Nusa Tenggara menjelaskan bahwa dalam keterangan saat pemeriksaan empat orang anggota SPI yang diamankan dari Satar Kodi, mereka memang mengklaim mengusai sekitar 700 hektar lahan itu, namun mereka tidak menjelaskan  batas-batasnya secara rinci.

Ia mengatakan, persoalan penguasaan tanah di Satar Kodi oleh SPI berpotensi melahirkan konflik horizontal dengan warga Nggorang yang juga mengklaim kawasan tersebut sebagai tanah ulayat.

“Tidak menutup kemungkinan terjadi konflik horizontal antarwarga. Warga Nggorang sendiri yang berdekatan dengan kawasan itu,” katanya kepada Floresa.co.

Apalagi, kata dia, pemerintah Desa Nggorang telah menyatakan tidak setuju dengan penguasaan sepihak oleh SPI mengingat kebanyakan dari anggota kelompok itu bukan merupakan warga Nggorang.

“Ada pro kontra. Kepala Desa Nggorang sendiri kurang sepakat karena banyak orang-orang dari luar yang mau menguasai lahan tersebut,” lanjutnya

Di sisi lain, kata dia, klaim kepemilikan oleh warga Nggorang juga tidak punya dasar yang kuat.

“Kalau dibilang ulayat juga bukan, karena tanah itu ada dalam kawasan tanah negara. Karena tanah negara, tidak ada hak siapa-siapa, sudah diakui negara,” jelasnya.

Ia menjelaskan, Gakkum Mabar telah meminta agar SPI tidak melakukan aktivitas sebelum ada putusan sah dari pengadilan, mengingat saat ini KPH telah melaporkan aktivitas SPI.

Terkait aktivitas SPI di kawasan tersebut, Tua Golo Nggorang, Jamaludin mengatakan SPI tidak pernah memberitahu dirinya.

“Mereka tidak pernah datang di sini,” tuturnya.

Sementara Gaspar dari SPI  menolak untuk dibenturkan dengan warga adat Nggorang dan mengklaim bahwa mereka memperjuangkan agenda reforma agraria untuk membagikan tanah kepada petani.

Ia mengatakan, “kalau itu adalah tanah negara maka siapapun bisa mendapat hak atasnya.”

“Ketua KPH Manggarai Barat, Pak Stefanus Nali [pernah] mempertanyakan alasan kenapa orang dari Bawaja masuk, dari Borong, dari Ruteng dan dari mana saja bergabung untuk mendapatkan lahan itu. Saya jawab, kita ini warga Indonesia yang sah,” katanya.

“Kita nanti bagi tanah itu untuk seluruh warga, mau dari mana saja, baik dari Nggorang maupun dari luar Nggorang,” tambahnya.

Yang penting, kata dia, orang itu sudah menuntaskan kewajiban administratifnya kepada SPI.

Dalam gambar yang diambil dari Peta Google ini tampak wilayah Sata Kodi di Hutan Bowosie, yang berdampingan dengan Kampung Adat Nggorang. (Foto: Ist)

Dampak Lingkungan

Di tengah polemik penguasaan Hutan Bowosie ini, baik oleh warga maupun upaya alih fungsi untuk proyek pemerintah dan perusahaan swasta, para pegiat agraria dan lingkungan menyampaikan keprihatinan.

Aktivis lingkungan Doni Parera mengkhawatirkan dampak pengrusakan hutan bagi lingkungan, terutama untuk kota Labuan Bajo.

Apalagi, kata dia, kawasan itu menjadi penyanggah sekaligus penyumbang air untuk Labuan Bajo, mengingat sejumlah mata air bersumber dari sana.

Berbicara dengan Floresa.co pada 26 September 2022, ia mengatakan, seharusnya tidak boleh ada penguasaan oleh siapapun bagi kawasan itu “karena kawasan itu sangat penting bagi kehidupan banyak orang.”

“Hutan itu adalah tumpuan sumber bagi air minum warga kita di Labuan Bajo. Seharusnya hutan itu dijaga,” tegas Doni.

Senada dengan itu, Venansius Haryanto dari Sunspirit for Justice and Peace mengingatkan pemerintah untuk secara serius menyelesaikan konflik lahan sambil mempertimbangkan pentingnya status ekologi Hutan Bowosie sebagai hutan pelindung kota dan sumber air bagi puluhan mata air di Labuan Bajo dan sekitarnya.

“Segera selesaikan konflik agraria dengan warga di sekitar Bowosie, yaitu warga Kampung Lancang, Racang Buka serta Warga Nggorang yang juga ikut mengklaimnya, juga sekarang petani yang bergabung dalam SPI,” katanya.

“Pemerintah jangan melakukan alih fungsi hutan dan lalu menyerahkannya kepada perusahaan. Selesaikan persoalan dengan warga,” tegas Venan.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Juga