Bantah Klaim PT Flobamor, Pelaku Wisata Anggap Akan Tetap Terjadi Monopoli Bisnis di Kawasan TN Komodo

"Kebijakan PT Flobamor ini mempertaruhkan masa depan konservasi dan pariwisata berkeadilan di TN Komodo yang selama ini terus dipertahankan publik."

Floresa.co – Kendati masih dipersoalkan warga dan dipermasalahkan dalam Rapat Dengar Pendapat [RDP] Komisi IV DPR-RI dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] baru-baru ini, PT Flobamor terus gencar mensosialisasikan sistem yang dipakai untuk mengontrol akses masuk ke Taman Nasional [TN] Komodo.

Langkah Badan Usaha Milik Daerah Provinsi NTT itu ditentang oleh pelaku pariwisata dan pegiat konservasi.

Pada 12 September, sepekan setelah rapat di DPR RI itu, Direktur Operasional PT Flobamor, Abner ER Ataupah kembali memperkenalkan sistem Wildlife Komodo melalui aplikasi digital INISA yang mengatur akses ke Pulau Komodo, Pulau Padar dan perairan di sekitanya. Kawasan itu merupakan bagian dari wilayah kontrol perusahaan itu berdasarkan Perjanjian Kerja Sama [PKS] dengan Balai Taman Nasional Komodo [BTNK].

Sistem Wildlife Komodo itu telah diluncurkan di Labuan Bajo pada 22 Juli 2022. Dengan sistem itu, biaya akses masuk ke kawasan itu akan menjadi 3,75 juta per orang dan 15 juta per empat orang dengan sistem keanggotaan selama satu tahun.

Awalnya sistem itu direncanakan mulai diterapkan pada 1 Agustus 2022, namun urung setelah protes yang masif, termasuk dengan aksi mogok oleh pelaku wisata. Aksi mogok itu memang kemudian berhenti karena tindakan represif polisi yang menangkap dan memukuli pelaku wisata.

Pemerintah Provinsi NTT mengklaim bahwa penerapan sistem itu akan dimulai pada awal 2023.

Klaim PT Flobamor

Menanggapi kritik berbagai pihak termasuk pelaku wisata di Labuan Bajo, PT Flobamor mengklaim bahwa sistem itu tidak akan berdampak buruk bagi pelaku wisata lokal.

Abner ER Ataupah mengatakan bahwa penggunaan aplikasi itu merupakan salah satu contoh program digitalisasi manajemen untuk mengontrol kualitas standar pelayanan jasa wisata ataupun produk UMKM pelaku wisata.

Peran PT Flobamor dalam aplikasi ini, kata dia, hanya sebagai penyedia dan pengelola sistem.

“Aplikasi tersebut hanya seperti lapak. Lapak itu di dalamnya ada macam-macam, dari pembayaran pajak, BPJS, tiket travel, hotel dan ada taksi, lalu ada program Wildlife Komodo ini, tempat [untuk menyalurkan] kontribusi konservasi,” jelasnya.

Ia menyatakan, dalam kerja sama itu, mereka akan menerapkan standarisasi produk serta pelayanan yang berkualitas, termasuk standarisasi produk-produk UMKM yang layak untuk diberikan kepada para kontributor atau wisatawan.

“Karena ini destinasi wisata premium, maka standarnya kita tetapkan, yang seperti apa yang bagus dan layak untuk dijual atau yang diberikan ke kontributor-kontributor tersebut,” katanya.

Pembuatan sistem itu, kata dia, juga merupakan salah satu upaya memaksimalkan peran Tour Agent dan Tour Operator [TA/TO] lokal dalam usaha penjualan paket wisata dan meminimalisasi ruang gerak TA/TO dari luar wilayah Manggarai Barat yang tidak mengantongi izin dari pemerintah.

“Kita mengunci agar TA/TO dari luar misalnya dari Bali, Jakarta, NTB itu tidak bisa membeli paket kontributor ini langsung ke PT Flobamor. Dia harus membelinya ke mitra–mitra PT Flobamor yaitu TA/TO lokal yang mempunyai izin di Manggarai Barat,” terangnya.

“Contoh, kalau ada agen yang mau bawa kapal Cruise dari Bali, misalnya ke Pulau Komodo, dia harus membeli paket kontribusi ini untuk bisa turun di Pulau Komodo. Nah, itu dia tidak bisa langsung beli ke Flobamor, dia harus belinya melalui travel agent lokal,” katanya.

Ia mengatakan, PT Flobamor tidak mengurus urusan bisnis antara agen dari luar dengan agen lokal.

“Yang kita bisa pastikan adalah setiap kontributor yang terjual atau paket kontribusi yang terjual, kita ada fee 3 persen untuk TA/TO,” katanya.

Ia mengatakan, PT Flobamor tidak mengurus hal-hal yang menjadi domain dari pelaku wisata, seperti terkait itinerary atau jadwal perjalanan dalam paket wisata, karena itu berada di luar izin usaha perusahaan tersebut.

“Yang kita atur hanya standar kualitas,” katanya. “Kita [bukan] ikut berbisnis, karena jujur PT Flobamor tidak ada kemampuan untuk berbisnis taksi lalu bisnis kapal, lalu bisnis travel agent, tour operator. Kita tidak mungkin punya kemampuan untuk semua itu.”

Ia juga mengklaim bahwa biaya konservasi yang mereka tetapkan adalah untuk pelaksanaan sejumlah program, seperti digitalisasi manajemen, patroli bersama, pengelolaan sampah, transplantasi terumbu karang, pemberdayaan masyarakat serta program-program lainnya.

Program-program konservasi ini, jelas Abner, telah dituangkan dalam rencana kerja tahunan yang termuat dalam PKS dengan BTNK yang mencapai 141 miliar pada tahun pertama.

Ia juga mengklaim biaya akses masuk 3,75 juta dan 15 juta per tahun adalah untuk biaya konservasi itu, bukan kenaikan tiket. “Jadi tiket itu tetap. Tiket itu sudah masuk di dalam biaya kontribusi konservasi.”

Respons Pelaku Wisata dan Anggota DPRD

Sejumlah pelaku wisata yang berbicara dengan Floresa.co menyatakan penolakan terhadap sistem itu karena tetap melihatnya sebagai bentuk konkret dari upaya monopoli bisnis pariwisata di kawasan TN Komodo.

“Itu bertolak belakang dengan semangat kebebasan berbisnis dan berusaha,” kata salah seorang pelaku wisata yang meminta namanya tidak disebut.

Pelaku wisata itu, juga rekan-rekan lainnya yang diwawancarai Floresa.co mengaku masih takut dan trauma dengan tindakan represif aparat keamanan saat mereka memprotes sistem itu dalam aksi mogok awal Agustus.

“[Karena] sudah ada teman-teman yang ditahan polisi, untuk mempublikasikan kata menolak itu kami hindari. Yang pasti kita menolak,” kata pelaku wisata lainnya.

“Secara prinsip, skema maupun apapun [istilahnya] dari PT Flobamor kita tetap tidak setuju. Dan pasti kita akan aksi lagi nanti kalau mereka tetap ngotot,” kata seorang pelaku wisata.

Pelaku wisata lainnya mengatakan khawatir bahwa setelah mereka bergabung ke dalam sistem itu dan tidak mengikuti standar-standar yang ditetapkan PT Flobamor, mereka akan mudah dicoret.

“Standar ini kan bermacam-macam tafsirannya. Bisa tafsirannya standar harga, standar unit dan standar kualitas. Ini sebenarnya yang kami tidak setuju,” katanya.

Ia mengatakan, ada kecemasan bahwa “kalau tidak ikut standar mereka, maka ditendang.”

Menurutnya, pelaku wisata lebih melihat PT Flobamor ini sebagai salah satu saingan dalam berbisnis.

“Kami menganggap mereka itu kompetitor kita, ngapain kita bunuh diri. Begitu semua mau bergabung dengan PT Flobamor, maka hancurlah kita. Kasarnya, kita merelakan diri dibunuh sama mereka,” tambahnya.

Pelaku wisata lainnya, seorang pemilik agen travel di Labuan Bajo menyatakan ia berpegang pada pernyataan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] beberapa waktu lalu dalam rapat dengan DPR RI,  yang menyebut bahwa sistem yang dipakai PT Flobamor itu tidak dipaksakan, tetapi bersifat opsional.

“Sudah dijelaskan oleh KLHK, ini opsional, bukan mandatory [diwajibkan]. Jadi, biar mereka bunyi nyaring, kita tidak hiraukan,” katanya.

Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Manggarai Barat, Marselinus Jeramun mengatakan PT Flobamor tidak memiliki hak untuk membatasi pelaku pariwisata di Labuan Bajo dengan bergabung ke dalam sistem pada aplikasi INISA.

“Jangan kemudian PT ini datang memaksa orang, langsung ikuti apa yang dia mau. Kok di zaman modern ini orang  dipaksa untuk bergabung? Silahkan dia punya [sistem] sendiri, tapi yang lain jangan [dipaksa] ikut kemauan PT Flobamor,” jelasnya.

Menurutnya, PT Flobamor belum memiliki hak seratus persen untuk mengelola aset-aset potensial di Manggarai Barat.

“Kita mengikuti dinamika atau perkembangan terbaru, terutama sikap KLHK yang sesungguhnya belum memberikan mandat seratus persen kepada Pemprov NTT untuk mengelola aset-aset potensial yang ada di TN Komodo,” bebernya.

Ia juga mempertanyakan aplikasi INISA yang justeru menyediakan fitur lain yang tidak berkaitan dengan paket wisata di Labuan Bajo.

“Kalau lihat fitur aplikasi ini, di sini kan selain Wildlife Komodo, ada untuk pembayaran BPJS Kesehatan, token listrik, pulsa data, travel, pajak, ULPDAM, gas, dan seterusnya. Salah satu di dalamnya Wildlife Komodo. Mungkin ini yang dimiliki PT Flobamor. Pertanyaan kita sekarang, siapa yang kemudian mengontrol mana kala terjadi transaksi?” tanya Marsel.

Menurut dia, aplikasi INISA yang diklaim berguna untuk penguatan fungsi konservasi, berpotensi diselewengkan dengan berbagai fitur yang ada di dalamnya.

Menabrak Prinsip Konservasi dan Pariwisata Berkeadilan

Sementara itu, Venansius Haryanto, peneliti pada Sunspirit for Justice and Peace, menilai bahwa model bisnis PT Flobamor yang mengontrol semua hal di bawah kendalinya merupakan bentuk monopoli yang menabrak prinsip-prinsip dasar konservasi dan pariwisata yang berkeadilan di TN Komodo.

Menurutnya, jika mengacu pada dua dasar keterlibatan PT Flobamor di TN Komodo yaitu PKS dan Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam [IUPSWA], tak seharusnya PT Flobamor melakukan monopoli yang mengambil alih peran KLHK sebagai otoritas tertinggi, baik dalam urusan konservasi maupun kriteria pengembangan wisata alam dalam sebuah kawasan konservasi.

“Jika mengacu pada Permen KLHK No.44/2017 tentang Tata Cara Kerja Sama Penyelenggaraan Kawasan Suaka Alam, maka dengan jelas terlihat, setiap lembaga yang mau bekerja sama, pada prinsipnya hanya mendukung kerja KLHK sebagai otoritas tertinggi. Sebab itu, segala langkah yang diambilnya harus tetap dalam kendali KLHK,” bebernya.

“Tetapi apa yang dilakukan oleh PT Flobamor ini jelas sekali mengambil alih fungsi KLHK, dengan menetapkan tarif masuk ke dalam TNK sebesar 3.75 juta yang jelas-jelas bertentangan dengan PP No. 12 tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada KLHK”, tambahnya.

Sementara, terkait aturan IUPSWA, ia menjelaskan, jika PT Flobamor mengacu pada Peraturan Menteri LHK Nomor P.8/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2019 yang kemudian telah disesuaikan dengan Permen LHK No. 3 tahun 2021 tentang Perizinan Berusaha Berbasis Resiko, maka seharusnya tawaran PT Flobamor bersifat opsional yang sama dengan posisi jasa wisata yang selama ini ditawarkan oleh TO/TA lokal atau Badan Usaha seperti Koperasi Tiba Meka Mandiri yang beranggotakan pelaku wisata lokal di Labuan Bajo.

PT Flobamor, kata dia, justeru menutup kemungkinan bagi usaha-usaha jasa perjalanan lokal untuk menawarkan jasa perjalanan wisata ke lokasi-lokasi di Pulau Komodo, Pulau Padar dan kawasan perairan sekitarnya dengan menggunakan tarif yang selama ini berlaku, sesuai dengan ketetapan PP No. 12 tahun 2014.

Sementara terkait urusan menertibkan TO/TA lokal hingga pariwisata Manggarai Barat lebih menguntungkan pelaku wisata lokal, menurutnya persoalan ini lebih tepatnya diselesaikan oleh Pemerintah Manggarai Barat bersama asosiasi pelaku wisata yang ada.

Dan sejauh ini, jelasnya, persoalan ini tengah diselesaikan oleh para pelaku wisata lokal bersama dengan Pemda setempat, seperti pendataan usaha-usaha pariwisata, sehingga lebih berkontribusi ke kas daerah.

Dengan kondisi tarik ulur seperti ini, terutama ketika pihak KLHK sudah berkali-kali menyatakan akan mengevaluasi kebijakan ini, ia mengingatkan publik untuk terus mengkawal kebijakan ini.

“Kebijakan PT Flobamor ini mempertaruhkan masa depan konservasi dan pariwisata berkeadilan di TN Komodo yang selama ini terus dipertahankan publik,” kata Venan.

Jefry Dain

spot_img

Artikel Terkini