Kenaikan Tarif ke TN Komodo: Dikritisi Warga dan Wakil Rakyat, KLHK Janji Evaluasi

Di tengah gelombang perlawanan warga, juga kritikan dari berbagai elemen, termasuk para wakil rakyat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berjanji mengevaluasi kebijakan yang dikendalikan oleh PT Flobamor, BUMD milik Provinsi NTT itu.

Floresa.co – Kebijakan Pemerintah Provinsi NTT untuk mengelola Pulau Komodo, Pulau Padar serta perairan sekitarnya menjadi destinasi wisata eksklusif masih terus memicu kontroversi, kendati kebijakan itu diklaim akan efektif berlaku pada awal tahun depan.

Di tengah gelombang perlawanan warga, juga kritikan dari berbagai elemen, termasuk para wakil rakyat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berjanji mengevaluasi kebijakan yang dikendalikan oleh PT Flobamor, BUMD milik Provinsi NTT itu.

Dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR RI, Senin, 5 September 2022, Menteri LHK, Siti Nurbaya Bakar menyatakan akan mempelajari kembali usulan kerja sama dengan Pemerintah Provinsi NTT dan mengevaluasi Peraturan Gubernur NTT No. 85 tahun 2022, yang menjadi payung hukum bagi PT Flobamor.

“Kami akan cek lagi secara detail, termasuk bila nanti diperlukan, kita akan minta evaluasi Peraturan Gubernurnya. Saya akan dalami lagi persisnya,” tegas Siti.

Pernyataan Menteri Siti Nurbaya itu disampaikan untuk menanggapi pertanyaan Yohanis Fransikus ‘Ansy’ Lema, anggota DPR RI dari daerah pemilihan NTT yang mempertanyakan kewenangan KLHK di TN Komodo dengan masuknya PT Flobamor.

“Pertanyaan yang utama adalah otoritas [pengelolaan TNK] itu masih di Ibu atau sudah tidak di Ibu?” tanya Ansy.

BACA JUGA: Dari Politisi, Pebisnis Restoran dan Hotel hingga Raja Sawit: Jaringan Perusahaan di Habitat Komodo yang Mulai Tersingkap

Siti menyatakan, pada prinsipnya kerja sama itu tidak boleh mengganggu kewenangan KLHK sebagai pemegang otoritas atas TN Komodo.

“Sebetulnya, yang harus terjadi adalah mekanisme kerja sebagaimana dalam aturan. Jadi, perjanjian kerja sama yang tidak menggoyah otoritas,” katanya.

Janji Menteri Siti yang akan mengkaji kembali keterlibatan PT Flobamor itu serupa dengan yang disampaikan Sekjen KLHK sekaligus Plt Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), Bambang Hendroyono dalam rapat pada 22 Agustus 2022 di Komisi IV.

Saat itu Bambang menegaskan bahwa soal kewenangan mengurus konservasi serta PNBP di dalam kawasan Taman Nasional di seluruh Indonesia tetap berada pada tangan KLHK, sesuai dengan yang tertera pada UU No.5 Tahun 1990 dan UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

Ia juga menyatakan, sesuai dua undang-undang itu, kewenangan konservasi ada di Kementerian KLHK.

Penjelasan itu juga merespon pertanyaan Komisi IV DPR-RI yang menganggap kebijakan kenaikan tarif ini melangkahi kewenangan KLHK, juga terkait penanganan konservasi yang kemudian diserahkan kepada PT Flobamor.

Anggota Komisi IV, Ansy Lema, menuding kebijakan itu alih-alih untuk tujuan konservasi, justeru merupakan bentuk “komsersialisasi brutal” atas kawasan TN Komodo dan mempertanyakan perlakuan yang berbeda terhadap konservasi di Pulau Komodo dan Pulau Rinca, padahal TN Komodo adalah satu kawasan konservasi yang utuh.

Dalam kebijakan yang diusulkan PT Flobamor itu, tiket masuk ke Pulau Komodo dan Pulau Padar dan kawasan sekitarnya naik dari 150 ribu orang menjadi menjadi 3,75 juta per orang dan 15 juta per empat orang dengan sistem keanggotaan selama satu tahun.

Kebijakan ini menuai protes dari berbagai elemen sipil di Manggarai Barat. Keputusan penundaan penerapannya ke awal tahun depan diambil setelah pelaku wisata di Labuan Bajo menggelar aksi mogok pada 1 Agustus, hari pertama kebijakan itu hendak diterapkan.

Aksi itu direspon dengan aksi represif, di mana pemerintah menerjunkan 1,000 aparat keamanan ke Labuan Bajo. Puluhan pelaku wisata ditangkap saat melakukan aksi damai, enam luka-luka dan satu orang ditetapkan sebagai tersangka. Mereka baru dibebaskan dari tahanan setelah menandatangani pernyataan untuk menghentikan aksi mogok.

PT Flobamor menjadi satu-satunya perusahaan daerah yang mendapatkan izin usaha pemanfaatan jasa wisata alam (IUPJWA) dari KLHK di kawasan itu.

Selain mengurus kebijakan kenaikan tiket, menurut dokumen Perjanjian Kerjasama antara Pemerintah Provinsi NTT dengan Balai Taman Nasional Komodo [BTNK] yang salinannya diterima Floresa.co, perusahaan ini mendapat izin usaha di lahan seluas 712,12 hektar yang tersebar di tujuh lokasi berbeda di Pulau Komodo dan Pulau Padar.

BACA JUGA: Kacaunya Tata Kelola TN Komodo: Penuh Kepentingan Bisnis, Minim Aksi Konservasi, dan Menyisihkan Warga Setempat

Perusahaan ini tidak memiliki rekam jejak di bidang pariwisata maupun konservasi. Dalam dokumen pendirian perusahaan, disebutkan bahwa core business-nya adalah usaha penyeberangan dan izin usahanya didapat dari Dinas Perhubungan Provinsi NTT dengan nomor DISHUB.550/005/2015.

Bisnis lain dari BUMD itu adalah perdagangan sapi; beras dan jagung; aspal, additif perkerasan jalan [soil additif]; serta potensi peluang usaha lain yang berdampak pada ekonomi kerakyatan.

Perusahaan ini sempat mendapat sorotan dari Badan Pemeriksa Keuangan [BPK] yang menilai Dewan Direksi dan Dewan Komisaris Periode 2019-2023 tidak layak, seleksinya dilakukan asal-asalan dan tidak sesuai aturan.

BPK menyatakan pengangkatan mereka oleh Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat [VBL] pada Maret 2019 tidak patut karena tidak memenuhi sejumlah persyaratan dalam Uji Kelayakan dan Kepatutan [UKK]. Syarat pendidikan juga tak memadai dan sejumlah persyaratan/aturan lain yang tidak dipenuhi, yang membuat kinerja perusahaan daerah tersebut tidak dapat berfungsi dengan baik.

Sengkarut kewenangan dan keraguan akan kemampuan PT Flobamor untuk menangani konservasi di TN Komodo telah menjadi sorotan terus-menerus dari kelompok sipil, juga oleh sejumlah wakil rakyat saat rapat dengan KLHK.

Floresa

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini