Terminal yang Diduga ‘Dikorupsi’ di Manggarai Timur: Kian Tak Terawat, Ada yang Tak Beres dengan Retribusi

Dibangun dengan dana 3,6 miliar rupiah, Terminal Kembur di Kabupaten Manggarai Timur ditelantarkan selama beberapa tahun. Baru setahun terakhir pemerintah memanfaatkannya, setelah kabar adanya dugaan korupsi dalam pembangunannya mencuat. Soal lain pun kini muncul; ada yang tidak beres dengan retribusi.

Floresa co – Tiga ekor anjing kecil tampak bercengkrama ria di ruang tunggu Terminal Kembur Selasa pagi dua pekan lalu. Mereka asyik berebutan menggigit sepotong baju kusam.

Aroma tak sedap pun tericum dari beberapa onggokan kotoran mereka yang berserakan di lantai terminal angkutan umum yang terletak di Kelurahan Satar Peot, bagian utara Borong, ibu kota Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur itu.

Sementara di dinding dan tempat duduk terminal, tampak beragam tulisan berisi kata-kata makian, juga nama-nama orang.

Sejumlah keramik di lantainya juga terlihat sudah terlepas. Nyaris semua jendela tanpa kaca. Pintu di salah satu ruangan di lantai satu terminal terlihat terbuka. Satu-satunya barang di dalam ruangan itu adalah meja kayu.

Tampak coretan di dinding dan tempak duduk Terminal Kembur. (Foto: Floresa.co)

Sekitar 300 meter arah timur terminal, di pertigaan jalan masuk, tampak seorang petugas dari Dinas Perhubungan yang mengenakan kemeja abu-abu dipadu celana biru. Ia duduk di kursi plastik, di depan sebuah rumah bercat hijau.

Selama tiga jam – dari pukul 08.30 – 11.30 Wita – memantau kondisi terminal itu, jurnalis Floresa.co tidak melihat kendaraan angkutan umum yang masuk ke terminal. Tidak ada aktivitas ekonomi juga di sana. Hanya kicauan burung yang terdengar.

Salah seorang warga di sekitar terminal mengatakan bahwa sudah sekitar tiga bulan terakhir tidak ada angkutan umum yang masuk ke sana.

“Petugas pungut retribusi di pertigaan itu,” kata warga itu yang meminta namanya tidak dipublikasi, sembari menunjuk ke arah tempat petugas itu duduk.

Terminal ini dibangun bertahap pada 2014-2016 dan menghabiskan total dana 3,6 miliar rupiah.

Namun, usai dibangun, terminal itu tidak dimanfaatkan. Tak lama kemudian, muncul kabar adanya dugaan korupsi dalam pembangunannya.

Kabar itu terkonfirmasi ketika pada Februari 2021, Kejaksaan Manggarai memeriksa sejumlah mantan pejabat yang terlibat dalam pembangunan terminal itu, termasuk mantan Bupati Yoseph Tote dan mantan Kepala Dinas Perhubungan, Fansialdus Jahang.

Tote memimpin Manggarai Timur selama dua periode (2008-2018) bersama wakilnya Andreas Agas, yang kini menjadi bupati. Sementara Fansialdus saat ini menjadi Sekretaris Daerah Kabupaten Manggarai.

Informasi yang diperoleh Floresa.co, dugaan korupsi tersebut terkait penggelembungan anggaran pengadaan tanah dan pembangunan fisik yang tidak sesuai perencanaan.

Difungsikan Usai Diselidiki Kejaksaan

Sebulan setelah pemeriksaaan para mantan pejabat oleh Kejaksaan, pada Maret 2021 pemerintah tiba-tiba mulai memanfaatkan Terminal Kembur.

Namun, menurut sejumlah sumber, saat difungsikan, kendaraan angkutan umum memang diarahkan masuk terminal untuk membayar retribusi, tetapi tidak ada aktivitas naik dan turun penumpang di sana.

Hal itu kemudian tidak berlangsung lama, karena setelahnya kendaraan tidak lagi memasuki terminal, tetapi hanya perlu membayar retribusi di pinggir jalan.

Elgi, seorang sopir angkutan umum dari jalur Kota Komba Utara menuju Borong membenarkan bahwa praktek membayar retribusi di pertigaan jalan masuk terminal diterapkan sekitar tiga bulan terakhir.

“Rumah warna hijau itu seperti terminal. Petugas terima uang retribusi di situ. Kami sudah tidak masuk terminal lagi,” katanya.

Dinas Perhubungan Manggarai Timur sempat membantah sejumlah informasi terkait kondisi terminal itu, termasuk soal retribusi yang dipungut di pinggir jalan.

Saat dimintai tanggapan oleh Floresa.co tentang masalah-masalah itu, Roni Ternate Ceme, Kepala Bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalanu berusaha menghubungi staf yang bertugas di terminal itu.

Karena stafnya itu tidak merespon, Roni mengajak Floresa.co untuk memantau langsung kondisi terminal.

Ketika tiba dilokasi pada Jumat, 11 Maret sekitar pukul 10.00 Wita, situasinya masih sama, tanpa petugas dan sunyi, kecuali beberapa kata makian di dinding yang telah dihapus. Beberapa ekor anjing juga masih bermain-main di ruang tunggu.

Menyaksikan pemandangan itu, Roni tampak kelabakan dan kembali berusaha menghubungi lagi petugas itu dan memintanya untuk datang ke terminal.

Setelah menunggu 20 menit dan petugas itu belum juga tiba, Roni meneleponnya lagi dan meminta untuk tidak perlu datang, tetapi menegaskan kepadanya agar tidak boleh lagi memungut retribusi di pertigaan jalan masuk terminal.

Romi mengatakan kepada Floresa.co ia bersama para petugas “sudah sepakat untuk tidak boleh lagi pungut retribusi di jalan,” namun pada saat yang sama membenarkan langkah petugas itu karena kondisi jalan menuju terminal yang rusak parah.

Kondisi kaca Terminal Kembur yang sudah pecah. (Foto: Floresa.co)

“Anda lihat, jalan sudah rusak. Memang kalau bis kayu bisa lewat, tetapi kalau mobil jenis pick up atau bemo tidak bisa karena (bannya) kandas,” jelasnya sembari menunjukkan beberapa titik jalan yang rusak tersebut.

Ia juga mengatakan, pemungutan retribusi di jalan itu memang salah menurut aturan, namun ia menyatakan bahwa uang retribusi tersebut tetap dimasukan dalam khas daerah.

“Kami tetap daftar di buku catatan pemasukan retribusi terminal setiap hari. Kami pastikan, uang-uang itu masuk ke kas daerah untuk menambah pendapatan asli daerah,” katanya.

Klaim Roni terkait pencatatan itu dipertanyakan oleh seorang sopir kendaraan angkutan umum yang mengaku sering tidak diberi karcis oleh petugas sebagai bukti pembayaran retribusi.

“(Uang) retribusi adalah 5.000 rupiah. Kalau kami kasih 20.000 rupiah, sering juga petugas tidak beri kembalian dan karcis,” ujar sopir tersebut.

ROSIS ADIR

spot_img
spot_img

Artikel Terkini