Kasus Tanah Kerangan: Kasasi Ditolak MA, Muhammad Achyar Mendekam 8 Tahun di Penjara

Floresa.co – Mahkamah Agung (MA) memutuskan menolak upaya kasasi Muhammad Achyar, terpidana kasus penggelapan aset tanah pemerintah di Kerangan, Kabupaten Manggarai Barat.

Putusan itu telah ditetapkan pada 9 Februari 2022 oleh majelis hakim MA, yakni Suhadi selaku ketua, dan anggota Suharto dan Ansori. Putusan itu kemudian dieksekusi pada Rabu, 23 Februari 2022 di Rutan Klas II B Kupang oleh Jaksa Eksekutor, S.Hendrik Tiip dan Nurcholis.

Achyar, yang berprofesi sebagai advokat menjadi salah satu dari belasan orang yang dipidana dalam kasus korupsi pengelolaan tanah milik Pemda Manggarai Barat di Kerangan seluas 30 hektar, dengan estimasi kerugian negara Rp 1,3 triliun.

Achyar sebelumnya divonis bersalah pada 18 Juni 2021 oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Kupang, dengan hukuman  10 tahun enam bulan penjara, denda satu miliar rupiah dan diwajibkan membayar biaya pengganti sebesar 500 juta.

Namun, ia kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Kupang, di mana dalam putusan pada 25 Agustus 2021, Pengadilan Tinggi mengurangi hukumannya menjadi delapan tahun penjara, denda 400 juta rupiah dan subsider 3 bulan kurungan. Selain itu, kewajiban membayar biaya pengganti dihapus. Terhadap putusan itu, Achyar mengajukan kasasi ke MA.

Dengan ditolaknya kasasi, kata Jaksa Hendrik, Achyar akan menjalani pidana yang sudah diputuskan oleh Pengadilan Tinggi Kupang itu.

Menurut data Floresa.co, dalam kasus ini Achyar terlibat karena ikut mengklaim sebagian dari tanah 30 hektar itu.

Awalnya ia menggunakan alas hak atas nama Abdullah Tengku Daeng Malewa, lalu menjualnya kepada dua orang, atas nama Gories Mere dan Sukarni Ilyas. Achyar disebut sudah menerima 500 juta sebagai uang muka dari harga total 3 miliar untuk tanah seluas 3 hektar yang dijual kepada Gories.

Karena Badan Pertanahan Nasional (BPN) Mabar tidak mau menerbitkan sertifikat untuk tanah itu, dengan alasan bahwa itu adalah tanah pemerintah, pada Januari 2018 Achyar bersama Gories disebut menemui Bupati Mabar kala itu, Agustinus Ch Dula – yang juga sudah divonis penjara dalam kasus ini dan Ketua BPN Mabar saat itu, I Gusti Made Anom.

Dalam pertemuan itu, disebutkan bahwa Made Anom tetap bersikeras menolak menerbitkan sertifikat. Sementara itu, Dula kemudian mengeluarkan surat pernyataan yang menyatakan bahwa Pemda Mabar tidak berminat lagi atas tanah 30 hektar itu. Berbekal surat itu, Achyar menemui Caitano Soares, seorang pegawai BPN Mabar yang juga sudah dipidana dalam kasus ini.

Atas arahan Soares, Achyar mengajukan kembali penerbitan sertifikat ke BPN Mabar untuk lokasi yang sama, namun luasnya tidak lagi 3 hektar, tetapi 5 hektar, dan alas hak yang dipakai bukan lagi Abdullah Tengku Daeng Malewa, tetapi atas nama seorang warga, Muhammad Adam Djudje. Selain itu, pemohonnya bukan lagi Gories, tetapi atas nama David Andre Pratama.

Kepala BPN, Made Anom disebut tetap menolak penerbitkan sertifikat itu namun, Soares tetap memprosesnya.

Karena adanya penolakan oleh Kepala BPN, Achyar disebut pernah bersama Gories mendatangi ruang kerja Kepala BPN untuk menanyakan perkembangan dan tindak lanjut permohonan penerbitan sertifikat untuk David Andre Pratama.

Adanya surat pernyataan Dula bahwa Pemda Mabar tidak berminat lagi atas tanah 30 hektar itu membuat David kemudian membangun villa di lahan yang diklaim itu, serta pagar yang dibangun Djudje.

Achyar dan pengacara Gabriel Mahal – yang adalah iparnya – juga pernah memasang plang di atas tanah itu, berisi tulisan bahwa tanah itu adalah milik Djudje dan berada di bahwa pengawasan mereka. Belakangan, setelah kasus ini diusut oleh Kejaksaan Tinggi NTT, tulisan dalam plang itu dicoret.

Kasus ini menyeret belasan orang ke balik jeruji besi, dengan latar belakang beragam, termasuk makelar, pegawai BPN dan pejabat pemerintah.

BACA JUGA: Tanah Kerangan dan Asa Mengurai Benang Kusut Mafia Tanah di Labuan Bajo

Selain Achyar, sejumlah orang yang putusan sudah dieksekusi adalah Marten Deo, mantan Kepala BPN Mabar; Abdulah Nur, mantan Camat Komodo; Ambrosius Syukur, mantan Kepala Bagian Tata Pemerintahan Manggarai Barat; dan Theresia Koro, seorang notaris. Sementara beberapa orang lainnya masih menanti putusan kasasi.

FLORESA

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini