Selain dengan Kementerian ESDM, Keuskupan Ruteng juga Teken MoU dengan Kemenpar dan Pemda Mabar Terkait Pembangunan Pariwisata

MoU dengan Kemenpar dan Pemda Mabar merupakan kedua yang diteken oleh Keuskupan Ruteng setelah sebelumnya dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral [ESDM] terkait dengan proyek Geothermal Wae Sano, Mabar.

Labuan Bajo, Floresa.co – Keuskupan Ruteng meneken nota kesepahaman [MoU] dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif serta Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Barat [Pemda Mabar] terkait pengembangan pariwisata di wilayah itu pada Senin, 6 Agustus 2021.

MoU itu merupakan kedua yang diteken oleh Keuskupan Ruteng setelah sebelumnya dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral [ESDM] terkait dengan proyek Geothermal Wae Sano, Mabar.

Masing-masing pihak diwakili oleh Vikaris Jenderal (Vikjen) Keuskupan Ruteng Romo Alfons Segar, Sekretaris Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Ni Wayan Giri Adnyani, dan Bupati Editasius Endi.

Hadir juga Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan, Menparkref Sandiaga Uno, dan Uskup Ruteng Mgr Sipri Hormat. Kegiatan dilakukan secara daring.

Dilansir mediaindonesia.com, Senin 6 September 2021, penandatanganan nota kesepahaman MoU itu terkait dengan pengembangan pariwisata di wilayah Labuan Bajo, yang juga merupakan bagian dari wilayah administrasi Keuskupan Ruteng.

Disebutkan ketiga pihak itu berkomitmen mengembangkan pariwisata yang holistik dan optimal, bertumpu pada keunikan kultur lokal, menyejahterakan, berkeadilan, berkelanjutan [ekologis] dan bermartabat.

Dalam siaran pers yang diteken Sekjen Keuskupan Ruteng, Manfred Habur disebutkan, yang menjadi dasar utama penandatangan nota kesepahaman para pihak ini adalah simpul sama yang mempersatukan pemerintah dan gereja.

Disebutkan bahwa, dalam kekhasan peran masing-masing, kedua-duanya mengurus manusia yang sama dan memiliki tujuan yang sama untuk mewujudkan kesejahteraan umum, kebahagiaan serta keadilan sosial bagi seluruh masyarakat.

“Pariwisata terarah tidak hanya pada pengembangan ekonomi saja tetapi pengembangan diri manusia seutuhnya dan seluruhnya. Pariwisata mesti berciri holistik. Pembangunan pariwisata mengabdi dan meneguhkan martabat kemanusiaan,” katanya Manfred.

Karena itu, menurut Manfred, semua pihak bersepakat dan berkomitmen agar dalam derap pariwisata tidak hanya kemajuan ekonomi yang menjadi fokus perhatian tetapi juga penguatan sosial, kultur lokal, dan etis-spiritual masyarakat setempat.

“Di sinilah gereja dapat memberikan sumbangsih yang fundamental dalam mewarnai dan meresapi seluruh proses pembangunan pariwisata holistik dengan nilai-nilai etis universal yakni: harkat dan martabat kemanusiaan (HAM), kesejahteraan umum [bonum commune], solidaritas [mengutamakan yang miskin, sengsara dan terpinggirkan], subsidiaritas [kemandirian dan partisipasi masyarakat lokal yang unik] dan ekologis [keutuhan ciptaan/keberlanjutan alam lingkungan],” tegas Manfred.

Selain itu, kata dia, gereja dan pemerintah juga memandang pentingnya pariwisata yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat lokal dan mendorong aktualisasi potensi-potensi khas sosial ekonominya.

Oleh karena itu masyarakat setempat perlu diberdayakan dan bersama semua stake holder terlibat aktif dalam seluruh proses pariwisata.

Uskup Sipri Hormat dalam sambutannya menggarisbawahi pentingnya pengembangan pariwisata yang bertumpu pada kekayaan kearifan lokal, meneguhkan keunikan budaya dan tradisi lokal, memperhatikan dan mengakomodasi karakteristik khas dan aspirasi penduduk setempat.

Gereja Keuskupan Ruteng juga berkomitmen terhadap dimensi ekologis dari pariwisata.

Sebab keutuhan ciptaan dan keberlanjutan lingkungan merupakan prasayarat dasar pariwisata sekaligus mutlak untuk menjamin kehidupan manusia dan eksistensi bumi, yang merupakan “rumah kita bersama”.

Ruang lingkup kerja sama meliputi pertukaran data dan informasi; penjalinan hubungan komunikasi, koordinasi, dan kajian holistik (perencanaan, pelaksanaan dan monitoring}.

Selanjutnya ialah pengembangan, sosialisasi dan penguatan etis kultural spiritual masyarakat dalam pengembangan pariwisata yang holistik, bertumpu pada keunikan lokal, menyejahterakan, berkeadilan berkelanjutan dan bermartabat; dan kerja sama atau kegiatan lainnya sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing pihak.

Bukan Hal Baru

Sebelumnya, pada 2 Oktober 2020 lalu, Keuskupan Ruteng juga meneken MoU dengan Kementerian ESDM terkait dengan proyek geothermal Wae Sano, yang kemudian memicu kontroversi karena tidak melibatkan masyarakat adat Wae Sano.

Isi MoU itu ialah kerja sama yang intensif untuk penyelesaian komprehensif terhadap masalah-masalah sosial yang muncul dalam rencana ekplorasi geotermal di Wae Sano.

Dalam MoU tersebut dijelaskan komitmen kedua pihak. Pemerintah berkomitmen menjaga kelestarian sosial lingkungan termasuk kelangsungan keanekaragaman hayati dan ekosistem sebagai penyangga kehidupan, keberlanjutan sosial termasuk kegiatan ekonomi dan kegiatan budaya serta situs warisan budaya termasuk sistem pertanian lingko dan/atau daerah keramat, serta kesehatan dan keselamatan masyarakat di sekitar lokasi kegiatan Penyediaan Data dan Informasi Panas Bumi di area panas bumi Wae Sano.

Untuk itu, akan dilakukan kajian tentang titik eksplorasi dan lokasi Well Pad yang sesuai dengan komitmen ini.

Selain itu jua akan disusun konsep Community Development yang berbasis potensi setempat antara lain dalam rangka mendukung pengembangan pariwisata berbasis masyarakat, pertanian, perkebunan, peternakan, pengembangan infrastruktur (jalan, air bersih, kesehatan, pendidikan) dalam kerja sama dengan instansi-instansi pemerintah pusat, provinsi, dan daerah.

Sementara pihak Gereja Keuskupan Ruteng berkomitmen menjadi gembala yang mengayomi semua pihak dalam rangka menemukan solusi komprehensif terhadap program pemanfaatan panas bumi di Wae Sano yang membawa manfaat bagi semua pihak.

Salah satu hasil dari MoU tersebut ialah pembentukan Tim Pengelola Sosial Proyek Panas Bumi Wae Sano.

Tim tersebut yang kemudian melakukan berbagai kegiatan ‘sosialisasi intensif maupun dialog yang transparan’ dengan berbagai elemen ‘baik Gereja Katolik maupun warga Wae Sano’.

Hasil kerja tim tersebut yang kemudian menjadi acuan Uskup Sipri hingga memberikan rekomendasi kepada Presiden Joko Widodo melalui surat yang dikirim pada 29 Mei 2021 lalu agar melanjutkan proyek yang dibiayai oleh Bank Dunia tersebut, hal yang kemudian memicu protes warga Wae Sano.

Warga Wae Sano meresponsnya dengan membuat surat terbuka untuk menegaskan kembali sikap mereka yang tetap konsisten ‘menolak proyek tersebut’ kepada Uskup Siprianus Hormat, Presiden Joko Widodo dan berbagai pihak terkait.

ARJ/Floresa

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini