Kebakaran Savana di Taman Nasional Komodo Kembali Terjadi, Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah?   

Kebakaran yang terjadi berulang di Taman Nasional Komodo menunjukan bahwa padang savana menjadi salah satu ekosistem yang rentan terhadap kebakaran, namun tidak menjadi perhatian prioritas pengambil kebijakan.

Labuan Bajo, Floresa.coKebakaran savana di Laju Pemali, kawasan Taman Nasional [TN] Komodo pada Sabtu, 7 Agustus 2021 menambah deretan kasus serupa yang terjadi di bentang alam satwa langka warisan dunia, Komodo tersebut.

Kepala Balai TN Komodo, Lukita Awang menyatakan, kebakaran itu terjadi sekitar pukul 15.00 Wita.

Luas lahan yang terbakar, perkiraan Awang ialah 10 hektar, yang berhasil dipadamkan pada Minggu, sekitar pukul 05.00 Wita. Sedangkan penyebabnya masih dalam penyelidikan.

“Penyebab sedang dalam penyelidikan. Kemungkinan besar faktor alam, karena memang cuaca di lokasi sangat panas dan gersang. Suhu sangat panas,” ujarnya seperti dilansir dari Antara.

BACA: Pulau Gili Lawa di TNK Terbakar, 10 Hektar Hangus

Tercatat, kebakaran yang terjadi persis di wilayah bagian barat TNK itu sebagai kasus ketiga, setidaknya yang tercatat sejak tahun 2018.

Kasus pertama, terjadi di Loh Pede, Pulau Komodo pada 19 Juni 2018. Api menghanguskan sekitar 10 hektar padang rumput.

Lalu disusul kejadian pada 1 Agustus di tahun yang sama, yakni di Gili Lawa Darat yang dilakukan oleh rombongan agen wisata Indonesia Juara.

Untungnya, pulau ini tidak dihuni oleh manusia maupun satwa komodo, namun menjadi salah satu spot wisata yang sering dikunjungi oleh wisatawan.

“Klaim” Kepala BTNK Dipertanyakan

Selain menjelaskan kronologi kejadian, Lukita Awang juga menyatakan bahwa Laju Pemali bukan merupakan habitat komodo.

“Yang terbakar itu daerah tebing. Tidak ada komodo (di sana),” kata Awang seperti dilansir Merdeka.com, Minggu, 8 Agustus.

Pernyataan Awang tersebut mendapat sorotan publik. Pasalnya, Laju Pamali sendiri terdapat di Pulau Komodo tepatnya di bagian barat, atau sebelah selatan Loh Wenci, bagian dari wilayah konservasi, TN Komodo.

Akun kolektif instagram @kawanbaikkomodo misalnya menyebut pernyataan Awang berpotensi menyesatkan publik dalam memahami habitat komodo.

Habitat Komodo, demikain disampaiakan @kawanbaikkomodo, bukan hanya di titik-titik tertentu saja, tetapi seluruh bentang alam TN Komodo, termasuk Laju Pemali.

“Seluruh bentang alam TN Komodo adalah habitat Komodo dan satwa penyertanya [istilahnya Companion Species]. Jadi kebakaran ini jelas masalah besar bagi Komodo,” tulisanya.

Menurutnya, perlu ada evaluasi secara menyeluruh melalui proses investigasi terhadap semua masalah di TN Komodo, baik itu kebakaran maupun pencurian satwa karena sudah terjadi berulang-ulang.

“Misalnya kebakaran di Gili Lawa 2018 tidak ada info public tentang hukuman bagi perusahaan yang terlibat. Begitu juga kasus pencurian rusa dan mega skandal penyelundupan komodo ke Jawa,” urainya.

Ia menyebut, sisi barat TN Komodo ialah titik lemah di mana menjadi lokasi strategis bagi pencuri satwa.
BACA: Komodo Dibawa ke Negara Lain, Bukan Hal Baru!

Sementara di sisi lain, Balai TN Komodo tak kunjung memperkuat pengawasan di wilayah ini, yang menurutnya disebabkan karena anggaran yang sangat kecil.

“Jauh lebih kecil dibandingkan dengan anggaran BPO Labuan Bajo Flores. [Padahal] sudah lama berbagai elemen masyarakat meminta agar BTNK ini diperkuat,” tulisanya.

“Tapi, rejim Jokowi adalah rejim infrastruktur. Jauh lebih banyak anggaran membuat bangunan beton daripada untuk konservasi,” tambahnya.

Harus Ada Aturan Perlindungan Savana

Kebakaran yang terjadi berulang di TNK menunjukan bahwa padang savana menjadi salah satu ekosistem yang rentan terhadap kebakaran, namun tidak menjadi perhatian prioritas pengambil kebijakan.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) NTT, Umbu Wulang Paranggi, menyatakan, di NTT, kasus kebakaran padang savana merupakah hal biasa.

Di Pulau Sumba, contoh dia, kebakaran padang savana bisa mencapai ribuah hektar.

Namun, perhatian publik, khususnya pemerintah sangat kecil ketimbang yang terjadi di TN Komodo, yang menurutnya disebabkan status TN Komodo sebagai daerah pariwisata internasional.

“Apapun alasannya, ini menunjukan bahwa Balai TN Komodo gagal melindungi kawasan tersebut, gagal melindungi ekosistem savana,” ujarnya merespons kasus kebakaran di Gili Lawa Darat pada 2018 lalu yang dilansir Mongabay.co.id.

“Di level nasional sampai daerah tidak ada satu aturan pun untuk melindungi ekosistem savana,” tegasnya.

Menurutnya, pemerintah hanya melindungi ekosistem gambut di Kalimantan dan Sumatera, serta ekosistem karst.

Padahal, tegas dia, savana atau sabana mempunyai mekanisme ekosistem sendiri, yang berfungsi secara biologi, sosial, budaya dan lingkungan hidup, tetapi tidak pernah digarap.

“Ini membuktikan kalau sabana ini tidak mendapat perhatian karena orang selalu mengganggap alam NTT itu gersang seperti di Afrika. Yang dianggap ekosistem itu kan kalau hijau, banyak pepohonan. Ini membuktikan bahwa kita gagal memaknai fungsi dan peran ekosistem savana,” katanya.

BACA: Jokowi dan Babak Baru Perizinan Investasi dalam Kawasan Taman Nasional Komodo

Menurutnya, pemerintah pusat pun pemerintah daerah perlu membuat peraturan, baik itu peraturan menteri atau peraturan daerah untuk perlindungan ekosistem savana.

“Di dinas Lingkungan Hidup kabupaten di NTT harus ada yang mengurus savana sebab berfungsi menampung air hujan terbaik,” pintanya.

Balai TN Komodo pun, kritiknya, tidak memiliki pengetahuan mengurus savana. Buktinya tidak sosialisasi atau petunjuk tentang fungsi dan keuntungan serta syarat perlindungan ekosistem savana di pulau-pulau gersang itu.

“Yang ada kan hanya tulisan dilarang membuang puntung rokok sembarangan, jangan membuat api, jangan membuang sampah sembarangan. Sementara soal apa itu savana dan kenapa harus dijaga kan tidak dijelaskan dan tidak masuk dalam narasi berpikir pihak Balai TNK,” sesalnya.

Padahal NTT, kata dia, merupakan provinsi dengan ekosistem savana terluas di Indonesia sekitar 3,5 juta hektar, sehingga perlu dibuat peraturan menteri atau peraturan daerah terkait perlindungan ekosistem savana.

“Di Sumatera ada tim restorasi gambut, sementara di NTT kenapa tidak ada tim perlindungan ekosistem sabana,” tegasnya.

Persoalannya selama ini, sebutnya, ekosistem sabana dikeluhkan keberadaannya dan dianggap kutukan dari Tuhan.

“Padahal savana merupakan ekosistem yang khas, mempunyai fungsi ekologi sendiri, seperti bisa untuk penggembalaan kuda dan sapi,” pungkasnya.

ARJ/Floresa

 

 

 

spot_img

Artikel Terkini