Meski Diperingati UNESCO, Pemerintah Ngotot Lanjutkan Proyek “Jurassic Park” dan Izin Perusahaan di TN Komodo

Pemerintah menyatakan pemberian izin wisata TNK kepada sejumlah perusahaan swasta "dibolehkan" dan berkomitmen untuk tetap melibatkan masyarakat setempat. Sementara itu, proyek yang sebagian besar telah selesai tetap dilanjutkan, termasuk di Pulau Rinca yang sudah mencapai 95%.

Labuan Bajo, Floresa.coPemerintah Indonesia ngotot tetap melanjutkan proyek infrastruktur penunjang pariwisata premium di Pulau Rinca dan Taman Nasional Komodo [TNK] meski diminta dihentikan oleh Badan Komite Warisan Dunia, United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization [UNESCO].

Dilansir BBC Indonesia, Jumat, 6 Agustus 2021, pemerintah mengklaim pemberian izin wisata TNK kepada sejumlah perusahaan swasta “dibolehkan” dan berkomitmen untuk tetap melibatkan masyarakat setempat.

Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem [KSDAE] KLHK, Wiratno mengatakan pembangunan proyek yang sebagian besar telah selesai tetap dilanjutkan, termasuk di Pulau Rinca yang sudah mencapai 95%.

Proyek wisata yang dijuluki “Jurassic Park” di media sosial ini diminta UNESCO dihentikan karena dapat memiliki dampak negatif terhadap lingkungan.

Namun, Wiratno mengklaim pembangunan infrastruktur ‘Jurassic Park Komodo’ seluas 1,3 hektar di kawasan Loh Buaya, Pulau Rinca – yang dikritik pegiat lingkungan dan konservasi sebagai “kebun binatang” – justru untuk melindungi komodo.

Ia juga mengatakan pembangunan proyek wisata ini melibatkan masyarakat setempat.

“Makanya, di Kampung Komodo, mereka [masyarakat setempat] sekarang juga diajak terlibat semua bisnis turis ini, jangan hanya jadi penonton,” ujarnya.

Disebutkan, PT SKL mendapat izin mengelola 22,1 hektar lahan di Pulau Rinca, PT KWE memperoleh izin mengelola lahan 151,9 Hektar di Pulau Komodo dan 274 hektar di Pulau Padar.

Ada juga PT Synergindo Niagatama mendapat izin seluas 15,3 Ha di Pulau Tatawa.

Wiratno menegaskan bahwa renovasi infrastruktur di Loh Buaya “akan terus dilanjutkan”.

Pembangunan infrastruktur seluas 1,3 hektar di kawasan Loh Buaya, Pulau Rinca, “agar layak sebagai fasilitas wisata premium”.

“Saat ini prosentase pembangunan dermaga telah mencapai 95% dan pembangunan pusat informasi 76%, dan dijadwalkan pada Desember 2021 telah selesai,” kata Wiratno.

Ia mengklaim pembangunan Jurrasic Park yang diarsiteki oleh Yori Antar itu tidak menimbulkan atau mengakibatkan dampak negatif terhadap Outstanding Universal Value (OUV) Situs Warisan Alam Dunia Taman Nasional Komodo, meskipun mendapat kritikan keras oleh publik luas.

“[Dengan pembangunan infrastruktur berupa dek di atas] turis akan jalan di atas, sehingga pengunjung tidak bersentuhan langsung dengan komodo,” ujarnya. Ia menambahkan, nantinya bentuk bangunan itu seperti “ekor komodo”.

Hal itu dia tekankan setelah pihaknya memperoleh hasil kajian penyempurnaan Environmental Impact Assessment (EIA) yang dilakukan oleh para pakar kehati dan lingkungan.

Menurutnya, tujuan pembangunan di Pulau Rinca hanyalah “mengganti sarana dan prasarana yang mana dan tidak layak” dengan “sarpras yang berstandar internasional.”

Itulah sebabnya, kata dia, proyek di Pulau Rinca tidak akan menganggu populasi komodo dan sumber pakan [rusa, kerbau, babi hutan], ekosistem savana, hingga hutan mangrove.

“Di sekitar lokasi pembangunan sarpras tersebut hanya terdapat 13 individu komodo, dari 60 individu komodo yang terdapat di Lembah Loh Buaya, di Pulau Rinca. Total populasi komodo di TN Komodo adalah 3.100 individu,” akunya.

Menanggapi soal revisi amdal, Wiratno mengaku saat ini sedang dilakukan proses perbaikan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) untuk menyesuaikan dengan kaidah-kaidah yang ditetapkan oleh IUCN.

“UKL/UPL ini merupakan satu kesatuan dokumen yang harus disubmit ke WHC [Komite Warisan Dunia] UNESCO,” katanya.

Infografik (Divisi Penelitian Sunspirit).

Target untuk menyampaikan keseluruhan dokumen EIA kepada WHC, jelas dia adalah akhir Agustus atau awal September 2021. “Agar bisa direview oleh IUCN dan WHC sebelum Sidang WHC ke-45 tahun 2022,” jelasnya.

“Tapi sebelum [dokumen EIA] diperiksa, [UNESCO] sudah buat decision [berupa dokumen peringatan kepada Indonesia], dan kita tidak punya hak untuk menjelaskan,” tambahnya.

Seharusnya, klaimnya, UNESCO bertanya kepada pemerintah Indonesia untuk mencek ulang data yang dia dapatkan dari pihak lain.

Sementara itu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Salahuddin Uno menganggap kemungkinan ada sedikit perbedaan antara yang diberitakan media dan apa yang terjadi di pertemuan UNESCO.

“Bagi kami, fokus pada Labuhan Bajo dan lima destinasi super prioritas ini menghadirkan pariwisata yang berkualitas dan berkelanjutan lingkungan,” kata Sandiaga dalam jumpa pers daring pada Senin, 2 Agustus lalu.

Peringatan UNESCO

Sebelumnya, UNESCO meminta pemerintah Indonesia menghentikan sementara semua proyek infrastruktur di dalam dan sekitar Taman Nasional Komodo (TNK).

Peringatan World Heritage Committee UNESCO itu disampaikan dalam Konvensi tentang Perlindungan Warisan Budaya dan Alam di Fuzhou, China, pada 16 hingga 31 Juli 2021. Pasalnya, pembangunan itu dinilai berdampak pada nilai universal luar biasa atau Outstanding Universal Value (OUV).

OUV adalah salah satu kriteria penilaian UNESCO untuk penetapan warisan dunia.

Dalam konvensi itu, pemerintah diminta memasukkan paling lambat pada 1 Februari 2022 laporan tentang Kondisi Koservasi TNK dan pelaksanaan keputusan penghentian ini kepada World Heritage Center untuk diperiksa oleh Komite pada sesi sidang 2022.

Sementara itu, revisi AMDAL sendiri harus mendapat persetujuan dari International Union for Consrevation of Nature (IUCN).

“Mendesak negara pihak untuk menghentikan semua proyek infrastruktur pariwisata di dalam dan sekitar property (World Heritage Side) yang berpotensi berdampak pada Nilai Universal Luar Biasa (OUV)-nya, hingga Amdal yang direvisi diajukan dan ditinjau oleh IUCN,” demikian bunyi poin yang disampaikan UNESCO.

Pemerintah harus menghentikan proyek-proyek APBN dan swasta, termasuk perusahaan-perusahaan yang sudah diberi konsensi bisnis.

“Pemerintah juga diminta untuk mengundang Tim Monitoring Bersama dari Komite Warisan Dunia dan Uni Internasional untuk Koservasi Alam untuk datang dan menilai langsung dampak proyek-proyek dankonsensi yang ada pada Nilai Universal Luar Biasa (OUV) dari Taman Nasional Komodo,” demikian bunyi poin lain.

Masyarakat sipil di Labuan Bajo saat menggelar aksi menolak kehadiran PT KWE dan SKL yang mengantongi izin usaha di dalam Kawasan Taman Nasional Komodo pada Agustus 2018. (Foto: Floresa).

Apresiasi Langkah UNESCO

Peringatan UNESCO terhadap pemerintah Indonesia merupakan buah dari desakan public; para pegiat lingkungan dan konservasi, pelaku pariwisata serta didukung oleh masyarakat setempat.

Pegiat Lingkungan, Doni Parera menyatakan meskipun terlambat, peringatan UNESCO menjadi momentum bagi pemerintah Indonesia melihat kembali kebijakan yang sudah dibuat dan yang direncanakan untuk diterapkan di TNK.

“Ketika setuju TNK sebagai warisan dunia, kita harus menerima bahwa, setiap perubahan yang kita lakukan di sana [TNK] harus mendapat persetujuan dari UNESCO,” katanya.

Ia menegaskan proyek “Jurassic Park” dan izin konsensi kepada perusahaan-perusahaan swasta menyalahi konservasi.

Menurutnya, Komodo sudah hidup jutaan tahun tanpa campur tangan manusia.

Namun ironinya, rencana pemerintah melalui proyek dan izin kepada perusahaan swasta itu memberikan dampak negative bagi kelangsungan hidup komodo.

“Aneh, pemerintah mengakomodir perusahaan-perusahaan rakus dari Jakarta dengan modal izin dan merusak warisan dunia,” tegasnya.

Senda dengan Doni, Aleksander Pelung, perwakilan pelaku wisata Labuan Bajo menyatakan, elemen sipil di Labuan Bajo, telah melakukan berbagai upaya melawan proyek kontroversial itu. Sayang, suara protes mereka tidak ditanggapi.

“Kami sudah demo beberapa kali di Labuan Bajo untuk penolakan itu. Jangankan dia lakukan sekarang, sementara rencana dia sejak awal itu kita sudah lakukan demo penolakan tentang itu. Sekarang sudah berjalan pembangunan di Pulau Rinca, UNESCO baru tanggapi sekarang,” kata Alex dalam diskusi media, Kamis, 5 Agustus 2021.

“Banyak aktivis kita di Labuan Bajo sampai terjun lapangan untuk mencabut patok-patok yang sudah ditanam di sana. Jadi saya akui itu semua, saya apresiasi pada teman-teman yang sudah bekerja keras tapi rupanya itu tidak dihiraukan oleh pemerintah,” pungkasnya.

ARJ/Floresa

 

spot_img

Artikel Terkini