Gereja Keuskupan Ruteng dan Geothermal Wae Sano

Prinsip Etis Kristiani cukup awas dengan anasir-anasir utilitaris di balik cerita-cerita besar. Jangan sampai terjadi “biarlah satu orang mati untuk semua bangsa” pada warga Wae Sano.

Oleh: YULIUS FERY, OFM, pernah berkarya di Keuskupan Ruteng

Ada ungkapan populer mengatakan: “Buku, cakrawala dunia.” Melalui buku, kita bisa memahami dunia lebih baik. Tetapi beberapa dekade terakhir muncul ungkapan yang sedikit terbalik: “Membaca tanda-tanda zaman.” Dunia dianggap seperti buku. Ada buku dunia, ada buku tertulis. Keduanya pantas untuk dicermati. Membaca keduanya memungkinkan kita untuk melihat sejauh mana tulisan tertentu muncul dari proses membaca tanda-tanda zaman atau tidak.

Antara GS dan Rekomendasi GKR

Siaran pers Gereja Keuskupan Ruteng (GKR) tentang Proyek Geothermal Wae Sano, tertanggal 11 Juni 2021 dapat dijadikan contoh. Siaran pers itu muncul di tengah polemik terkait surat Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat kepada Presiden Joko Widodo yang merekomendasikan agar proyek geothermal itu dilanjutkan. Isinya menjelaskan proses yang dilalui GKR hingga sampai pada rekomendasi itu.

Siaran pers yang ditandatangani Vikaris Jenderal, RD Alfons Segar ini dibagi menjadi empat bagian. Pertama, pendasaran etis GKR dengan mengutip dokumen Gaudium et Spes (GS) artikel 1. Kedua, kerisauan dan kecemasan warga Wae Sano terhadap proyek geothermal. Ketiga, tanggapan pemerintah terhadap kecemasan warga. Keempat, tanggapan GKR tentang masalah tersebut.

Melalui siaran pers itu saja, kita bisa memahami apakah ada konsistensi antara pendasaran etis dengan tanggapan. Untuk itu, artikel 1 GS perlu dikutip lengkap: “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga. Tiada sesuatu pun yang sungguh manusiawi, yang tak bergema di hati mereka. Sebab persekutuan mereka terdiri dari orang-orang, yang dipersatukan dalam Kristus, dibimbing oleh Roh Kudus dalam peziarahan mereka menuju Kerajaan Bapa, dan telah menerima warta keselamatan untuk disampaikan kepada semua orang. Maka persekutuan mereka itu mengalami dirinya sungguh erat berhubungan dengan umat manusia serta sejarahnya”.

Dalam siaran pers itu kita bisa mengetahui kecemasan konkrit dari orang-orang zaman sekarang. Salah satunya adalah warga Wae Sano. Mereka cemas kampung mereka terancam oleh proyek itu. Tanah beserta kampung di atasnya bukan sekedar benda mati dan hak milik. Itu adalah “ruang hidup” yang menjadi titik hubung antara religiositas, adat-istiadat, aktivitas sosial-ekonomi, dan lingkungan hidup. Merusak kampung sama dengan mengancam hidup. Maka, pokok pertama dan pokok kedua dapat diperas menjadi satu.

Pokok ketiga dan keempat dapat juga diperas menjadi satu. Toh, sudah ada Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding, MoU) antara GKR dan Pemerintah. Setelah melalui apa yang diklaim GKR sebagai proses dialog dan dialektika yang transparan, jujur, dan obyektif, GKR pun merekomendasikan rencana tindak lanjut. Jadi, kedua pihak sudah satu ide, satu pemahaman, dan satu keputusan. Yang perlu dilihat adalah dua hal ini. Pertama, kesesuaian antara rekomendasi GKR dengan dasar etis dari GS art. 1. Kedua, kesesuaian antara kecemasan warga Wae Sano dengan harapan GKR.

Membaca Dunia GS

GS adalah dokumen resmi Konsili Vatikan II yang berbicara tentang hubungan Gereja dengan dunia. Selain sebagai dokumen terpanjang, baru dalam GS persoalan di luar Gereja dibicarakan secara terbuka dalam Konsili Ekumenis. Gereja tidak lagi hanya sibuk mengurusi persoalan di dalam (ad intra), melainkan juga perlu berbicara kepada semua orang tentang persoalan dunia (ad extra).

GS disahkan pada 7 Desember 1965 sebagai dokumen terakhir yang disahkan, tetapi memahkotai Konsili Vatikan II. Disebut-sebut juga sebagai Magna Charta Kemanusiaan. Sebab, dokumen ini berbicara pada semua orang, bukan hanya umat Kristiani. Ketika membacanya, orang akan lebih banyak menemukan rumusan yang bersifat universal daripada yang bersifat khas Kristiani, seperti kutipan Kitab Suci.

Perang dingin, kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, kesenjangan sosial-ekonomi antarnegara, adalah persoalan global yang dibahas. Agar bisa menyasar semua orang, maka titik tolaknya adalah antropologi. Bukan antropologi sebagai animale rationale (binatang rasional) atau makhluk rohani belaka, tetapi sebagai manusia konkrit, dengan daging dan darah. Aspek rohani, jasmani, alamiah, dan kebudayaan adalah aspek yang membentuk kemanusiaan. Berbeda tetapi tetap satu juga.

Secara khusus GS artikel 1 berbicara beberapa hal penting berikut. Pertama, sekalipun kecemasan dan ketakutan tidak terpisahkan dari hidup manusia, tetapi sukacita dan harapan tidak boleh hilang. Selalu ada upaya untuk melawan kepunahan dengan memberi bobot kemanusiaan pada cita-cita kemajuan. Kedua, berkaitan dengan persoalan dunia, tidak ada pembedaan orang Kristiani dan bukan. Dunia dilihat sebagai keluarga dalam kemanusiaan (universam familiam humanam) dan persaudaraan menyeluruh (omnium fraternitam). Ketiga, hidup manusia dilihat sebagai pemberian (datum) sekaligus perutusan (mandatum) untuk merawat ruang kehidupan. Segala cita-cita kemajuan mesti mendengarkan suara nurani yang tidak mungkin mengkhianati kehidupan, bahkan bagi sekelompok kecil manusia.

Teks yang “Bunuh Diri”

Konsistensi terjadi apabila kecemasan warga Wae Sano sejalan dengan kecemasan GKR. Isi kecemasan dan tanggapan mesti sesuai. Kalau harapan masyarakat tidak sama dengan harapan GKR, maka ada kontradiksi dalam isi siaran pers GKR. Inilah “bunuh diri” pertama dalam teks.

Konsistensi juga terjadi apabila suara masyarakat konkrit mendapat tempat dalam proses MoU sampai pada rekomendasi GKR. Kalau isi rekomendasi tidak mewakili keinginan masyarakat, ada kontradiksi antara kecemasan warga dan kecemasan GKR. Siaran pers tersebut melakukan “bunuh diri” kedua.

Warga Wae Sano di Kabupaten Manggarai Barat sedang membaca surat Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat yang meminta agar proyek geothermal di kampung mereka dilanjutkan. Pada Minggu, 6 Juni, warga berkumpul membahas surat tersebut. (Foto: Floresa)

Inkosistensi terjadi kalau turunan di bawah kutipan GS artikel 1 dalam siaran pers GKR kontradiktif. Butuh keringat sampai becek untuk mendamaikan antara rekomendasi GKR dengan maksud kecemasan warga Wae Sano. Isi kecemasannya menolak proyek geothermal, isi GS art. 1 mendorong agar murid-murid Kristus mendengarkan kecemasan orang-orang zaman sekarang, tepai rekomendasinya mendukung proyek. Inilah “bunuh diri” ketiga.

Faktanya, sampai sekarang masih ada penolakan dari warga setempat. Berarti isi siaran pers GKR tidak mewakili suara masyarakat. Kalau diandaikan bahwa GKR memiliki maksud baik, maksud baik itu untuk siapa? Bukankah dalam soal kemajuan teknologi, termasuk soal energi terbarukan, kita mesti melihat secara cermat konsekuensi-konsekuensi yang tidak diinginkan (unintended consequences)? Energi panas bumi itu mungkin bisa memenuhi kebutuhan energi masyarakat NTT, termasuk pariwisata super-premium Labuan Bajo. Tetapi belum tentu menjamin “rasa kebudayaan dan konsep ruang hidup” dari warga Wae Sano.

BACA: Surat Uskup Ruteng Terkait Geothermal Picu Protes Warga Wae Sano

Ruang hidup yang meliputi mbaru kaeng, natas labar, uma duat, wae teku, dan compang takung sukar dicocok-cocokkan dalam konsep pembangunan modern. Daripada tergopoh-gopoh sambil silau oleh narasi besar pembangunan, lebih penting memilih bersikap cemas dan waspada. Orang Wae Sano berpikir sederhana tetapi penting. Mereka ingin makan, bekerja, bergaul, dan beragama dengan tenang. Ruang hidup lebih penting daripada energi.

Prinsip Etis Kristiani cukup awas dengan anasir-anasir utilitaris di balik cerita-cerita besar. Jangan sampai terjadi “biarlah satu orang mati untuk semua bangsa” pada warga Wae Sano. Kita akan menyisihkan prinsip omnia in caritate (lakukanlah segala pekerjaanmu dalam kasih) apabila mengorbankan ruang hidup sebagian kecil orang demi kebutuhan lebih banyak orang. Bukankah Yesus meninggalkan 99 domba untuk mencari 1 domba yang hilang? Demikian juga harapannya bagi GKR: Terus berjalan bersama umat yang cemas, sekecil dan sesederhana apapun mereka.

Kalau Teksnya Saja Bunuh Diri, Terus?

Jika dalam teks uraian sikap GKR itu sudah terjadi kontradiksi, apa yang bisa diharapkan dari turunan-turunan praktisnya kemudian? “Bunuh diri” bisa dicegah dengan meninjau ulang sikap sebagaimana tertera dalam siaran pers itu. Suara-suara protes warga tidak cukup ditampung. Mereka yang bersuara “menolak” perlu diajak berbicara kembali dalam seluruh proses dialog.

Bukankah menurut GS, yang dikutip di bagian awal siaran pers itu, kita adalah satu keluarga di dunia ini? Sehingga akan sangat menggelikan kalau umat Wae Sano hanya mendapat tetesan-tetesan rekomendasi dari atas. Mereka adalah sejajar dalam kemanusiaan, demikian juga dalam persekutuan umat GKR.

spot_img

Artikel Terkini