Kebun dan Tanah Rumah Dicaplok Kehutanan dan BPO Labuan Bajo – Flores jadi Destinasi Wisata, Warga Adat Lapor ke Bupati dan DPRD  

Penolakan warga terhadap peta Dinas Kehutanan dan BPO Labuan Bajo Flores karena warga adat Lancang, Wae Bo dan Raba telah menguasai lahan tersebut sejak tahun 1972. Di atas lahan tersebut sudah ada bangunan rumah dari warga masyarakat Lancang, berbagai jenis tanaman serta mata air.

Labuan Bajo, Floresa.coWarga adat Lancang, Kelurahan Wae Kelambu, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) melaporkan tindakan Badan Pelaksana Otorita (BPO) Labuan Bajo – Flores dan Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) kepada Bupati Mabar Edistasius Endi dan anggota DPRD pada Senin, 17 Mei 2021.

Mereka membuat pengaduan karena sebagian besar kebun mereka dicaplok menjadi kawasan hutan oleh Dinas Kehutanan yang kemudian diserahkan kepada BPO Labuan Bajo Flores. Selain kebun, di atas tanah tersebut terdapat juga rumah warga.

Tanah milik warga seluas belasan hektar tersebut merupakan bagian dari 400 hektar yang hendak dijadikan BPO Labuan Bajo Flores menjadi destinasi wisata buatan.

“Menolak dengan tegas peta kawasan yang dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan dan peta yang dikeluarkan oleh Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo Flores,” demikian bunyi pernyataan sikap yang dibacakan Dami Odos, perwakilan warga adat Lancang di hadapan Bupati Edistasius Endi di Kantor Bupati Mabar pada Senin, 17 Mei 2021.

Setelah dari Bupati Edistasius, mereka juga mengadukan masalah ini kepada DPRD Mabar dan membacakan pernyataan sikap yang sama. Selain Dami Odos, hadir juga dalam pertemuan itu Tua Golo Lancang, Theodorus Urus dan semua pemilik lahan.

BACA: Hutan Bowosie dalam Ancaman Proyek Wisata

Hadir juga Direktur Destinasi BPO Labuan Bajo Flores, Konstan dan dua rekannya. Hadir juga Kepala UPTD Kehutanan Mabar, Stefan Naftali, Sekda Mabar, Frans Sodo dan Kepala PLN UPL Labuan Bajo, Ambara.

Dami meminta kepada Pemda Mabar agar mendesak Dinas Kehutanan Pemprov NTT dan BPO Labuan Bajo Flores membatalkan desain pembangunan yang melewati tanah dan bahkan sampai rumah mereka.

“Meminta Pemda Mabar agar mendesak Dinas Kehutanan untuk membatalkan SK Kehutanan Tahun 2016 dan mengembalikan batas Pal yang pilarnya masih di lokasi hutan berjarak sekitar 60 meter dari batas tanah garapan masyarakat,” ujarnya.

Peta Lahan 400 hektar yang akan dikembangkan oleh BOP-LBF.

Menanggapi laporan masyarakat tersebut, Bupati Edistasius Endi mengingatkan bahwa substansi kehadiran BPO Labuan bajo Flores di tengah masyarakat ialah untuk masyarakat sejahtera.

“Bukan mencaplok lahan yang selama ini digarap masyarakat, bukan itu substansi kehadirannya tetapi bagaimana supaya masyarakat lebih sejahtera,” ujarnya.

Ia meminta agar UPTD Kehutanan dan BPO Labuan Bajo Flores untuk segera menyelesaikan masalah tersebut. “Tolong tunjukan di mana batas yang benar pal ini. Supaya masyarakat jangan dibuat seperti kelinci percobaan,” ujarnya.

BACA: BOP Klaim Ratusan Hektar Lahan di Labuan Bajo

Ia menyampaikan, Badan Pertanahan Nasional (BPN) pernah mengeluarkan sertifikat atas beberapa bidang lahan di wilayah yang diklaim BPO dan Kehutanan tersebut. “Notabene kalau lihat pal masih sangat jauh ke belakang,” ujarnya.

Ia meminta UPTD Kehutanan untuk secepatnya menyelesaikan masalah tersebut. “Cepat di-clear-kan supaya masyarakat tidak cemas dan putus asa. Stabilitas tidak terkendali. Kita harus memastikan, kehadiran siapun stabilitas daerah ini terjamin,” ujarnya.

Ia juga meminta BPO Labuan Bajo Flores menghentikan aktivitas di atas lahan tersebut. “Teman-teman BOP, tolong aktivitasnya dihentikan dulu di daerah Lancang supaya tidak terjadi hal yang tidak diinginkan,” katanya.

Ketua DPRD Mabar, Martinus Mitar menjanjikan untuk menggelar rapat dengar pendapat di DPRD Mabar dengan menghadirkan UPTD Kehutanan dan BPO Labuan Bajo Flores. “BPO Labuan Bajo Flores itu bukan lembaga yang lebih besar. Bukan lembaga yang ditakuti,” katanya.

BACA: Proyek Pariwisata BOP-LBF di atas 400 Hektar Hutan Bowosie – Labuan Bajo: Tanpa Amdal Hingga Keringanan Pajak untuk Perusahaan

Kepala UPTD Kehutanan Mabar, Stefan Naftali menyampaikan bahwa persoalan tersebut sudah terjadi sejak tahun 2020. Menurutnya, terdapat beberapa bagian lahan, termasuk lahan warga Lancang yang masuk dalam peta kawasan hutan versi Surat Keputusan (SK) No 357 Tahun 2016.

“Namun, tahun lalu kita sudah fasilitasi warga Lancang untuk meluruskan itu. Garis seharusnya mengikuti tata batas tahun 1993-1997. Ada beberapa tempat yang sesuai. Pilarnya di tempat lain, garis petanya di tempat lain. Kami sudah sampaikan ke Dinas Kehutanan Provinsi,” kata Naftali.

Hutan Bowosie berada tepat di atas pemukiman warga Labuan Bajo. (Foto: Floresa).

“Dari hasil penelusuran kami tahun 2020 kami sudah laporkan ke Dinas Kehutanan Provinsi, mudah-mudahan setelah lebaran selesai. Kita mau meluruskan peta itu, di mana garisnya. Kekeliruannya di mana,” tambahnya.

BACA: Catatan Tentang Lahan 400 Hektar BOP Labuan Bajo Flores

Direktur Destinasi BPO Labuan Bajo Flores, Konstan Mardinandus Nadus mengaku belum banyak memahami masalah tersebut. “Saya belum bisa menjawab banyak hal. Jangan cemas,” ujarnya.

Penolakan warga terhadap peta Dinas Kehutanan dan BPO Labuan Bajo Flores karena warga adat Lancang, Wae Bo dan Raba telah menguasai lahan tersebut sejak tahun 1972.

Di atas lahan tersebut sudah ada bangunan rumah dari warga masyarakat Lancang, berbagai jenis tanaman serta mata air.

“Lahan tersebut merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat Lancang, Raba dan Wae Bo,” ujar Dami.

ARJ/Floresa

 

 

spot_img

Artikel Terkini