Lahan Kerangan: Bukan Lagi Soal Sengketa Kepemilikan, Tapi Pidana Korupsi

Peristiwa yang terjadi tahun 1989 di mana Bupati Gaspar Ehok meminta lahan kepada Fungsionaris Adat Nggorang merupakan peristiwa maha penting. Proses selanjutnya - yang bersifat administratif prosedural - ialah pelengkap. Masalah ini dibawa ke ranah tindak pidana korupsi karena lahan tersebut final milik Pemda Mabar dan tidak ada sengketa kepemilikan.

Baca Juga

Floresa.co – Saling klaim beberapa pihak dengan Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat (Pemkab Mabar), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) atas tanah seluas 30 hektar di Kerangan, Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo telah memantik diskusi soal status hukum atas tanah tersebut.

Meski Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur (Kejati NTT) sudah menetapkan 20 orang tersangka karena dugaan korupsi atas tanah tersebut, namun, perdebatan soal status hukum atas tanah tersebut terus mewarnai ruang publik.

Menurut Praktisi Hukum, Elias Sumardi Dabur, status Pemda Mabar sebagai pemilik lahan tersebut tidak perlu diperdebatkan lagi. Bagi Elias, yang terjadi dalam kasus ini bukan lagi soal sengketa kepemilikan, tapi tindak pidana korupsi.

Alasan Elias ialah karena pada tahun 1989 telah terjadi kesepakatan antara Pemerintah Kabupaten Manggarai yang diwakili oleh Bupati Gaspar Parang Ehok dengan fungsionaris adat Nggorang, Dalu Ishaka dan Haku Mustafa sebagai pemilik lahan.

Objek kesepakatan itu, jelas Elias, tanah seluas 30 hektar di Kerangan, yang oleh Bupati Ehok hendak dibangunkan sekolah perikanan. Tata cara adat Manggarai atau kapu manuk lele tuak, ialah cara Bupati Ehok saat meminta lahan tersebut. Peristiwa tahun 1989 dan tata cara yang dipakai oleh Bupati Ehok itu, kata Elias ‘sangat penting’.

“Sesungguhnya peristiwa ini super penting. Ini yang jarang diperhatikan oleh kebanyakan orang yang mempersoalkan keabsahan hak milik Pemkab Mabar atas tanah Kerangan,” kata Elias dalam forum virtual, Zoom in Flores baru-baru ini.

Tak sedikit juga pihak yang menyangsikan kepemilikan Pemda Mabar atas lahan tersebut. “Orang dekat” mantan Bupati Agustinus Ch Dula”, Nick Toebald Deki misalnya, melalui blognya mengutarakan pendapatnya yang meragukan klaim Pemda Mabar.

Ia menyatakan, lahan Kerangan milik almarhum Haji Adam Djuje sembari menegaskan bahwa terdapat sejumlah kontradiksi pada dalil Pemda Mabar.

Almarhum Djuje, kata Deki memperoleh tanah itu atas penyerahan dari pihak yang sama dengan Pemda Manggarai pada tahun 1990. Sementara, Pemda Manggarai baru memperolehnya tahun 1997.

Menurutnya, jikalau tanah yang dimaksud sama, mestinya ada dokumen pembatalan hak milik dari Dalu Ishaka kepada Haji Djudje sehingga boleh diterbitkan dokumen baru atas tanah itu atas nama Pemda Manggarai.

“Nyatanya, dokumen pembatalan itu tidak ada,” kata Dosen STIE Karya Ruteng sekaligus peneliti pada Lembaga Nusa Bunga Mandiri yang juga yang menulis buku tentang Mantan Bupati Agustinus Ch Dula berjudul, “Agustinus Ch Dula: Sebuah Biografi” yang diterbitkan pada 2020 lalu.

BACA: Polemik Kerangan dan Terungkapnya Berbagai Tipologi Kasus Tanah di Labuan Bajo

Menguatkan pendapatnya itu, ia menyatakan bahwa secara administrasi, posisi Pemda Mabar tidak cukup kuat mengingat lahan itu tidak dimasukkan dalam inventaris aset, tidak pernah membayar pajak, serta tidak pernah menjadi temuan BPK dalam pemeriksaan keuangan dan aset daerah.

Keraguannya menguat kerena letak lahan itu yang berada di bukit, bukan di tempat rata. Menurutnya, letaknya di bukit tidak sesuai dengan tipologi lahan-lahan lain milik Pemda Mabar yang diperoleh dari pihak yang sama yakni berlokasi di tempat rata.

Memenuhi Syarat Sah Perjanjian

Menurut Elias, kesangsian berbagai pihak atas lahan itu sebagai milik Pemda Mabar tidak mendasar. Hal itu disebabkan pihak-pihak itu hanya fokus mempersoalkan hal yang bersifat administratif prosedural. Sementara di sisi lain mengabaikan peristiwa tahun 1989.

Deki dalam tulisannya tidak menyinggung soal penyerahan tahun 1989 itu.

“Orang umumnya ribut dengan hal-hal administratif. Tanah itu belum diserahkan. Pemda Mabar tidak punya dokumen asli, (dokumen) hanya foto kopi. Jadi (mereka) mempersoalkan hal yang sesungguhnya bisa diatasi,” ujarnya.

Muhammad Achyar bersama tim penyidik Kejaksaan, Kamis, 14 Januari 2020. (Foto: Ist)

Peristiwa tahun 1989, di mana ada kesepakatan antar Bupati Gaspar Ehok dan Fungsionaris Adat Kedaluan Nggorang, Haji Ishaka dan Haku Mustafa, kata Elias merupakan komponen penting dari rangkaian peristiwa peralihan lahan itu di tahun-tahun selanjutnya.

“Ini poin yang sangat mendasar. Jadi dari sisi materilnya, tanah itu sah milik Pemkab Mabar karena dikaitkan dengan syarat penting dalam perjanjian yakni adanya kesepakatan,” tukasnya sembari menegaskan bahwa peristiwa itu memenuhi syarat sah dalam sebuah perjanjian seperti yang digariskan dalam Pasal 1320 KUHPerdata.

Ia menerangkan, para pihak yang mengikatkan diri dalam kesepakatan tahun 1989 itu adalah subjek hukum yang cakap. Baik Bupati Gaspar Ehok maupun Haji Ishaka memiliki kewenangan untuk melakukan sesuatu di atas tanah itu.

“Kalau dikaitkan dengan hukum, tua adat itu memiliki kewenangan publik untuk mengatur pemanfaatan atas sebidang tanah. Itulah sebabnya saya katakan dari sisi wewenang, tua adat itu memiliki kewenangan untuk melakukan penyerahan atas tanah ulayat di Kerangan,” ujarnya.

Demikian pun pihak kedua yakni Bupati Ehok juga memiliki kewenangan yang sesuai dengan Undang-Undang Agraria.

“(Dalam UU Agraria) kalau konteksnya adalah pelepasan hak atas tanah kepada orang yang bukan bagian dari wilayah adat, maka proses itu namanya adalah proses pelepasan hak. Karena bupati ini adalah bukan bagian dari persekutuan adat Nggorang, maka cara yang dipakai berdasarkan adat Manggarai, memenuhi syarat sebagai pihak yang mengajukan permohonan dalam pengadaan tanah ini,” ujarnya.

Ia juga menyebut bahwa objek yang diperjanjikan juga sah. “Objeknya adalah jelas atau tanah seluas 30 hektar itu,” ujarnya.

Syarat lain yakni setiap perjanjian itu tidak bertentangan dengan undang-undang, tutur Elias, juga sudah dipenuhi dalam peristiwa penyerahan tanah itu.

“Penyerahan secara adat ini sudah sah karena sudah ada kesepakatan,” tuturnya.

BACA: Dari Kerangan ke Kejaksaan: Jejak Bupati Dula Hingga Menjadi Tersangka

Tentang pertanyaan, ‘apakah penyerahan secara adat Manggarai atau kapu manuk, lele tuak itu sah atau sesuai dengan hukum? Menurutnya, cara itu juga sah. Pasalnya, salah satu sumber hukum yang juga bisa dipakai untuk menjelaskan peristiwa tahun 1989 tersebut itu ialah kebiasaan atau adat istiadat setempat.

“Jawaban atas pertanyaan ini, kita kembali kepada asas hukum universal yaitu, ‘di mana ada masyarakat di situ ada hukum’,” tegasnya.

“Tata cara kebiasaan pengadaan tanah di Manggarai pada waktu itu adalah, kapu manuk lele tuak. Itu kebiasaan yang berlaku di Manggarai Raya pada umumnya. Cara ini diakui sebagai sumber hukum,” tuturnya sambil menambahkan bahwa di dalam praktik peradilan, hakim akan mempertimbangkan kebiasaan yang berlaku di masyarakat sebelum mengambil keputusan.

Surat Pelepasan Hak

Salah satu persoalan yang biasanya timbul akibat dari perjanjian, kata Elias ialah ketika ada perubahan perasaan, unsur penyesalan dari para pihak yang mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian dan lainnya. Untuk mengantisipasi persoalan seperti itu, katanya, dibutuhkan surat pelepasan hak yang juga telah dibuat oleh Fungsionaris Adat Kedaluan Nggorang dan Pemda Manggarai.

Ia menegaskan bahwa fungsi surat adalah bukti jika ada sengketa di kemudian hari. Namun keberadaan surat-surat itu tidak menegasikan sebuah perjanjian. Dalam masalah lahan Kerangan, jelasnya, surat pelepasan hak yang dibuat pada tahun 1997 dan 1998 lahir karena ada perjanjian pada tahun 1989.

“Ini yang perlu kita perhatikan, karena orang sering meributkan hal-hal yang sifatnya administratif seperti surat itu tidak ada tanda tangan Bupati Gaspar, Pemda hanya memegang foto copy. Itu yang selalu diangkat untuk mempersoalkan keabsahan Pemda Manggarai Barat atas tanah,” tegasnya.

Tahun 19998, fungsionaris adat Nggorang membuat surat pernyataan penegasan bahwa tanah itu sudah diserahkan kepada Pemda Manggarai pada tahun 1997 dengan batas-batasnya.

Ini adalah gambar peta lokasi yang beredar di media sosial, di mana diklaim bahwa lokasi milik Pemda Mabar bernama Kerangan berada di pinggir pantai, bukan di bukit. (Foto: Ist)

Diserahkan atau tidak diserahkan tanah itu dari Pemda Manggarai ke Pemda Manggarai Barat, kata Elias juga sama sekali tidak membatalkan bahwa tanah itu milik Pemda.

“Ada dokumen asli atau hanya foto copy, juga tidak mengurangi kenyataan bahwa tanah itu milik Pemda. Di BPN kan kalau dokumen aslinya hilang, kan bisa dibuat berita kehilangan. Itu semua bisa diurus. Saya kadang-kadang heran karena orang berurusan dengan hal-hal yang sangat sederhana,” tegasnya.

Bukan Sengketa Tetapi Tindak Pidana Korupsi

Menurut Elias, tidak ada sengketa atas lahan Kerangan. Sebab, sengketa di antara para pihak yang menjadi syarat untuk masalah itu diselesaikan secara keperdataan di pengadilan negeri. Sementara, para pihak dalam masalah Kerangan sudah menjadi tersangka dan mengakui kepemilikan Pemda Mabar.

“Sekarang ini semua pihak sudah mengaku, kemudian apa yang menjadi perdebatan. Ini kan kadang kita terbawa dengan cerita-cerita dulu, untuk suatu peristiwa yang sudah berubah. Membawa cerita-cerita dari berbagai versi untuk suatu fakta yang sudah jauh berubah,” ujarnya.

Lahan Kerangan sendiri tidak tercatat dalam daftar aset Pemda Mabar. Menurut Elias, selain karena paradigma pengelolaan aset atau barang milik negara dan barang milik daerah belum diatur dengan baik sebelum dikeluarkannya UU No. 1 Tahun 2004 tentang aset milik pemerintah daerah juga karena kesalahan Pemda Mabar sendiri.

Sejak lahirnya Undang-Undang Keuangan Negara Tahun 2003, UU Perbendaharaan Negara 2004, paradigma pengaturan aset daerah sudah diatur dengan sangat baik. Bahkan, katanya sudah diatur juga dalam aturan-aturan turunannya di mana bupati sendiri yang bertugas untuk mengatur tentang tata cara pengelolaan barang milik daerah.

“Saya tidak mengerti, apakah karena sengaja, karena kabupaten baru, pemekaran, sehingga pendaftaran aset ini tidak terjadi. Padahal itu wajib, kewajiban yang melekat pada Pemda,” ujarnya.

Sementara itu, di Kabupaten Mabar, penyerahan aset dari Kabupaten Manggarai, termasuk tanah Kerangan Toro Lema Batu Kalo tidak dicatat.

“Jadi, kalau ada pejabat publik dan penyelenggara negara yang jadi tersangka ini, itu karena ini tidak melakukan pencatatan aset, karena tidak tertib adminstrasi. Makanya saya bilang kelemahan terbesar Pemda di NTT adalah manajemen aset,” ujarnya.

Plang di lokasi yang diklaim oleh Haji Muhammad Adam Djudje. (Foto: Floresa)

Anehnya, tutur Elias, Pemda Mabar dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) juga tidak bersikap tegas ketika ada klaim dari pihak lain. Bahkan Bupati Dula memberikan rekomendasi pengurusan sertifikat kepada beberapa pihak.

BACA: Bencana Geothermal di Mandailing Natal Peringatan bagi Tempat Lain, Termasuk Flores

“Bingung juga dengan bupati kita ini. Sudah tahu itu tanah itu milik Pemda, luasnya jelas 30 hektar, tapi masih memberikan rekomendasi ke orang-orang itu, sehingga mereka bisa mengurus sertifikat di BPN,” ujarnya.

“Jadi ini benar-benar sandiwara. Karena secara dokumen mereka sudah ada. Orang-orang di BPN tidak lagi memeriksa kebenaran dari dokumen-dokumen ini. Berbekalkan sertifikat ini, mereka dapat melakukan transaksi ke mana-mana,” katanya.

Bahkan kata Elias, Bupati Dula juga mengeluarkan sebuah surat pada tahun 2018 tanpa persetujuan DPRD yang menyatakan bahwa Pemda tidak lagi berminat atas lahan itu.

“Makanya ini masuk kategori menyalahgunakan wewenang. Menertibkan, memanfaatkan aset tidak terjadi. Dan pelepasannya itu seolah milik pribadi, padahal ini milik Manggarai Barat,” tambahnya.

Ia menambahkan, masalah Kerangan ini dibawa ke ranah Tipikor karena tidak ada sengketa kepemilikan yang artinya sudah sah milik Pemda Mabar berdasarkan proses-proses yang terjadi sejak tahun 1989.

“Di bawah ke ranah tindak pidana korupsi karena adanya kelalaian, penyalahgunaan wewenang, tidak tertib administrasi yang membuat seolah tanah itu tak bertuan padahal sudah final milik Pemda Mabar,” pungkasnya.

ARJ/Floresa

Terkini