POP dan Pengembangan Profesionalisme Guru yang Kontekstual dan Berkelanjutan

Oleh: AGUSTINUS RAHMANTO, ASN Dinas Pendidikan Manggarai Timur, sedang studi Master of Education (Leadership and Management) di Flinders University, Australia

Kementerian Pendidikan telah mencanangkan Program Organisasi Penggerak (POP) yang merupakan bagian dari Kebijakan Merdeka Belajar. Melalui program tersebut Kemendikbud menyeleksi organisasi-organisasi masyarakat yang memiliki pengalaman dalam program peningkatan kompetensi guru di tanah air untuk memfasilitasi program pelatihan guru. 

Meski diterpa masalah yang diikuti dengan pengunduran diri beberapa organisasi yang telah lolos seleksi Kemendikbud seperti NU, Muhammadiyah dan PGRI, inisiatif Kemendikbud untuk melibatkan berbagai stakeholders pendidikan dalam upaya peningkatan kompetensi guru patut diapresiasi. Selain itu, target POP untuk merekrut minimal satu guru penggerak di setiap sekolah untuk menggerakan ekosistem pembelajaran di sekolah serta menumbuhkan kultur kolaborasi di tingkat sekolah harus kita dukung. 

Program Peningkatan Profesionalisme Guru yang Telah Berjalan

UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mengamanatkan pemerintah untuk memberikan perhatian serius pada aspek profesionalisme dan kesejahteraan guru seperti kualifikasi pendidikan, jenjang karir, skema gaji dan tunjangan serta pengembangan profesionalisme guru. 

Terkait peningkatan kompetensi guru, pemerintah kemudian menginisiasi program pengembangan profesionaliseme guru (Teacher Professional Development/TPD) secara nasional. Hingga tahun 2015, program tersebut lebih banyak dalam bentuk Training of Trainers (ToT) di mana guru-guru diundang untuk mengikuti pelatihan baik di tingkat kabupaten, provinsi maupun di pusat-pusat pelatihan guru Kemendikbud. 

Pada 2016, pemerintah menyelenggarakan Program Guru Penggerak yang dilanjutkan dengan Program Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) pada 2017 dan 2018. Untuk mengintegrasikan ketrampilan berpikir tingkat tinggi (High Order Thinking Skills/HOTS) dalam pembelajaran dan asesmen siswa, pada 2019 pemerintah menginisiasi Program Peningkatan Kompetensi Pembelajaran (PKP) berbasis zonasi.

Guru-guru yang telah mengikuti pelatihan tersebut kemudian kembali ke kabupaten dan melatih guru-guru di kabupaten. Karena efeknya multiplier (semakin ke bawah semakin banyak guru yang dilatih), pola pelatihan guru seperti ini biasa disebut cascade atau generational model. Model pelatihan guru seperti ini lebih menitikberatkan pada peningkatan kompetensi guru-guru secara individual. 

Pendekatan cascade atau ToT banyak dikritik karena terbukti tidak efektif. Menurut Flint, Zisook, & Fisher (2011), pola pelatihan ToT tidak berkontribusi secara signifikan terhadap peningkatan performa siswa.  

Penelitian yang dilakukan Widodo, Riandi & Wulan (2006) terhadap guru-guru Sains di tiga kabupaten di Jawa Barat menunjukkan bahwa hanya 50 persen guru-guru yang mengikuti kegiatan pelatihan guru mengaplikasikan pengetahuan dan ketrampilan di sekolah dan hanya 27 persen di antaranya yang menerapkan lebih dari satu tahun pengetahuan dan kerampilan baru yang diperoleh selama pelatihan. 

Hal ini terjadi karena kurang mendalam dan komprehensifnya pemahaman guru-guru yang telah mengikuti pelatihan sebagai teacher trainers yang tentu saja berdampak pada proses diseminasi dan pengembangan pengetahuan dan ketrampilan kepada guru-guru lain yang mereka damping ketika kembali ke kabupaten atau sekolah. 

Selain itu, dukungan di tingkat sekolah (in-school supports) kurang tersedia yang menyebabkan guru-guru tersebut tidak dapat mengaplikasikan pengetahuan dan ketrampilan yang mereka dapatkan selama pelatihan. Seperti yang ditegaskan Postholm (2012), keberhasilan pelatihan guru sangat bergantung pada kapasitas sekolah untuk menyediakan dukungan professional dan menumbuhkan iklim kolaborasi di sekolah. 

Pengembangan Profesionalisme Guru Sebagai Praktek Berkelanjutan

Hingga tahun 1990-an, kegiatan pengembangan profesionalisme guru dipersepsikan sebagai sebuah event atau pristiwa yang sering diasosiasikan dengan keterlibatan guru dalam pelatihan yang diselenggarakan oleh institusi-institusi eksternal seperti Dinas/Kementerian Pendidikan, institusi-institusi pelatihan guru atau asosiasi-asosiasi guru.

Dalam tahapan pengembangan karir guru untuk menjadi guru professional bersertifikasi atau program sertifikasi guru, peningkatan kompetensi guru disempitkan maknanya hanya sekadar keterlibatan guru dalam program Pengembangan Profesi Guru (PPG) Prajabatan dan PPG Dalam Jabatan untuk mendapatkan sertifikat pendidik yang berdampak pada Tunjangan Profesi Guru (TPG).

Saat ini, pengembangan profesionalisme guru dimaknai sebagai sebuah ‘proses’ pengembangan kapabilitas personal dan professional seorang guru secara terus-menerus (Continuing Professional Development/CPD) melalui refleksi, evaluasi dan pengembangan diri secara berkelanjutan untuk mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan personal dan profesional sebagai seorang pendidik. 

Proses pengembangan tersebut diarahkan untuk membuat perubahan-perubahan dalam skala besar dan berjangka panjang baik dalam pengetahuan, ketrampilan dan sikap agar berkontribusi terhadap peningkatan kualitas pengajaran untuk meningkatkan performa siswa (Fraser, Kennedy, Reid, & Mckinney, 2007). 

Sebagai sebuah proses peningkatan kompetensi yang berkelanjutan, pengembangan profesionalisme guru tidak lagi dibatasi pada program pelatihan guru dalam bentuk one-shot training yang dalam prakteknya lebih banyak diinisiasi dan difasilitasi oleh institusi-institusi eksternal. 

Sebaliknya, CPD lebih diarahkan pada pemberdayaan komunitas sekolah atau kelompok sekolah yang tergabung dalam gugus sekolah untuk meningkatkan kompetensi dengan mendorong mereka mengembangkan diri dengan melakukan kegiatan-kegiatan untuk mendukung peningkatan profesionalisme guru. 

Penekanannya tidak lagi pada peningkatkan kompetensi guru secara individual melalui pelatihan-pelatihan tapi lebih diarahkan pada pengembangan sekolah sebagai sebuah sistem atau organisasi pembelajar (learning organization) serta menumbuhkan ekosistem pembelajaran berkelanjutan di sekolah. 

Maka bentuk kegiatannya pun akan bermacam-macam. Misalnya kemitraan antar guru atau sekolah untuk saling belajar dan berbagi pengalaman baik. Sekolah-sekolah juga dapat membangun kerja sama dengan universitas-universitas atau institusi-institusi pendidikan setempat dalam mendampingi guru-guru. 

Di level individual dan kelompok yang lebih kecil, guru-guru berhimpun dalam kelompok belajar (community of practice) untuk belajar bersama, berbagi pengetahuan, pengalaman dan ketrampilan. 

Selain itu guru-guru saling melakukan observasi, belajar dari guru-guru yang lebih berpengalaman dan professional, melakukan refleksi untuk mengidentifikasi kekuataan dan kelemahan serta merumuskan rencana personal dan komunal dalam rangka meningkatkan kompetensi diri. 

Di samping itu, guru-guru mengambil bagian dalam project dan penelitian tindakan kelas baik yang dilakukan secara mandiri maupun dalam kelompok. 

Guru-guru juga menulis pengalaman atau praktek-praktek baik dan men-sharing-kannya dengan sesama guru untuk saling belajar dan berbagi. Mereka juga saling mendampingi (mentoring and coaching) satu sama lain, berkolaborasi dalam menyusun RPP dan mendiskusikan bersama bagaimana mengaplikasikannya dalam pembelajaran di kelas. 

Untuk meng-update informasi-informasi pendidikan, sekolah atau guru secara individual berlangganan koran atau majalah pendidikan. 

Mengkontekstualisasikan Program Peningkatan Profesionalisme Guru

Untuk menumbuhkan kultur pembelajaran di sekolah serta mendorong program pengembangan profesionalisme yang berbasis kebutuhan sekolah maka pemilihan strategi atau pendekatan baik dalam perencanaan, implementasi dan evaluasi program harus dilakukan dengan baik. 

Menurut Richardson & Placier (2001), pendekatan normative re-educative merupakan opsi yang tepat untuk diterapkan. Pendekatan ini didasarkan pada keyakinan bahwa nilai-nilai dan perilaku suatu masyarakat atau budaya menentukan cara bertindak masyarakat tersebut dan karena itu suatu perubahan mensyaratkan perubahan keyakinan dan perilaku. Selain itu, strategi normative re-educative mensyaratkan pendekatan kolaboratif dan berbasis pemecahan masalah serta mendorong pengambilan keputusan secara bersama. 

Dalam perspektif normative re-educative, program pengembangan profesionalisme guru atau pelatihan guru harus direncanakan, dilaksanakan dan dievaluasi oleh sekolah atau guru-guru yang terlibat di dalamnya. 

Menurut Kenedy (1987), ikhtiar peningkatan kompetensi guru melalui program pengembangan profesionalisme guru harus didasarkan pada konteks dan kebutuhan sekolah dan karena itu prosesnya harus berbasis pengalaman-pengalaman individual guru-guru sebagai akhibat keterlibatan mereka dalam seluruh proses pengembangan profesionalisme. 

Untuk merealisasikan hal tersebut, maka kegiatan peningkatan kompetensi guru harus dilakukan di tingkat sekolah di bawah kepemimpinan kepala sekolah. Cakupannya dibikin lebih sempit. Fokusnya tidak sekadar perbaikan kompetensi guru secara individual, tapi lebih diarahkan untuk membangun sistem yang mendorong ekosistem pembelajaran di sekolah. 

Maka budaya kolaborasi, saling berbagi, saling belajar, saling mendampingi, saling mengobservasi, saling menjadi mentor sesama guru, mendiskusikan dan mengaplikasikan praktek-praktek pedagogi terbaru, membikin RPP bersama, mendiskusikan strategi mengajar yang efektif dan belajar bersama tentang manajemen kelas yang efektif yang dilakukan di tingkat sekolah harus diarusutamakan. 

Sekolah tidak bisa lagi terlalu berharap dari intitusi-institusi eksternal untuk menjangkau dan melatih 794.057 guru dan 206.551 tenaga pendidik (Dapodik, 8 Agustus 2020) yang tersebar di sekolah-sekolah di seluruh pelosok tanah air. Peran institusi-institusi eksternal difokuskan untuk memberdayakan komunitas sekolah agar terus menggerakan ekosistem pembelajaran. 

Belajar dari negara kecil seperti Finlandia, inisiatif-inisiatif positif itu justru datang dari sekolah. Padahal dengan jumlah sekolah yang kecil dan karakteristik masyarakat yang homogen seperti di sana, mereka bisa saja sepenuhnya bergantung pada pemerintah atau institusi-institusi eksternal.

Sudah saatnya sekolah mengambil inisiatif itu secara proaktif. Penguatan kapabilitas guru harus lahir dari guru-guru dan sekolah sendiri di bawah kepemimpinan kepala sekolah dengan mengedepankan budaya kolaborasi dan kolegialitas yang produktif. 

spot_img
spot_img

Artikel Terkini