Lakukan Pelecehan Seksual Terhadap Murid Sendiri, Guru SD di Mabar Dipenjara 10 Tahun

Floresa.coSeorang guru di Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) mendapat vonis penjara 10 tahun karena melakukan pelecehan seksual terhadap muridnya sendiri.

Pengadilan Negeri Labuan Bajo dalam putusannya juga mewajibkan Robertus Hani, guru komite di SDN Munting Renggeng, Desa Watu Manggar, Kecamatan Macang Pacar itu untuk membayar denda 100 juta rupiah atau subsider tiga bulan penjara.

Dalam putusan yang diumumkan secara tertutup oleh hakim karena masalah pandemi Covid-19 dan salinannya diberikan kepada pihak keluarga korban pada 20 April, hakim ketua Ni Made Dewi Sukrani mengatakan, pelaku “telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelecehan” terhadap korban yang berusia delapan tahun.

Hakim mengatatakan, “seharusnya sebagai pendidik” Robertus “memberikan perlindungan dan menjadi teladan bagi anak didiknya.”

Kasus ini terungkap pada November tahun lalu setelah dilaporkan ke Polres Mabar oleh ibu korban.

BACA: Bocah 8 Tahun di Mabar: Dicabuli dan Diancam Dibunuh oleh Guru

Semula pihak keluarga pelaku sempat meminta agar kasus ini diselesaikan secara adat. Namun, ibu korban keberatan dan meminta bantuan Suster Maria Yosephina Pahlawati SSpS, biarawati aktivis di Labuan Bajo untuk melakukan pendampingan.

Robertus didakwa melecehkan muridnya itu selama delapan kali pada 2018-2019 dan mengancam membunuh korban jika membongkar apa yang ia lakukan.

Kasus ini diketahui ibu korban setelah mendapat laporan dari siswa lain yang pernah menyaksikan sendiri tindakan Robertus.

Suster Yosephina mengatakan, ia mengapresiasi vonis ini yang ia sebut sebagai vonis tertinggi dalam kasus-kasus pelecehan yang ia tangani di wilayah Mabar.

Ia menjelaskan, sebelumnya vonis yang lumayan berat adalah tujuh tahun dalam kasus dengan korban remaja 14 tahun yang diputuskan tahun lalu.

“Saya kira ini sebuah bentuk kemajuan dalam hal perlindungan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan,” katanya kepada Floresa.co.

Suster Yosephina mengaku mendampingi korban selama proses persidangan.

“Dalam sidang ia bisa menjelaskan dengan baik peristiwa yang ia alami. Kami terus memberi ia kekuatan,” katanya.

Sementara itu, ibu korban mengatakan, jika melihat dampak dari peristiwa ini, “saya berharap hukumannya bisa lebih berat.”

“Tapi kalau memang menurut undang-undang itu yang paling pas, saya terima saja,” katanya.

Ibu korban bekerja sebagai buruh tani dan sejak kasus ini dilaporkan ke polisi ia dan putri semata wayangnya tinggal di Rumah Singgah St Theresia untuk Perlindungan Perempuan dan Anaka di Labuan Bajo, tempat yang juga ditangani Sr Yosephina.

Ibunya mengatakan, putrinya masih belum bisa menghilangkan traumanya dan ketika melihat orang yang tampangnya mirip pelaku, ia masih kerap merasa takut.

Sr Yosephina mengatakan, ia akan terus melakukan pendampingan terhadap korban, “minimal sampai ia bisa pulih dari traumanya.

Ia menegaskan, vonis ini diharapkan membangkitkan kesadaran masyarakat tentang perlunya melawan kekerasan, apapun bentuknya.

“Kami juga berharap para korban kekerasan, terutama perempuan dan anak berani melapor, agar ada efek jera pada pelaku,” tegasnya.

ARL/FLORESA

spot_img

Artikel Terkini