Warga Lingko Lolok: ‘Kami Tak Mungkin Hidup di Langit Jika Tanah Kami Dikuasai Tambang’

Floresa.coDi sebuah pondok tua di tepi ladangnya, Isfridus Sota (54), seorang warga Lingko Lolok asyik merapikan buah jagung yang baru saja dipanen.

“Maaf, berantakan. Maklumlah musim panen jagung, keadaan di pondok kami seperti ini,” ujarnya saat menyambut beberapa wartawan yang menemuinya di lahan bernama Bea Nekes itu, Kamis, 16 April 2020.

April memang bulan panen bagi petani di Lingko Lolok, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur.

Pondok Isfridus itu yang berukuran tiga kali tiga meter berada di tepi lahan seluas satu hektar yang ditanami jagung, padi dan sorgum. Tanaman jagung setinggi di atas dua meter tampak sudah kering, sementara padi mulai menguning dan sorgum masih hijau.

Lahan di Bea Nekes, sebagaimana kondisi lahan lainnya di Desa Satar Punda, memang subur.  Selain cocok untuk ladang, kawasan yang tak jauh dari pantai utara Flores ini ditumbuhi pohon jambu mente, salah satu tanaman penopang ekonomi warga.

Berbagai jenis tanaman rumput untuk pakan ternak juga bertumbuh subur, sehingga para petani juga umumnya memelihara ternak seperti sapi dan kambing.

Isfridus  memiliki beberapa lahan berupa sawah, kebun jambu mente, dan ladang, di mana dari lahan tersebut ia bisa menghidupi keluarga hingga membiayai pendidikan anaknya.

Ia mengaku menikmati betul kehidupannya sebagai petani. Saban hari usai sarapan, katanya, ia beranjak ke kebun dan baru kembali ke kampung menjelang matahari terbenam.

Kehadiran Kembali Tambang

Namun, kisah tentang kehidupan bertani di wilayah ini kini terancam bersamaan dengan kehadiran kembali perusahan tambang. Setelah beberapa tahun lalu wilayah ini digempur tambang mangan, sekarang hadir dua perusahan semen.

Semula banyak warga di Lingko Lolok yang menolak kehadiran dua perusahan itu. Namun, sebagaimana dilaporkan sejumlah media sebelumnya, pasca Bupati Andreas Agas mengundang warga yang menolak itu ke rumah pribadinya di Cekalikang, Kecamatan Poco Ranaka beberapa waktu lalu dan mereka masing-masing dilaporkan mendapat uang Rp 10 juta, mereka pun banting stir.

Kini hanya tersisa Isfridus dan seorang warga lain, Bonefasius Uden (55) yang tegar menolak.

Langkah Isfridus dan Bonefasius berangkat dari pengalaman ketika sejak tahun 1997, kampung mereka dikuasai tiga perusahan tambang mangan, yakni PT Arumbai Mangan Bekti, PT Aditya Bumi Pertambangan, dan PT Istindo Mitra Perdana.

Kala itu, PT Arumbai dan PT Aditya mengeruk mangan di wilayah Lingko Lolok, PT Arumbai menambang di Blok E, Lingko Wani, dan Tanah Neni, sedangkan PT Aditya menambang di Lingko Sambi.

Ketiga perusahan itu angkat kaki tahun 2016 karena masifnya gerakan penolakan dari warga, yang didukung Gereja Katolik.

Isfridus mengaku ikut bekerja di salah satu dari perusahan itu. Namun, melihat tidak adanya perubahan bagi hidup mereka dan malah lingkungan yang rusak, kini ia mengambil langkah berbeda.

“Setelah mereka pergi, yang tersisa hanyalah lubang-lubang menganga, hanya ada kerusakan lingkungan, hanya tersisa batu-batu yang tentu saja tidak bisa ditanami tanaman seperti sebelumnya,” tutur Isfridus.

Salah satu bekas penambangan mangan di Lingko Neni, Lingko Lolok, Desa Satar Punda. (Foto: Floresa)

Salah satu yang paling parah, kata dia, adalah di Lingko Neni, salah satu bekas penambangan PT Arumbai.

Di bagian barat lahan itu yang menghadap ke laut, yang sebelumnya memiliki pemandangan teluk dan tanjung serta pantai yang indah, kini tampak seperti luka menganga. Ada lubang yang besar dan dalam. Pada satu sisinya, terlihat jurang bekas galian yang curam, di mana yang tersisa hanya rumput musim hujan yang menempel di sela-sela batu.

Bonefasius menambahkan, kehadiran perusahan tambang-tambang mangan itu telah memberikan bukti kerusakan lingkungan dan hubungan kekeluargaan di antara warga.

Ia mengatakan, selama berlangsungnya operasi pertambangan mangan di wilayah itu, banyak warga yang sakit karena menghirup udara yang dicemari debu.

Hubungan kekeluargaan pun, kata dia, retak karena berbeda pandangan tentang tambang.

Akan Menguasai 505 Hektar Lahan

Dua perusahan pabrik semen yang akan hadir adalah PT Singa Merah dan PT Istindo Mitra Manggarai. Perusahan yang kedua ini mirip dengan perusahan mangan PT Istindo Mitra Perdana.

Dari informasi yang diperoleh Floresa.co, keduanya memang menggunakan alamat yang sama, yakni di sebuah rumah di Reo yang disebut-sebut milik sebuah tarekat religius Katolik.

Kedua perusahan tersebut akan melakukan penambangana di atas lahan seluas 505 hektar, namun tidak diketahui pasti titik koordinatnya.

Vitalismus Seldi, salah satu dari 89 warga yang mendukung kehadiran dua perusahan itu mengatakan, mereka mengambil batu gamping, bahan baku untuk semen.

“Mereka hanya ambil batu gamping. Kalau ketemu mangan atau emas, mereka tidak ambil,” ujarnya saat ditemui di kampung Lingko Lolok.

Meski demikian, ancaman kepunahan kampung dan lahan pertanian warga ada di depan mata, mengingat salah satu poin kesepakatan antara warga dan pihak investor adalah perihal relokasi hunian warga karena hunian yang ada saat ini akan dikuasai oleh investor.

Ketakutan akan hilangnya lahan dan kampung ini menjadi alasan kuat bagi Isfridus dan Bonefasius, meski mereka mengaku berkali-kali didatangi oleh utusan investor agar berubah sikap.

“Manusia terus berkembang, beranak cucu, sedangkan tanah tidak berkembang,” kata Isfridus.

“Kami tak mungkin hidup di langit jika tanah kami dikuasai tambang,” tambahnya.

Hal senada dikatakan Bonefasius. Ia menegaskan, menyerahkan tanah ulayat hingga kampung halaman untuk dirusak oleh investor, dengan sendirinya akan merusak budaya warisan leluhur.

Bonefasius Uden: “Diberi uang pun kami tidak mau.” (Foto: Floresa)

“Jika ini terjadi, maka leluhur akan marah. Jangan main-main kalau leluhur sudah marah,” tutur pria yang tak banyak bicara ini.

“Kami tidak mau omong banyak. Tolak! Diberi uang pun kami tidak mau. Kami ini sudah dihadapkan dengan bujuk rayu,” tegasnya.

spot_img

Artikel Terkini