Surati Kapolda NTT, Kontras Desak Usut Aksi Kekerasan Anggota Polres Mabar Terhadap Warga

Baca Juga

Jakarta, Floresa.co – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau Kontras, lembaga advokasi yang berbasis di Jakarta menyurati Kapolda Nusa Tenggara Timur (NTT), Irjen Pol. Hamidin, mendesak agar mengusut tindakan kekerasan yang dilakukan oleh sejumlah anggota Polres Manggarai Barat terhadap beberapa pemuda.

Dalam surat itu yang diunggah di website Kontras dan dikutip Floresa.co, Selasa, 21 April, 2020, Kepala Divisi Pembela HAM, Arif Nur Fikri meminta Kapolda TT untuk “segera menindaklanjuti Laporan Polisi No. STTLP/55/IV/2020/NTT/Res Mabar tertanggal 13 April 2020,” yang adalah laporan dari pihak korban kekerasan.

Kontras juga meminta agar “proses hukum terhadap para pelaku berjalan dengan adil dan transparan, baik pidana maupun etik.”

Menurut Fikri, langkah itu harus diambil pihak Polda NTT karena tindakan anggota  Polres Mabar tersebut telah melanggar sejumlah aturan, baik di internal Kepolisian maupun peraturan perundang-undangan lain.

“Pelaku juga telah melanggar Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat,” katanya.

BACA: Anggota Komisi III DPR RI Desak Polres Mabar Tindak Tegas Polisi Pelaku Penganiayaan Warga  

Selain itu, kata Fikri, pelaku juga telah melanggar ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian.

Tembusan surat itu disampaikan ke sejumlah pihak, yakni Irwasda Polda NTT, Kapolres Mabar, Kompolnas dan Ombudsman.

Peristiwa penganiayaan ini menjadi ramai setelah Edo menceritakannya lewat sebuah video yang kemudian viral pada Minggu, 12 April 2020 lalu.

Dalam video itu, Edo mengaku bahwa ia dan rekan-rekannya dipukul anggota Polres Mabar pada Sabtu malam, 11 April karena dianggap tidak mengindahkan larangan untuk berkumpul demi mencegah penyebaran Covid-19.

Menurut Edo, malam itu, ia menemui teman-temannya yang baru pulang dari daerah terpapar Covid-19. Mereka tiba di Labuan Bajo dengan menggunakan kapal.

Ia mengatakan, teman-temannya itu tidak mendapat tempat untuk menumpang di Labuan Bajo sebelum mereka akan ke kampung masing-masing. Keluarga-keluarga mereka, klaim Edo, menolak menerima kehadiran mereka.

Ia menyatakan, peristiwa itu terjadi ketika polisi datang, meminta mereka bubar dan memaki. Malam itu ia dan delapan orang kawannya kemudian diangkut ke kantor polisi.

Dalam wawancara dengan Floresa.co, Edo mengaku saat diinterogasi di kantor Polres Mabar, tangan salah seorang polisi menghujam tepat di pelipisnya yang menyebabkan luka, sementara seorang polisi yang berdiri di atas meja menendang di bagian belakang kepalanya.

Akibat pemukulan itu, setidaknya tiga pemuda, salah satunya Edo mengalami luka parah di bagian wajah dan kepala bagian belakang, yang foto dan videonya diperoleh oleh Floresa.co.

Setelah dua jam berada di Polres, mereka kemudian dikembalikan lagi ke Pendopo, yang membuat Edo dalam videonya bertanya: “Kami mendapatkan luka-luka seperti ini, tapi tidak ada jalan keluar yang tepat. Kami malah dikembalikan ke Pendopo.”

Sementara itu, dalam keterangan tertulis, Kapolres Mabar, AKBP Handoyo Santoso mengatakan mengakui adanya ‘tindakan tegas’ terhadap sejumlah pemuda itu dan mengklaim melibatkan Seksi Propam untuk memeriksa tindakan arogan oknum anggotanya.

Menyusul dilaporkannya kasus kekerasan ini oleh Edo, pada Senin, 13 April, pihak Polres Mabar berupaya menempuh proses mediasi dengan membawakan uang sebesar 10 juta rupiah, namun ditolak keluarga Edo karena memutuskan tetap menlanjutkan proses hukum.

BACA: Bawa Uang Rp 10 Juta, Upaya Mediasi Polres Mabar Ditolak Keluarga Korban Penganiayaan
Perwakilan dari Polres Mabar mendatangi rumah salah korban penganiayaan, Edo Mense di Wae Kesambi, Desa Batu Cermin, Kecamata Komodo pada Senin malam, 13 April 2020. (Foto: Ist)

Langkah Pencegahan Covid-19 Tidak Boleh Melanggar Hukum

Sejak PP No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19 ditetapkan pada 31 Maret 2020, Kontras mencatat setidaknya sebanyak 944 orang telah ditangkap dibawah Pasal 93 UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan/atau Pasal 218 KUHP karena diduga melanggar PSBB.

BACA: Lewat Video, Pemuda di Labuan Bajo Kisahkan Pemukulan oleh Polisi

Dalam kejadian di Mabar, kata Fikri, upaya pencegahan Covid-19 sampai kepada eskalasi berbeda yakni penggunaan kekerasan yang melebihi kewenangan aparat kepolisian.

“Oleh karena itu kami menolak perkara ini hanya dipandang sebagai pelanggaran kode etik belaka, melainkan terdapat dugaan telah terjadi penganiayaan,” tegasnya.

Ia mengharapkan penanganan kerumunan dalam pencegahan Covid-19 oleh kepolisian selanjutnya tidak menggunakan cara-cara yang melanggar hukum dan HAM.

Polisi, kata dia, “harus menjamin implementasi Perkap No. 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Perkap No. 14/2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara RI dalam melaksanakan tugas pencegahan Covid-19,

ARJ/Floresa

Terkini