Wisata Premium Labuan Bajo: Negara vs Masyarakat Lokal

Arief Laga, Pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Karya Ruteng

Status Labuan Bajo sebagai destinasi wisata premium yang hari-hari ini ramai dibicarakan tidak lepas dari berbagai persoalan. Masing-masing elemen, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, aktivis dan masyarakat lokal mengkritik satu sama lain.

Bagaimana fakta ini didamaikan?

Saya memulai ulasan ini dengan melihat posisi negara sebagai sumber kebijakan dan peran serta harapan masyarakat lokal.  Agenda pembangunan Labuan Bajo sebagai destinasi wisata premium di satu sisi dapat dianggap sebagai hal positif, tetapi berdampak buruk bagi masyarakat lokal, di sisi lain.

Kondisi ini tepat untuk merepsentasikan dilema dalam setiap pembangunan.

Peran Negara dan Kritik Atasnya

Pembangunan Labuan Bajo sebagai wisata premium tentu bagian dari upaya negara dalam meningkatkan perekonomian melalui sektor pariwisata.

Semua entitas wisata, baik sumber daya alam, air, laut, tanah, hutan, yang berada dalam kawasan Labuan Bajo dan sekitarnya diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap perkembangan dan pertumbuhan ekonomi.

Pembangunan ini adalah repsentasi dari cita-cita besar negara kesejahteraan yang menggarisbawahi strategis od levelling atau strategi penyejahteraan yang kemudian secara konsisten dan progresif meruntuhkan kesengjangan sosial antara yang miskin dan yang kaya.

Keberpihakan negara adalah satu bentuk demokrasi sosial yang menjadikannya sebagai penyedia segala hal yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan umum. Keterlibatan ini normal dan didambakan oleh sebagian orang.

Sosiolog T.H Marshall memberi catatan bahwa negara kesejahteraan dan sistemnya akan meluas secara progresif, menyamai perkembangan ekonomi dengan implemntasi hak-hak kewarganegaraan yang semakin penuh (Giddens, Antony. 2000).

Persoalan yang kemudian mengkritik peran negara ini lahir karena sikap apatis negara itu sendiri. Peran negara demokrasi sosial memang secara keseluruhan tidak menentang kepedulian ekologis, tetapi merasa sulit untuk menyesuaikan diri dengan hal itu.

Penekanan korporatis dan orientasinya pada pemberdayaan sumber daya manusia secara maksimal, pembangunan taman wisata premium secara besar-besaran dan terpusat justru membuat negara sulit untuk menyesuaikan diri dengan masalah-masalah ekologis.

Dalam hal ini, suara-saura yang mengingatkan adanya persoalan ekologis pelan-pelan muncul di tengah kehendak negara membuka ruang bagi pembangunan area-area wisata yang terpusat dan berstandar internasional di wilayah Taman Nasional Komodo (TNK).

Persoalan lain yang muncul adalah kesenjangan keterlibatan dalam ekonomi. Investasi di kawasan TNK memberikan ruang seluas-luasnya untuk korporasi. Meskipun diberi akses untuk mengembangkan usaha, masyarakat lokal tetap berada dalam tekanan, ketidakbebasan karena ruang geraknya dibatasi.

Secara negatif, negara tidak mengetahui peran dan fungsi kawasan taman nasional terhadap kehidupan masyarakat lokal, juga sebaliknya. Yang dipikirkan adalah soal apa kontribusi ekonomi yang bisa didapat. Pola  pikir ini berkolerasi dan berkonsekwensi pada eksploitasi sehingga tidak merepresentasikan fungsi nilai dan manfaat taman nasional.

Untuk memulai proyek besar ini, negara bertindak apatis dengan tidak memberikan kesempatan untuk bersinergi dengan masyarakat. Keputusan-keputusan diambil sepihak. Wajar jika penolakan terjadi dengan masif.

Negara seharusnya berpegang pada kebijakan pengelolaan taman nasional yang dengan tegas merumuskan gagasan inisiatif kemitraan dalam perencanaan dan tata ruang, pemberdayaan masyarakat, kelembagaan kolaboratif, kebijakan dan peraturan, serta sumber daya mausia (Santosa, R Agus Budi. 2018).

Ada masalah besar ketika pemerintah tidak memperhitungkan masyarakat di sekitar TNK. Negara keliru ketika merencanakan pembangunan dengan memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat yang sudah menyatu dengan semua unsur lingkungan, Komodo, dan lainnya.

Situasi ini semakin diperumit dengan dikeluarkannya peta investasi super premium di kawasan TNK. Dalam peta investasi tersebut TNK tidak lagi menjadi kawasan yang mengakomodir kebutuhan aktivitas sekitar kawasan. Ia menjadi entitas tunggal yang terlepas dari dinamika di sekitarnya.

TNK telah menjadi ladang investasi bagi korporasi asing maupun nasional. Negara melalui peta investasi telah lari dari prinsip dan cita-cita utama negara kesejateraan karena tidak lagi mengakomodir kebutuhan masyarakat, melainkan hanya mengakomodir korporasi.

Akibatnya, pembangunan Labuan Bajo sebagai destinasi wisata premium yang fokusnya pada TNK hanya akan mendiskreditkan banyak hal terutama hak hidup masyarakat lokal, keaslian taman nasional, dan hak hidup satwa Komodo.  Tidak heran jika warga kemudian menuding pemerintah sedang merusak TNK.

Lebih dari Sekadar Nilai Tukar

Negara dalam rencana pembangunan ini memang mengatakan argumen-argumen ‘surga’ demi mendulang rupiah. Akan tetapi, mereka lupa bahwa rencana pembangunan ini mengubah mekanisme solidaritas sosial; manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan hewan, yang sudah dibangun sejak awal peradaban.

Venan Harianto Peneliti dari Sunspirit for Justice and Peace misalnya menyatakan, sampai pada titik ini, masyarakat ragu, apakah pembangunan wisata premium ungguh untuk kesejahteraan rakyat atau hanya untuk keuntungan segelintir orang.

Berbagai keutamaan seperti karakater yang baik, kejujuran, pemenuhan kewajiban, pengorbanan, penghormatan, kepercayaan, keberanaian, integritas, ketekunan, penghargaan akan musnah dengan sendirinya.  Negara, dalam situasi ini justru bersifat desktruktif, merusak tananan kehidupan bersama secara sistematis, dengan mengatasnamakan pembangunan ekonomi.

Negara juga lupa bahwa sebelum intervensi mereka masuk, masyarakat sudah memulai aktivitas ekonominya sendiri dengan menciptakan kebebasan pasar. Bagi masyarakat pasar adalah mesin yang senantiasa bergerak, yang hanya membutuhkan kerangka legal tanpa campur tangan pemerintah untuk menghasilkan pertumbuhan tanpa hambatan.

Narasi di atas menegasakan bahwa pembangunan Labuan Bajo sebagai wisata premium tidak boleh hanya dipoles dalam kerangka nilai tukar. Dengan kata lain, kehendak negara untuk melakukan perubahan tidak hanya dengan mencita-citakan kehadiran wisatawan berduit, melainkan juga dengan memberikan akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berkreasi, berelasi dengan alamnya, menjaga satwanya, tanpa mencabik-cabik kebebasannya.

Toh laba yang diperoleh dari pembangunan tersebut bisa saja dimanfaatkan untuk kepentingan lain, jauh dari kepentingan masyarakat lokal. Tentang ini, Ferdy Hasiman, Peneliti Alpha Reseacrh misalnya mengingatkan, dari pengelolaan TNK, yang sekarang dikontrol pemerintah pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), rakyat Manggarai Barat tak mendapat apa-apa dari penarikan retribusi dan pajak dari TNK senilai Rp 29 miliar tahun 2017 dan Rp 32 miliar tahun 2018.

Kita takut, negara bisa saja menciptakan kejahatan besar dalam aspek ekonomi, sosial dan ekologis serta menimbulkan kerugian besar dan destruktif bagi orang-orang yang dikira akan mendapatkan keuntungan darinya.

Nilai-nilai Pembangunan

Profesor Gooluet dan rekan-rekan ahli ekonomi menyebutkan bahwa paling sedikit ada tiga komponen pembangunan yang harus diperhatikan yaitu, kecukupan (sustenance), harga diri (self-esteem), dan kebebasan (freedom).

Kecukupan merujuk pada kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar, baik pangan, papan, sandang, kesehatan, maupun keamanan. Harga diri bermakna menjadi manusia seutuhnya yang dipertegas oleh unsur-unsur hakiki seperti memiliki kemampuan untuk maju, menghargai diri sendiri.  Sementara kebebasan mengarah pada kemampuan untuk memilih. Setiap orang memerlukan kemerdekaan yang secara universal dipahami sebagai kemampuan untuk berdiri tegak sehingga tidak diperbudak oleh aspek-aspek materiil.

Dalam konteks ini, nilai-nilai pembangunan Labuan Bajo sebagai wisata premium adalah hal yang substansif yang mempengaruhi persepsi masyarakat lokal terhadap berbagai kebijakan ekonomi yang ada. Oleh karena itu, segalanya harus dipadupadankan, semua pihak harus bersinergi, memberi ruang untuk menempatkan nilai-nilai ini sebagai foundasi pembangunan.

Sebagai penutup, negara dalam seluruh perencanaan perlu memperjuangkan nilai-nilai pembangunan, mempertimbangkan kebijakan pembangunan yang individualistik-korporat, memikirkan pembangunan wisata yang mengafirmasi keberlanjutan lingkungan, manusia, satwa.

Negara perlu bersikap adil, tidak perlu arogan. Pembangunan perlu mempertimbangkan banyak aspek terutama aspek sosial dan ekologis.  Mengutip pandangan ekosisoalisme “kita, spesies lain, dan ekosistem alam serta satwa adalah mitra dalam takdir yang sama.”

spot_img

Artikel Terkini