Apakah Monopsoni akan Kembali Jadi Topik Kampanye Pilkada Manggarai?

Oleh: PETRUS DABU

Pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung akan kembali digelar serentak di 270 daerah (9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota) pada 23 September 2020. Salah satu di antaranya adalah Kabupaten Manggarai di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Hajatan Pilkada tahun ini mengingatkan saya akan peristiwa politik yang sama lima tahun lalu. Saat itu, ada dua pasangan calon yaitu Kamelus Deno-Victor Madur dan Herybertus GL Nabit-Adolfus Gabur.

Salah satu topik kampanye yang paling saya ingat dari Pilkada 2015 adalah kritik pasangan Deno-Madur terhadap praktik perdagangan komoditas di Manggarai. Kala itu, Deno menyampaikan bahwa ada praktik monopsoni dalam perdagangan komoditas seperti kopi, kemiri, vanili dan cengkeh.

BACA:

Sebagai seorang calon inkumben– 10 tahun jadi wakil bupati – kala itu, mestinya Deno tidak pas menyampaikan kritikan semacam itu. Sebagai orang yang memegang palu kekuasaan selama satu dekade sebelumnya, ia semestinya  bisa menata perdagagan komoditi agar tidak dikuasai segelintir pembeli (monopsoni) atau bisa membuat petani makin sejahtera.

Tetapi jelas, saat itu, yang menjadi sasaran tembak Deno adalah sang penantang tunggal, Hery. Hery adalah mantan PNS di Manggarai dan keluarga istrinya adalah pengusaha pengepul komoditi.

BACA:

Diangkatnya topik monopsoni ini dalam panggung kampanye politik di Manggarai kala itu adalah sesuatu yang sangat menarik. Topik ini tentu saja bobotnya lebih baik ketimbang isu mengenai pertarungan Cibal versus Todo yang juga ramai dibicarakan saat Pilkada 2015.  Cibal diasosiasikan dengan Deno yang memang kelahiran Cibal, meski dari segi garis keturunan, ayahnya berasal dari Dalo, Kecamatan Ruteng.

Sedangkan Todo diasosiasikan dengan Hery Nabit, meski secara genealogi Hery punya darah Cibal.

Isu lain yang juga ramai dibicarakan pada Pilkada 2015 adalah ‘darah biru’ versus ‘anak kampung’. Darah biru diasosiasikan dengan Hery, anak kampung diasosiasikan dengan Deno.

Dari tiga topik atau wacana  itu, yang paling relevan dengan perbaikan hajat hidup orang banyak (bonum commune) adalah topik soal monopsoni tadi.

Pertanyaan yang masih terus aktual adalah apakah monopsoni itu benar terjadi?

Untuk menjawabnya tentu membutuhkan sebuah riset yang mendalam agar tidak sekedar menjadi “komoditas” saat musim kampanye politik seperti sekarang.

Tetapi terlepas dari itu, posisi petani komoditi di Manggarai – dan mungkin juga di daerah lain di Indonesia – memang lemah berhadapan dengan pembeli di pasar.

Para petani komoditi umumnya tak punya kuasa untuk menentukan harga komoditi yang mereka jual. Mereka menerima begitu saja harga yang ditetapkan oleh pembeli, apalagi bila dalam kondisi terhimpit, misalnya sedang membutuhkan uang untuk sekolah anak atau bayar utang.

Akibatnya, petani di Manggarai dan Indonesia pada umumnya relatif kurang sejahtera.

Menurut pengamatan saya, para petani  di Manggarai – dan mungkin juga daerah lain – tidak memiliki akses informasi harga di pasar sehingga mereka tidak memiliki posisi tawar berhadapan dengan pembeli komodidi di daerah. Inilah yang mestinya dicarikan jalan keluarnya oleh para kandidat yang bertarung pada pilkada tahun ini.

Saya sendiri menawarkan solusinya adalah memperkuat peran BUMD agar ikut dilibatkan dalam perdagangan komoditi. Daripada bermain di bisnis skala UMKM, mestinya BUMD dengan dukungan modal yang besar dari pemerintah daerah bisa membuat pabrik pengolahan sendiri.

Misalnya pabrik pengolahan minyak kemiri yang produksnya cukup banyak di Manggarai dan NTT.

F. Rahardi, mantan pemimpin redaksi Majalah Trubus, pernah menulis sebuah artikel soal kemiri di NTT di Tabloid KONTAN edisi 16 November-22 November 2015.

Dalam artikel tersebut, Rahardi menjelaskan buah kemiri setidaknya memiliki tiga produk yang bisa dihasilkan, yaitu biji kupasnya (daging) yang bisa diolah menjadi minyak kemiri. Kedua, ampasnya diolah menjadi bungkil (tepung) dan ketiga cangkangnya bisa menjadi karbon aktif.

Selama ini, petani di NTT pada umumnya dan Manggarai khususnya hanya menjual biji kupas atau daging kemirinya. Saat artikel itu dibuat Rahardi membuat perhitungan harga biji kupas di tingkat produsen (petani) sekitar Rp 40.000 per kg. Harga ini sudah lebih baik ketimbang menjual masih dalam bentuk cangkang (kemiri cangkang) yaitu sekitar Rp 12.000 per kg.

Dengan asumsi rendemen minyak kemiri sekitar 15%, berarti, dari 1 kg biji kemiri akan diperoleh 0,15 kg minyak dan 0,85 kg bungkil. Harga bungkil di tingkat produsen sekitar Rp 40.000 per kg sedangkan harga minyak kemiri di tingkat produsen sekitar Rp 200.000 per kg.  Dari 1 kg biji kemiri akan diperoleh bungkil senilai Rp 34.000 dan minyak Rp 30.000 = Rp 64.000.

Bila petani menjual Rp 40.000 per kg, berarti ada nilai tambah Rp 24.000 yang dinikmati oleh pabrik-pabrik di Jawa, tentu saja setelah dikurangi biaya penyusutan dan biaya operasional.

Kembali lagi ke soal Pilkada tadi, adakah kandidat yang menawarkan ide untuk meningkatkan nilai tambah (value added) komoditi unggulan di Manggarai?

Bila ada, kandidat tersebut layak didukung. Kalau tidak ada, mending tidak perlu ada bupati dan wakil bupati di Manggarai.

Penulis adalah jurnalis asal Manggarai

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini