Mengapa Bunuh Diri Kian Marak di Manggarai?

Floresa.co – RAO nekat mengakhiri hidupnya sendiri pada Senin sore, 6 Mei 2019. Padahal, gadis asal Kampung Wunis, Desa Wunis, Kecamtan Poco Ranaka Timur, Kabupaten Manggarai Timur itu masih berusia 18 tahun.

Ia baru saja menamatkan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA). Kesempatan hidup tentu masih terbentang panjang. Tetapi toh, ia memilih mengakhiri sendiri hidupnya.

Seminggu sebelumnya, seorang remaja lain di Kabupaten Manggarai Timur juga memilih gantung diri.

MMW (16) siswa kelas III SMP di Kecamatan Kota Komba itu menghabiskan nyawanya di pohon asam di belakang rumah.

Masih di tahun ini, sebelumnya, seorang pemuda di Kuwu, Kecamatan Cibal dan  seorang kakek di Satar Mese juga memilih menghabisi nyawa di tangan mereka sendiri.

Kasus-kasus serupa juga sudah banyak terjadi di Kabupaten Manggarai dan Manggarai Timur selama beberapa tahun belakangan.

Pada tahun lalu, misalnya, setidaknya terjadi tiga kasus, yakni AD (30), petani di Watunggong yang gantung diri pada 21 Maret. Kasus berikut adalah F (28), petani asal Kenda, Wae Ri’i, yang juga gantung diri serta VK, warga Kelurahan Waso, Kecamatan Langke Rembong yang gantung diri pada 4 Mei.

Tahun 2017, setidaknya ada lima kasus. Pertama adalah HYJ, siswa SMK Swakarsa Ruteng yang gantung diri di belakang rumahnya di Lingko Redong.

Kedua, adalah YS, mahasiswi semester IV di STIKES Paulus, Ruteng, yang bunuh diri saat sedang mengandung. Ketiga, TH (44) warga kampung Robo, Kecamatan Wae Ri’i, juga memilih mengakhiri hidup dengan cara gantung diri.

Kasus keempat terjadi IOL, siswi kelas 2 SMP, warga Kelurahan Tenda yang memilih memilh membakar diri. Kasus terakhir terjadi pada 16 Desember, yaitu RL, warga Lembor, Manggarai Barat.

Mayoritas kasus menimpa anak-anak mudah berusia remaja dan produktif.

Pemicu

Riset yang dilakukan sebuah lembaga yang berbasis di Ruteng, Yayasan Mariamoe Peduli (YMP) di 9 kecamatan di Kabupaten Manggarai Timur pada awal tahun 2018 lalu menemukan pemicu di balik maraknya kasus bunuh diri.

Riset ini menemukan bahwa saat ini ketahahan psikologis terutama pada anak-anak dan remaja anak-anak dan remaja cenderung mengurang.

Akibatnya, menurut Albina Redempta, Direktur YMP, banyak remaja yang kurang kuat menghadapi pengalaman atau situasi yang penuh dengan tekanan (stressor).

Stressor yang harusnya hanya menyentuh level rendah pada orang kebanyakan, jelasnya, pada kelompok anak dengan ketahanan psikologis yang rendah justru bisa menjadi problem yang sangat pelik.

“(Hal ini) berujung pada jalan buntu, dengan mengahiri hidup,” kata Albina kepada Floresa.co, Rabu 8 Mei.

Turbulensi sosial yang sangat cepat, menurut Albina, membuat anak-anak yang tidak kuat tersingkir dari pergulatan hidup dan cenderung kehilangan harapan.

Di sini, katanya, pola pendidikan dalam keluarga sangat menentukan.

Menurutnya, banyak orangtua yang mengabaikan kecerdasan mengelola masalah dalam mengasuh anaknya.

“Orangtua cenderung membesarkan anak dengan pola mengambil alih semua peran anak dan tidak membiarkan anak mengalami kegagalan,” ujarnya.

Anak-anak, lanjut Albina, dididik hanya menjadi pemenang (winner) dan tidak disiapkan untuk menghadapi situasi kalah (loser).

“Itulah yamg membuat ketahanan psikologis anak-anak hari ini menjadi sangat rendah, misalnya sulit menerima kegagalan,” ujarnya.

Albina juga menuding faktor lain adalah pemberitaan media massa tentang kasus bunuh diri, meski bagi bagi pegiat studi efek media hal ini masih merupakan perdebatan panjang.

Bagi Albina, pemberitaan yang disajikan dengan sangat detil, disertai cara bagaimana korban bunuh diri melakukan aksinya ikut mengaruhi orang lain untuk melakukan hal serupa.

“Adacopying mechanism (meniru pola) pada kasus-kasus bunuh diri yang terdahulu dan diberitakan secara masif oleh media-media tanpa mempertimbangkan dampak sosialnya,” katanya.

“Akhirnya,  publik belajar bahwa pola penyelesaian masalah salah satunya bunuh diri,” lanjutnya.

Karena itu, Albina beharap pemberitaan media terkait kasus bunuh diri sebaiknya lebih beorientasi mengedukasi publik dengan menghadirkan pendapat dan pikiran para pakar terkait pemecahan masalah dan analisis ilmiah terhadap kasus.

Yang perlu dihindari, jelasnya, membedah kasus, bahkan memaparkan detail kronologis kejadian, cara bunuh diri, alasan serta interpretasi subjektif media terhadap sebuah kejadian.

Bagaimana Mencegahnya?

Organisasi Kesehatan Dunia (World Heath Organization, WHO) mencatat hampir 800.000 orang meninggal karena bunuh diri setiap tahun atau satu orang setiap 40 detik. Ada indikasi bahwa untuk setiap orang yang meninggal karena bunuh diri, kemungkinan ada lebih dari 20 orang lain yang mencoba bunuh diri.

Indonesia, dibandingkan dengan negara Asia lainnya, prevalensi bunuh dirinya terbilang rendah, yaitu 3,7 per 100.000 penduduk. Namun dengan jumlah total penduduk 265 juta, berarti ada 10 ribuan orang yang bunuh diri di Indonesia tiap tahun, atau satu orang per jam.

Flavianus Riantiarno, staf pengajar di STIKes Maranatha Kupang yang sedang studi Magister Keperawatan di Universitas Brawijaya Malang dalam salah satu artikelnya di Floresa.co menjelaskan, keluarga menjadi pihak yang paling krusial dalam upaya mencegah bunuh diri.

“Keluarga merupakan pusat dari semua kegiatan dalam kehidupan setiap orang. Keluarga sesungguhnya sangat menentukan proses tumbuh kembang psikologis anggotanya. Keluarga menjadi faktor pendukung pokok dalam upaya pencegahan bunuh diri,” tulisnya.

Keluarga, kata dia, perlu lebih sensitif terhadap perubahan perilaku individu dalam keluarga.

“Jika ada keluarga yang mengalami keanehan dalam perilakunya atau mengalami masalah, maka keluarga harus menjadi ruang sehat bersama. Ketika ada anggota yang memilki masalah psikologis, maka keluarga mesti mengambil peran untuk menangani secara bersama dan mencari jalan keluar,” ungkap Flavianus.

Ia menjelaskan, masing-masing individu dalam keluarga perlu saling berbagi, saling memberikan dukungan.

“Ada kalanya orang bunuh diri karena adanya tekanan dalam keluarga,” katanya.

Ia juga menegaskan, mengingat kasus seperti ini makin marak maka pemerintah, terutama dinas kesehatan, tidak boleh masa bodoh.

Undang-undang Nomor 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa memandatkan bahwa intitusi kesehatan merupakan salah satu pilar utama dalam upaya promotif dan preventif, termasuk terkait bunuh diri.

“Kasus yang muncul setiap tahun di Manggarai mesti disikapi secara serius oleh dinas kesehatan. Karena itu, dinas kesehatan tidak boleh diam saja,” katanya.

BACA JUGA: Seorang Kakek di Satar Mese Gorok Lehernya Sendiri

Hal yang perlu dilakukan, jelasnya, termasuk gencar melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait upaya-upaya mencegah bunuh diri.

NJM/PTD/Floresa

spot_img

Artikel Terkini