Cita-cita yang Enggan Terbang

Oleh: JIMMY YOHANES HYRONIMUS

Gerbang telah ditutup. Pak Amin telah meletakkan kunci gembok sekolah dalam saku celana tuanya. Beberapa detik yang lalu Nadia masuk tergesa-gesa. Nafasnya ngos-ngosan seperti baru dikejar anjing tetangganya yang ganas. Tapi, tumben dia seperti itu. Tidak seperti biasa gadis teladan di sekolah itu terlambat.

Teng..teng..tengPak Iman, guru BP dan sekaligus penjaga waktu mulai memainkan segagang besi panjang pipih ke arah besi besar bulat yang bergantung di pohon mangga di tengah sekolah. Maklum, SD itu tidak memiliki fasilitas bel listrik. Bunyi nyaring itu menggema hingga pelosok sekolah. Tidak satu sudutpun yang luput dari bunyi cempreng lonceng tersebut. Suka tidak suka, benturan besi tersebut menjadi andalan isyarat sebelum dan sesudah sebuah pelajaran.

Berhentinya gema cempreng lonceng diikuti dengan langkah para siswa. Tidak terkecuali siswa-siswi kelas 3B. Seperti anak itik yang mengekori induknya mereka mulai memasuki kelas. Wajah sumringah menghiasi wajah mereka. Bibir mereka merekah mekar seperti sekuncup bunga yang baru mekar. Kecuali Nadia. Wajahnya padam seakan tidak suka dengan aktivitas hari itu. Ada sesuatu yang tidak beres dalam kepala mungil gadis itu.

Seperti biasa, suasana kelas selalu gaduh. Siapa lagi biang keladinya kalau bukan para siswa yang super sibuk. Dalam sekejap mata, kursi sudah berserakan sana-sini tanpa tahu arah. Beberapa anak juga terlihat berlari-lari di atas meja seolah-olah mereka sedang melompat di antara gedung-gedung tinggi. Tapi bukan anak laki katanya kalau tidak begitu. Konsep kelelakian harus ditunjukkan lewat kelincahan dan ketangkasan. Di sisi lain aktivitas super sibuk itu adalah ritual para siswa ketika menunggu guru yang diwariskan turun temurun. Dan entah kapan tradisi ini akan hilang.

Berbeda dengan para siswa, para siswi punya ritual lain. Hari itu mereka sibuk membicarakan tugas Bahasa Indonesia yang diberikan Bu Mia seminggu lalu. Nadia juga berada dalam kelompok ini, tetapi tampak dia tidak tertarik mengerjakan tugasnya.

Prak…prak…prak…

Terdengar dentuman tangan yang menepuk meja dengan sekeras tenaga.

Itu adalah tradisi penyambutan yang lazim dilakukan, entah apa tujuannya. Sontak semua siswa-siswi berdiri dan memberik salam.

“Selamat pagi bu guru”

“Selamat pagi anak-anak.”

Yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Bu Mia dengan senyum khasnya mulai menyapa.

“Baik anak-anak, Minggu lalu ibu sudah beri tugas tentang apa?” tanpa tedeng aling-aling Bu Mia melanjutkan dan disambut dengan riuh oleh para siswa.

“Apa cita-citamu?”

“Ya benar. Sekarang ibu mau setiap kalian maju dan membacakan hasil pekerjaan kalian.”

Sementara Bu Mia menanti sukarelawan yang maju, di deretan para siswi Nadia terus asyik dengan lamunannya. Wajahnya tidak begitu bersemangat mengikuti les. Sambil memainkan pensil, Nadia masuk semakin jauh ke dalam pikirannya sendiri.

“Saya Bu Guru.” Lya mengacungkan jarinya penuh semangat.

“Kalau saya bercita-cita menjadi dokter. Alasannya karena saya ingin merawat orang tua saya ketika mereka sakit, sehingga mereka tidak perlu repot-repot memanggil orang lain karena saya selalu berada di samping mereka.”

Senyum gadis itu semakin lebar karena tepuk tangan teman-teman. Maklum, dokter dianggap sebagai sebuah profesi yang luar biasa di mata anak-anak SD.

Sementara itu di bangku belakang, Nadia masih tetap dalam lamunannya. Dia mulai membayangkan ketika ia sakit dulu, ibunya jarang berada di sampingnya. Bu Desy, si baby sitter yang mengurusnya. Sementara Ibu Nadia lebih sering menjawab telfon dari para pelanggannya, ketimbang berada di samping Nadia. Ibu Nadia punya bisnis toko online. Ketika ditanya Nadia, kenapa dia lebih cekatan menjawab telfon ketimbang merawat Nadia, selalu punya alasan.

“Hasil jualan tas ibu kan untuk kamu juga. Membiayai sekolah dan biaya perawatan kamu,” selalu begitu jawaban ibunya.

“Oke, siapa la…”, belum sempat Bu Mia melanjutkan kata-katanya, Sisko langsung menyerobot dari bangku belakang. “Saya bu…saya bu.”

Tampaknya tepuk tangan yang didapat Lia telah menyulut semangat siswa yang lain.

“Kalau saya ingin menjadi, menjadi pemain game. Seperti yang ada di internet. Supaya bisa main game di layar yang besar.”

Sisko memang seorang gamers sejati. Dia tergila-gila pada game terutama play station. Hobi itu juga yang kemudian memperkenalkan dia pada kacamata.

Sontak gelak tawa membahana di seluruh kelas. Mereka merasa cita-cita Sisko itu tidak keren dan aneh. Tapi bagi para pecinta play station – para teman akrab Sisko – cita-cita Sisko adalah cita-cita yang luhur dan mulia.

Seolah tidak terusik dengan suara gaduh di sekitarnya, Nadia masih saja jatuh dalam pelukan lamunannya. Kali ini terbayang akan ayahnya yang suka bermain game di gadget. Kecanduan pada gadget telah membuat sang ayah jarang meluangkan waktu buat Nadia. Ditambah lagi dengan kesibukannya sebagai fotografer, benar-benar menyita dan menguras banyak tenaga dan waktu.

Terkadang, ia tertidur di studio bersama handphone dan kamera yang selalu menggantung, sementara Nadia hanya ditemani boneka panda raksasa hadiah dari kakeknya.

“Saya bu…saya bu…” belum sempat Bu Mia bertanya, Windi langsung curi start, mengambil kesempatan berikutya.

 Nampaknya ejekan yang diterima Sisko tidak melucuti semangatnya.

“Kalau saya ingin menjadi Ibu rumah tangga.”

Tanpa aba-aba dan jeda sedikitpun, suara tawa langsung menyambut Windi. Kali ini tiga kali lipat dari yang diterima Sisko. Tawa itu seperti cahaya matahari yang menembus kaca, tidak menghancurkan tetapi membuat panas di dalam. Windy sedikit malu tetapi dia berusaha untuk melanjutkan.

“Alasannya karena saya ingin seperti mama yang selalu punya waktu main sama aku.”

Suasana semakin riuh. Beruntung Bu Mia mampu menenangkan suasana.

Sementara itu di bangku belakang, Nadia sama sekali tetap dengan lamunannya. Kali ini dia membayangkan ayah dan ibunya yang sering pulang malam. Jarak rumah dan studio ayahnya lumayan jauh. Sementara Ibu Nadia, lebih sering bergosip bersama teman-temannya di tempat yang entah di mana letaknya. Mereka sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Jarang ada makan malam keluarga.

Kalaupun ada, itu hanya formalitas semata. Sekedar untuk membuat Nadia senang. Pikiran mereka tetap pada klien dan handphone.

Pernah mereka makan di sebuah restoran mewah. Suasana keluarga itu menjadi buyar ketika ada permintaan foto prewedding kepada ayahnya. Bisa ditebak, ayahnya akan lebih fokus pada kliennya itu. Sementara si ibu, selalu mencuri pandang ke layar handphone-nya, siapa tahu ada orderan. Nadia seperti anak terlantar, yang ditinggal begitu saja bersama hidangan yang tersedia.

Jarum jam terus berputar. Panas matahari mulai menjilati seluruh bangunan sekolah. Masing-masing anak telah secara bergiliran mendapat kesempatan. Kini giliran Nadia untuk untuk membacakan tugasnya. Dengan langkah berat dan luntang-lantung tanpa gairah, Nadia maju. Sepatu hitam bermerek Kasogi kesayangannya mengiringi langkah kaki gadis itu.

Wajahnya menunjukkan ekspresi untuk menolak, tetapi itu tidak mungkin terjadi. Bagaimanapun Nadia harus membacakan tugasnya.

“Kalau saya, ingin menjadi handphone,” suaranya semakin mengecil di setiap suku kata. Bahkan setiap orang dalam kelas hampir saja tidak menangkap kata terakhir yang diucapkannya.

“Huuuuuuuuuuu….” Bisa ditebak akan ada cemoohan yang mengiringi cita-cita Nadia itu.

Kali ini segenap kelas menjadi gempar, bahkan suara lonceng tanda pergantian les pun harus mengalah dengan suasan riuh dalam kelas. Wajah Nadia menjadi merah padam.

Dia marah juga malu. Ingin menangis tapi takut akan semakin diejek. Semuanya serba salah.

Bu Mia berusaha menenangkan suasana dan hati Nadia. “Ayo Nad, lanjutkan nak. Kenapa kamu ingin menjadi handphone?”

“Aku ingin agar ibu lebih sering mendengarku. Agar ayah mau bermain dengan aku. Agar aku selalu berada bersama ibu dan ayah di mana dan kapan saja.”

Entah alasan itu didengar atau tidak oleh teman-temannya yang sedang asyik dengan membuli Nadia, satu hal yang pasti, cita-cita Nadia itu tidak seperti embun yang menjadi harapan bagi pohon atau seperti akar yang menopang dalam kemarau. Tidak ada harapan dalam cita-cita itu. Kalaupun ada itu hanyalah persinggahan karena tidak sanggup menggapai tempat tujuan.

Nadia hanya memeluk bayang-bayang harapan, tidak tahu kapan akan menggapainya.

Kelas hari itu ditutup, sekali lagi dengan aba-aba memukul meja. Bersama keriuhan para siswa, cita-cita Nadia hanya nampaknya saja terbang. Sebetulnya cita-cita itu enggan terbang.

Walau dia punya sejuta bintang harapan, tetapi semuanya tetap sirna kala cahaya matahari keputusasaan dalam dirinya memancar dan membuyarkan sejuta harapan itu.

Jimmy Yohanes Hyronimus, yang biasa dipanggil jimmy adalah mahasiswa semester VI jurusan Filsafat di STFK Ledalero, Maumere. Ia aktif menulis karya-karya fiksi maupun non-fiksi di media cetak dan online.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini