Viktor Bungtilu Laiskodat, Gubernur Nusa Tenggara Timur ( NTT) periode 2018-2023. (Foto: Kompas.com)

Floresa.co – Para aktivis lingkungan menganggap Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Viktor Bungtilu Laiskodat hanya memberi janji surga kepada masyarakat terkait moratorum izin usaha pertambangan (IUP).

Pasalnya, isi Peraturan Gubernur terkait moratorium itu tidak segarang pernyataan Laiskodat dan Wakilnya Yosef Nae Soi. Pergub No 359/KEP/HK/2018 itu sudah disahkan pada 14 November 2018.

Pernyataan keduanya, kata mereka, yang “semula memberi harapan bagi masyarakat NTT ternyata berbanding terbalik dengan isi Pergub itu.”

“Pergub ini justru hanya berkutat pada evaluasi administrasi teknis dan finansial yang ujungnya hanya akan bermuara pada aspek tata kelola semata seperti clean and clear dan kewajiban keuangan perusahaan sebagaimana tertuang dalam diktum keempat poin b yang berbunyi ‘melakukan evaluasi administrasi, teknis, dan finansial terhadap pemegang izin usaha pertambangan yang ada dan merekomendasikan kelayakan operasi dari pemegang IUP dimaksud’,” tegas para aktivis dalam pernyataan  tertulis yang diterima Floresa.co, Kamis, 13 Desember 2018.

Pernyataan tersebut ditandantangani oleh Pastor Alsis Goa OFM, Direktur JPIC-OFM Indonesia, lembaga Gereja Katolik yang aktif dalam advokasi kasus tambang; Melky Nahar, Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dan Umbu Wulang, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Cabang NTT.

BACA JUGA: Desakan JPIC-OFM dan Jatam untuk Laiskodat: Jangan Hanya Moratorium , Tapi Cabut Izin Tambang!

Parahnya lagi, kata mereka, Pergub ini hanya berlaku satu tahun (diktum ketujuh) dan hanya menghentikan sementara pemberian IUP.

“Artinya yang dimoratorium itu hanya sebatas penghentian kegiatan pertambangan yang ada dan izin tambang baru sembari melakukan evaluasi izin tambang eksisting yang semuanya berpotensi tetap beroperasi selama dinyatakan layak secara administratif,” kata mereka.

Mereka menyatakan, tidak ada satu pun diktum dalam Pergub ini yang mencerminkan keseriusan Viktor dan Yosef untuk menghentikan pertambangan di NTT sebagaimana digembar-gemborkan pada saat kampanye dan pidato perdana waktu pelantikan.

Dalam masa-masa kampanye pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur NTT, Viktor dan Yosef yang dilantik pada September lalu memang berulangkali garang bicara di depan publik untuk melakukan moratorium pertambangan.

“Tambang bukan pilihan yang baik untuk tingkatkan ekonomi rakyat NTT,” demikian kata  Laiskodat pada 10 September 2018. “Tambang, seluruhnya kami moratorium,” lanjutnya.

Viktor mengatakan, NTT merupakan daerah dengan kekayaan alam yang indah dan karena itu tidak mau aktivitas pertambangan merusak keindahan tersebut. “Itu tempat orang kecil namun indah. Jadi,  orang kecil dan indah itu, tidak boleh dan tidak bisa diganggu,” ujar Viktor.

BACA: Usai Dilantik, Laiskodat Janji Moratorium Semua Izin Tambang

Sementara Yosef, saat kunjungan pribadi kepada Uskup Maumere, Mgr. Gerufus Kherubim Parera SVD menyatakan, “Izin yang sudah ada dan masih berlaku akan kami cabut. Izin yang sementara proses akan dihentikan”.

Para aktivis menilai, moratorium tambang harus berbasis pada fakta empiris, soal sumber penghidupan mayoritas masyarakat yang bergantung pada sektor pertanian dan peternakan, mengingat kehadiran tambang di NTT sudah menimbulkan kerusakan yang amat parah-tak terpulihkan.

Mereka menyebut hal itu sudah terjadi di Serise, Tumbak, Satarteu, Lengkololok di Manggarai Timur; Robek, Maki, dan Timbang di Manggarai; Desa Ekin, Kecamatan Lamaknen Selatan di Belu; Oenbit dan Biboki di Timor Tengah Utara, Supul dan Mollo di Timor Tengah Selatan; dan Wanggameti di Sumba Timur; Prai Karoku Jangga di Sumba Tengah.

“Kehadiran tambang di wilayah-wilayah ini sudah dan sedang merampas tanah-tanah warga, merusak dan mencemari sumber air, merusak hutan dan situs-situs adat, mencemari laut, konflik sosial, intimidasi dan kriminalisasi yang berujung di penjara,” kata mereka.

Selain itu, moratorium mestinya juga dikuti langkah penegakan hukum yang tegas dan transpran, tidak sebatas soal administratif, mengingat keberadaan dan aktivitas pertambangan di NTT penuh dengan praktik transaksional di ruang gelap, tanpa pantauan publik. Bahkan tak jarang, aparat penegak hukum diduga kuat turut melindungi keberadaan aktivitas perusahaan tambang.

“Moratorium tambang di NTT juga harus diikuti langkah pemulihan sosial dan ekologi, sebab aktivitas pertambangan telah menimbulkan kerusakan yang dasyat bagi ruang hidup juga konflik sesama warga hingga saat ini,” tegas mereka.

“Karena itu, tambang di NTT tak sekadar dimoratorium, tetapi harus dicabut permanen.”

ARL/Floresa