Pastor Cyrelus Suparman Andi MI sedang berdoa untuk salah seorang penyandang gangguan jiwa. (Foto: Ist)

Floresa.co – Pastor Cyrelus Suparman Andi MI bersama para calon imam yang didampinginya, merupakan satu dari sedikit orang yang peduli terhadap kelompok orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).

Pastor yang menyelesaikan studi S3 Moral-Biomedis di Roma, Italia itu sejak beberapa tahun lalu membuat terobosan membangun rumah bebas pasung bagi ODGJ yang ia layani di wilayah Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur.

Hingga kini, belasan rumah sudah mereka bangun. Pelayanan terhadap ODGJ dilakukan di sela-sela tugasnya sebagai Rektor Seminari Tinggi St Kamilus, dan untuk para frater, karya sosial karitatif ini dijalankan di tengah kesibukan kuliah.

Apa yang menggerakkan para pengikut St Kamilus de Lellis ini memilih jalan demikian, bagaimana terobosan itu kemudian direalisasikan dan apa saja tantangan yang mereka hadapi?

Berikut adalah petikan wawancara Pastor Andi (PA) dengan Rosis Adir dari Floresa.co.

Apa yang menggerakkan pastor dan para frater melayani ODGJ?

PA: Orang sakit jiwa hanya satu dari berbagai jenis pasien atau orang sakit yang kami tangani. Kami melayani orang yang sakit apa saja, karena itu misi kami, yaitu melanjutkan misi Kristus menyembuhkan orang-orang sakit.

Saya sendiri pun dulu sakit berat sewaktu muda. Dan selama sakit, saya selalu berdoa begini, ‘Jika Tuhan mau menyembuhkan saya, saya berjanji untuk menjadi imam yang melayani orang sakit’. Dan, puji Tuhan, saya pun sembuh. Dari situ, saya mencari seminari untuk melanjutkan panggilan saya, sampai saya temukan Ordo Camilian atau MI, yang ternyata misinya melayani orang-orang sakit.

Saya menjalankan formasi di Ordo Camilian dari tahun 2000 sampai 2010, tempatnya di Filipina. Sambil menjalankan formasi, kami, para frater juga rutin melayani orang-orang sakit, baik di rumah sakit maupun di panti-panti asuhan. Dan, saya selalu bahagia melakukannya.

Jadi, ketika saya melihat orang-orang sakit, pikiran saya selalu mengingatkan saya akan masa muda, ketika saya sakit. Seperti yang saya rasakan dahulu, saya rasa mereka pun merasakan beratnya beban sakit dan punya kerinduan dan harapan untuk ditolong dan untuk sembuh.

Saya merasa Tuhan yang menolong dan menyembuhkan saya, maka saya pun terpanggil untuk menolong dan melayani yang sakit.

Itulah dasar dari kepedulian saya terhadap orang sakit dan juga terhadap orang sakit jiwa. Apalah artinya hidup ini dan juga panggilan saya, kalau bukan untuk melayani yang membutuhkan pertolongan Tuhan.

Apa saja faktor pemicu gangguan jiwa?

PA: Ada beberapa faktor. Pertama, faktor genetik, namun faktor ini tidak akan timbul kalau lingkungannya mendukung atau sehat bagi orang untuk bertumbuh dan hidup sehat dalam masyarakat.

Kedua, faktor stres. Orang bisa mengalami gangguan jiwa karena stres. Hal ini terjadi jika orang tidak bisa menimbang masalah atau persoalan hidup. Stres juga bisa terjadi karena pergaulan atau putus cinta. Kaum muda sering kali mengalami nervous breakdown karena tidak sanggup menghadapi beratnya persoalan dalam sebuah hubungan, seperti hubungan cinta.

Ada yang stres karena ditinggalkan pasangannya, ada juga yang stres karena masalah rumah tangga dengan pasangan, mengalami kekerasan seksual, kekerasan rumah tangga dan lain-lain.

Ketiga, ada juga yang mengalami gangguan jiwa, mungkin karena gangguan iblis atau karena kerasukan setan.

Apa yang menjadi pertimbangan pater memberi solusi membangun rumah bebas pasung?

PA: Kami mencoba memberikan solusi dengan membangun rumah, dimana pasien sakit jiwa bisa hidup tanpa harus dipasung. Rumah ini dibuat persis di samping rumah keluarganya sendiri.

Solusi ini kami berikan setelah kami mempelajari semua aspek, seperti aspek sosial, aspek ekonomi, aspek fisik atau biologis, aspek psikologis dan aspek spiritual.

Dari aspek sosial, dengan rumah ini, pasien bisa dikontrol gerakannya. Dia tidak akan berbahaya lagi bagi keluarga dan tetangga atau masyarakat sekitarnya. Selanjutnya, peran keluarga juga akan semakin besar dalam merawat pasien, karena dekat dengan mereka. Mereka bisa melayani dia dengan bebas dan penuh perhatian sehingga pasien merasa disayangi.

Dari aspek ekonomi, walaupun terkesan mahal di awal, namun, untuk jangka panjang, dia lebih murah, karena kami tidak bisa membangun institusi khusus yang menelan biaya ratusan juta atau miliaran rupiah. Selanjutnya, kami tidak perlu menghabiskan dana perawatan yang mahal tiap hari. Keluarganya bisa membantu kebutuhan harian pasien dan kami bisa memberikan pendampingan secara rutin ke rumahnya.

Secara fisik atau biologis, pasien akan bisa terjamin kesehatan fisiknya. Dia akan aman dari serangan serangga, panasnya matahari, dinginnya angin, basah karena hujan dan lain-lain. Rumahnya pun mudah dibersihkan karena berlantai jubin.

Secara psikologis, solusi ini terbukti mengurangi stres dan tekanan psikologis pasien dari beratnya beban pasungan setiap hari.

Secara spiritual, dia bisa berdoa dengan bebas dan tenang, tanpa ada gangguan dari pihak lain. Kami yang melakukan pendampingan pun bisa leluasa masuk dan mendampingi dia dengan berdoa dan sharing bersama.

Sejak kapan pater mulai mewujudkan pembangunan rumah bebas pasung ini?

PA: Sejak 2015, kami sudah melayani beberapa pasien sakit jiwa di sekitar kami. Hingga sekarang, sudah 13 rumah yang kami bangun.

Selanjutnya akan masih ada lagi yang akan kami bangun. Tentunya juga sesuai dengan kondisi keuangan kami. Kalau uangnya sudah ada untuk satu rumah, kami pasti langsung membangunnya.

Berapa dana yang dibutuhkan untuk membangun satu rumah?

PA: Dananya berbeda-beda tiap rumah, tetapi rata-rata 18 sampai 21 juta per rumah. Harga berbeda karena tergantung lokasi, topografi tanah dan biaya tukang.

Dari mana sumber dana tersebut?

PA: Sebagian kami potong dana makan minum para frater di seminari. Sebagian juga dari teman-teman penderma yang sering membantu kami.

Salah satu rumah bebas pasung yang sedang dibangun. (Foto: Ist)

Apakah ada perubahan untuk pasien yang sudah lama tinggal di rumah bebas pasung?

PA: Hasilnya sangat memuaskan kami. Pasien kami menjadi lebih tenang dan mudah ditangani. Mereka tidak galak lagi.

Perubahan signifikan ialah kurangnya tingkat stres. Kurangnya stres berdampak positif pada kurang kasar dan kurag agresifnya pasien itu.

Selanjutnya, dalam rumah itu, mereka merasa nyaman dan bebas dari penderitaan fisik seperti panas matahari, dinginnya angin dan hujan, serangan serangga dan nyamuk, dan juga rasa sakit pada kaki atau tangan karena pasungan.

Keluarga juga jadi tidak terlalu takut terhadap mereka, karena mereka jadi kurang agresif. Dengan begitu, keluarga sangat aktif melayani kebutuhan pasien.

Mereka juga diberikan obat-obat dari Puskesmas atau rumah sakit. Kombinasi dari semua ini sungguh-sungguh membantu mempercepat pemulihan pasien.

Ada kerja sama dengan pemerintah?

PA: Kita kerja sama untuk bagian kesehatan saja. Di DInas Kesehatan ada obat BPJS. Tetapi, sering juga obat mereka habis. Jadi, kami juga yang harus beli.

Bagaimana pater membagi waktu untuk melayani pasien di tengah kesibukan sebagai rektor seminari?

PA: Ya, perlu banyak berkorban untuk waktu-waktu (yang seharusnya untuk urusan) pribadi. Selain itu, saya juga tidak kerja sendirian, tetapi bersama-sama dengan rekan pastor, Pater Alfons MI dan para frater Camillian.

Kerja sama tim dan koordinasi yang baik bisa menangani banyak pekerjaan dengan baik, termasuk mengurus orang dengan gangguan jiwa.

Kalau dulu, waktu istirahat itu benar-benar untuk istirahat.Tapi sekarang, bisa sambil mengurus pasien, sehingga serasa ada hiburan.

Apa tantangan selama melayani pasien ODGJ?

PA: Untuk sementara belum ada tantangan yang besar, karena kami tidak sekedar membuka pasungan, tapi duluan menyiapkan solusi. Setelah rumah siap, baru pasungan dilepas.

Kami mekati keluarga pasien, menjelaskan kepada mereka soal untung dan ruginya rumah bebas pasung, baik bagi mereka maupun bagi pasien, dan juga ada peran mereka selanjutnya.

Kami selalu mengatakan bahwa kami hanya membantu. Selanjutnya bagian tanggung jawab terbesar tetap peran mereka. Karena bagaimanapun juga, pasien itu adalah keluarga mereka dan keluarga yang selalu ada dekat dengan pasien setiap hari.

Umumnya semua mau dan senang setelah dijelaskan dengan baik.

Ini merupakan satu dari puluhan ODGJ yang pasungnya kemudian dilepas oleh Pastor Andi dan rekan-rekannya. (Foto: Ist)

Umumnya, di Indonesia orang sakit jiwa biasa dipasung. Bagaimana pandangan pater terhadap kebiasaan ini?

PA: Kalau menurut hukum, ya, sangat tidak manusiawi. Namun kita tidak mudah men-judge seperti itu. Kita juga perlu memahami aspek-aspek lain yang mendorong keluarganya memasung. Seperti di Flores umumnya, pasien itu kan sangat agresif dan berbahaya bagi keluarga dan juga orang lain.

Di sisi lain, kita tidak punya fasilitas untuk menolong dan merawat mereka. Karena itu, kami mencoba membantu sebisa kami untuk membuat rumah, supaya semua pihak bisa berpartisipasi, seperti keluarga, pemerintah dan pihak lain yang ingin menolong.

Kami tentu tidak bisa bangun sekalian rumah untuk mereka. Tetapi tahap demi tahap, sesuai kebutuhan mereka dan kemampuan kami. Kami mau melayani mereka secara holistik, tanpa memisahkan mereka dari keluarganya dan tanpa mengabaikan peran aktif keluarga dan pihak lain dalam merehabilitasi mereka.

Rosis Adir/Floresa