Pengacara Eki Anggap Pengacara Rensi Bicara Tidak Sesuai Fakta

Ruteng, Floresa.co – Kuasa hukum Melkior Merseden Sahamu alias Eki mengecam pernyataan pengacara Rensi Ambang, Pasidus Asis de Ornay terkait masalah denda adat dan menyebutnya berbicara tidak sesuai fakta.

Yance Janggat, salah satu anggota tim pengacara Eki mengatakan, denda satu ekor kerbau dan uang 35 juta rupiah uang yang dibayar oleh keluarga Rensi pada Kamis, 25 Oktober 2018 bukan rancangan tim kuasa hukum, melainkan bagian dari urusan adat.

“Pertama dan utama, kami ini pengacara, bukan tokoh adat. Terkait apa yang dijelaskan Plasidus itu, tidak betul semua,” kata Yance kepada Floresa.co, Senin 29 September 2018.

“Yang betul adalah, kami tidak pernah masuk dalam urusan adat,” tambahnya.

Pernyataan Yance merespon Plasidus yang menyebut denda itu tidaklah etis dan ada peran Yance bersama rekan-rekannya di balik urusan denda itu, yang disebut sebagai wunis peheng (denda untuk pengobatan fisik dan psikis korban).

“Itu kan permintaan pihak legal (pengacara) pihak sebelah, Yance dan kawan-kawan. Itu tidak etis. Saya tidak melihat substasi adat Manggarai dari permintaan oleh pihak Eki. (Budaya Manggarai) telah bergeser,” kata Asis kepada Floresa.co.

“Setahu saya, yang namanya wunis peheng itu paling besar uang 10 juta dan satu ekor babi saja,” tambahnya.

Yance mengatakan, “tidak terlibat sedikitpun” dalam urusan adat itu.

“Jadi, saya kecewa dengan apa yang dikatakan Plasidus. Kami tidak tahu dan tidak bisa masuk di orang punya urusan adat,” jelasnya.

Yance menjelaskan, memang ia hadir dalam proses penyerahan denda itu, bersama dengan dua rekannya sesama pengacara Eki, Hironimus Ardi dan Edi Hardum.

Kehadiran mereka, kata dia,karena diundang oleh Eki.

“Kami hanya menyaksikan,” katanya, sambil menambahkan, mereka “tidak punya hak untuk mengoreksi” denda itu.

Edi Hardum jua merespon pernyataan Plasidus dan menyatakan, denda itu sudah sesuai dengan ketetapan adat Kempo, Manggarai Barat, yang adalah kampung Eki dan setimpal dengan perbuatan Rensi bersama istrinya Maria Karolina Alfa dan putra mereka Ronald Ambang.

Edi pun menyebut penyataan Plasidus sangat berlebihan.

Didampingi dua pengacaranya, Melkior Marseden Sehamu atau Erik, pria yang dianiaya oleh Rensi Ambang dan keluarganya mendatangi Polres Manggarai untuk melapor kasus tersebut, Senin siang, 27 Agustus 2018. (Foto: Floresa)

Ia menjelaskan, sebelum pembayaran denda, kedua belah pihak melakukan negosiasi, di mana pihak Eki meminta Rensi membayar uang sebesar Rp 150 juta, yang kemudian ditawar terus hingga mencapai angka Rp 35 juta dan seekor kerbau.

“Jadi, pihak Eki tidak memaksakan kehendak,” kata Edi dalam keterangan tertulis kepada Floresa.co.

Ia juga menyatakan, berbicara etis dan tidak etis, jelas mengacu pada konsep benar-salah, baik-buruk, indah-jelek, di mana benar menurut hukum belum tentu benar secara secara adat dan benar secara hukum namun tidak baik menurut adat atau kebiasaan masyarakat.

Ia menyebut, Plasidus menilai denda adat itu dengan acuan kebiasaan adat Manggarai umumnya.

Padahal, kata Edi, yang berlaku dalam kasus ini adalah adat Kempo, di mana terkait urusan denda beda dengan Manggarai umumnya dan nilai dendanya lebih tinggi.

“Kalau di Kedaluan Nggalak (saya dari Kedaluan Nggalak), denda kepada Rensi Ambang dalam kasus yang dimaksud satu ekor babi (elas wase lima) dan uang paling tinggi 20 juta. Saya tanya teman-teman dari kedaluan lain di Manggarai juga begitu. Lantas, apa kita bisa paksakan Adat Kempo harus sama dengan Adat Kedaluan lain di Manggarai ? Oh tidak ! Itu sudah berlaku turun temurun di Kempo,” lanjutnya.

Oleh karena itu, kata dia, pernyataan Plasidud  sama dengan menghina kepala adat Kempo serta Eki dan hukumnya.

Kasus ini menjadi perhatian publik, bermula dari peristiwa penganiayaan terhadap Eki pada 23 Agustus 2018 di kediaman Rensi di Ruteng karena dianggap menggoda isteri Rensi lewat chat di Facebook.

Aksi pemukulan  itu disiarakan langsung lewat Facebook dan videonya yang kemudian diunduh sejumlah pihak menjadi viral, termasuk di layanan pesan Whats App.

Rensi kemudian meminta maaf lewat sebuah video lain yang juga viral pada Minggu, 26 Agustus.

Ia menyebut, aksi itu merupakan ekspresi kemarahan dan mengklaim persoalan antara keluarganya dengan Eki telah selesai lewat mekanisme adat.

Namun, kasus ini rupanya tidak berhenti, karena Eki kemudian melapor Rensi ke Polres Manggarai dan menyatakan permintaan maaf yang ia sampaikan kepada Rensi di akhir sesi pemukulan dilakukan karena berada di bawah tekanan.

Pasca pembayaran denda adat oleh pihak Rensi, pihak Eki mengatakan mengajukan permintaan ke  Polres Manggarai menghentikan kasus ini.

Rosis Adir/ARJ/Floresa

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini