Floresa.co – Hasil liputan tentang persoalan air di Labuan Bajo berjudul “Dahaga di Surga Dunia” disiarkan di stasiun televisi CNN Indonesia pada 15 Oktober 2018 lalu.

Liputan itu antara lain mengupas krisis air yang terjadi kota yang disebut-sebut sebagai surga destinasi wisata dunia itu.

Melalui liputan itu yang berlangsung selama sepekan, di mana wartawan Floresa.co ikut   di dalamnya, gambaran krisis air telah menjadi isu ekonomi politik yang sangat krusial.

Masyarakat bersusah payah mendapatkan air. Di rumah-rumah warga, air umumnya hanya mengalir dua kali dalam seminggu dan itupun hanya beberapa jam saja dalam sehari.

Di tengah kondisi itu, masyarakat terpaksa mengandalkan air tanah atau air sumur. Air ini diperoleh dari penjual air keliling yang menggunakan mobil tangki atau fiber.

Namun, harganya mahal. Per tangki, bisa diperoleh dengan harga Rp 70-120 ribu. Tak heran, sebulan, anggaran untuk air bisa membengkak antara  Rp 300-400 ribu.

Harga tersebut adalah sepertiga dari penghasilan sebulan (UMR 1.250.000). Padahal, jika dilayani dengan baik oleh Perusahan Daerah Air Minum (PDAM), biaya untuk air bisa jauh di bawah angka tersebut.

Krisis air yang dialami warga justru berbanding terbalik dengan pihak hotel dan restoran di Labuan Bajo yang menjadi representasi dari kota wisata itu.

Layanan air bersih dari PDAM Wae Mbeliling untuk hotel-hotel sangat terjamin.

Setidaknya ada 10 hotel yang mendapat suplai air yang stabil dari PDAM. Hotel Luwansa, misalnya, memanfaatkan air PDAM untuk berbagai keperluan seperti mencuci, memasak, laundry, bahkan mengisi kolam renang.

Menurut Kepala PDAM Wae Mbeliling, Aurelius Lendo, air untuk hotel memang diprioritaskan.

Hotel, kata dia, adalah wajah kota Labuan Bajo sebagai kota wisata. Tak heran, dalam reservoir yang dibangun pada tahun 2018 ini, prioritas jaringan pipa dipompakan untuk kawasan hotel dan restoran.

Sementara itu, terhadap kebutuhan masyarakat terhadap air, Aurelius sangat berterima kasih kepada kehadiran para penjual air keliling.

Menurutnya, kehadiran mereka menolong masyarakat yang membutuhkan air dan tak mampu dilayani PDAM.

Di kalangan pebisnis air, kondisi ini ibaratnya menambang emas, karena permintaan air semakin tinggi dan mereka menjualnya dengan harga yang mahal. Penghasilan penjual air mencapai Rp 3-4 juta per hari, sebulan mencapai 90-100-an juta.

Dalam waktu satu tahun, raupan keuntungan bisa mencapai lebih dari 1 milliar.

Tidak berlebihan jika disebut bahwa liputan tersebut berhasil mengemas secara gamblang kondisi ketidakadilan di daerah wisata.

Labuan Bajo yang digadang sebagai kota pariwisata itu, ternyata menyimpan nestapa krisis air yang miris.

Alangkah baiknya, jika pemerintah mampu menindaklanjuti kondisi ini.

Masyarakat perlu dilayani dengan baik kebutuhannya akan air. Pemerintah juga mesti mengkaji dan membentuk regulasi dalam pemanfaata air tanah.

Miftah Faridl, koresponden CNN Indonesia yang memimpi liputan ini, mengatakan, “investigasi kasus ini tidak sulit. Terang benderang. Semua pihak menyampaikan dan mengakui secara jujur dan polos. Tetapi, saya benar-benar muak melihat privatisasi yang sangat masif ini”.

GRG/Floresa