SDK Rangang, Sekolah Tua di Pedalaman yang Memprihatinkan

Floresa.co – Pong Kolong adalah salah satu desa di Kecamatan Macang Pacar, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar), Provinsi Nusa Tenggara Timur. Wilayahnya sangat udik, jauh dari akses transportasi dan telekomunikasi.

Satu-satunya jalan menuju desa ini masih berupa lapisan telford. Namun, batu-batu yang disusun secara swadaya sekitar dua puluhan tahun silam sudah rusak berat. Ruas jalan berstatus jalan kabupaten itu belum tersentuh APBD II Mabar.

Di desa ini terdapat sebuah sekolah dasar. SD Katolik Rangang namanya, yang didirikan pada tahun 1967 oleh Yayasan Persekolahan Umat Katolik Manggarai (SUKMA) milik Keuskupan Ruteng.

Sekolah yang kini menampung 97 siswa ini, kondisinya sangat memprihatinkan. Usianya yang lebih dari setengah abad terlihat jelas dari kondisi bangunan-bangunan tua yang tersisa.

Ada dua buah ruangan yang nyaris roboh. Dinding-dindingnya sudah koyak. Demikian pula sebagian atapnya. Lantai semen pun hanya menyisakan debu. Satu dari ruangan tak lagi digunakan, sementara satu lainnya masih dipakai sebagai ruang kelas.

“(Ruangan itu) terpaksa digunakan karena sekolah kami kekurangan ruang kelas,” kata Hendrikus Harum, Kepala Sekolah SDK itu ketika diwawancarai Floresa.co, baru-baru ini.

“Ada dua rombongan belajar yang tidak kebagian ruang kelas, yaitu kelas satu dan kelas tiga. Kelas satu pakai ruangan ini, sedangkan kelas tiga terpaksa pakai ruangan kecil yang sebelumnya digunakan sebagai kantor sekolah,” lanjutnya.

Menjalani kegiatan belajar mengajar di bawah ruangan reyot itu tidaklah mudah. Jika musim kemarau, kondisinya akan baik-baik saja, meskipun siswa dan guru akan terganggu jika ada orang yang melintas di luar ruang kelas.

Namun, jika musim hujan tiba, mereka sangat menderita. Tak hanya kenyamanan aktivitas belajar mengajar yang terganggu, tetapi juga keselamatan jiwa pengguna ruangan tersebut.

“Kalau hujan turun, seluruh ruang kelas ini basah. Anak-anak berusaha menghindar dari hujan. Belum lagi kalau ada angin. Kami sangat takut jika sewaktu-waktu gedung ini roboh,” tutur Yustina Jemina, wali kelas I.

Meski demikian, anak-anak SD Katolik Rangang tetap tekun belajar. Mereka tetap rajin ke sekolah meskipun fasilitas di sekolahnya sangat jauh dari layak.

“Kalau sudah besar, saya mau jadi guru untuk bisa mengajar di sekolah ini, karena guru di sekolah kami sedikit sekali,” demikian ungkapan Doni, salah seorang siswa kelas V.

Sekolah Swasta Dianaktirikan

Cita-cita Doni untuk menjadi guru memang berangkat dari realitas yang siswa-siswi hadapi di sekolah itu.

Selain fasilitasnya sangat memprihatinkan, sekolah itu juga minim tenaga pengajar.

Hendrikus mengatakan, terdapat tujuh orang guru yang mengabdi di sekolah itu, di mana hanya tiga orang, termasuk dirinya yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS).

Ketiganya guru itu pun, kata dia, tidak mendapatkan tunjangan sebagai guru yang bertugas di daerah terpencil.

Sedangkan empat guru lainnya merupakan guru komite sekolah. “Guru-guru komite hanya digaji lima ratus ribu sampai enam ratus ribu rupiah per bulan,” tutur Hendrikus.

Guru-guru komite sekolah terpaksa digaji dengan upah yang sangat kecil karena orangtua tidak mampu membayar uang komite sekolah lebih besar lagi.

Hendrikus mengatakan, berbagai keluhan tentang kondisi sekolah itu sudah berkali-kali disampaikan ke pemerintah setempat. Namun mereka hanya menerima janji yang tak kunjung ditepati.

Salah satu rombongan belajar di SD Katolik Rangang. (Foto: Floresa)

Terkait kekurangan guru PNS, ia mengatakan, hal tersebut disebabkan karena adanya kebijakan pemerintah pusat yang menganaktirikan sekolah swasta.

Setiap kali ada pengangkatan guru PNS baru, pemerintah menempatkannya di sekolah-sekolah negeri. Bahkan guru PNS dari sekolah swasta pun dipindahkan ke sekolah negeri.

“Ini bentuk diskriminasi pemerintah terhadap sekolah-sekolah swasta. Apa bedanya antara sekolah negeri dan sekolah swasta? Apakah anak-anak yang sekolah di sekolah swasta bukan anak bangsa ini?” katanya.

Ia mengatakan, pemerintah pusat mestinya tidak menganaktirikan sekolah swasta dan menganakemaskan sekolah negeri.

Pemerintah, kata dia,, mestinya mengapresiasi sekolah-sekolah swasta karena jauh lebih dahulu berkontribusi mencerdaskan anak-anak bangsa sebelum hadirnya sekolah negeri.

“Jauh sebelum munculnya sekolah negeri, SD Katolik sudah lebih dahulu hadir di pelosok-pelosok,” tuturnya.

EYS/Floresa

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini