Sinisme Kematian

Oleh: PETER C AMAN OFM, Dosen Teologi Moral di STF Driyarkara, Jakarta.

Catatan: Ini adalah khotbah dalam Misa 40 hari Rufinus Lahur, yang diadakan di Aula Vincentius Kramat, Jakarta pada Minggu, 3 Februari 2018.

Di bagian belakang buku Misa ini, tertulis Obituari Bapa Rufinus – suatu supaya upaya memanfaatkan kata-kata untuk menghadirkan kembali, dalam ingatan kita,  kiprah kehidupan Bapa Rufinus selama 79 th lebih.

Namun, segera juga menjadi jelas bagi kita bahwa kata-kata selalu terbatas dan tak cukup mengungkapkan “isi kehidupan” seseorang. Yang lebih bercerita tentang Bapa Rufinus adalah pengalaman yang tersimpan rapi dalam ingatan mereka yang mengenal dia, istri, anak, teman dekat, kolega Bapa Rofinus.

Tetapi, toh mereka pun tidak mengenal seluruhnya, dengan demikian selalu tersisa kebenaran yang mengatakan bahwa manusia itu misteri. Misteri bukan karena tidak bisa diungkapkan, tetapi karena semakin diungkapkan, semakin banyak yang masih tidak/belum diketahui. Kalau kehidupan manusia yang dialami saja, sulit diungkapkan, apalagi kematian, yang tidak pernah menjadi pengalaman.

Kematian, kendati tidak bisa dipisahkan dari kehidupan, berada di seberang kehidupan, bahkan bertahta dalam lorong kelam yang tidak tersibak oleh manusia yang hidup; sehingga jarang sekali manusia yang hidup rindu untuk beranjak ke sana. Kecuali ketika putus asa dalam hidup, orang berkata “lebih baik mati” padahal dia tidak tahu apa-apa tentang kematian.

Misteri kematian adalah sinisme terhadap kehidupan, terutama terhadap bagaimana kita menjalani hidup, yang saking asyik dan menyenangkannya,  kita berpura-pura atau dengan sadar, menjadi tidak mau tahu tentang akhir hidup. Tetapi untuk apa juga? Karena kendati kita ingin mengetahuinya, toh pengetahuan itu tidak tersedia sempurna di sini, dalam hidup ini. Inilah misteri yang menjadi kerisauan orang-orang Tesalonika, yang ditanggapi Paulus. Kebenaran tentang fakta di seberang kematian.

Hanya menariknya, Paulus dengan amat percaya diri bicara tentang fata di seberang kematian, padahal dia belum ke sana, atau kalau pun sudah ke sana, toh tetap juga tidak datang kembali ke dunia. Pewartaan Paulus tentang mereka yang sudah meninggal, tidak didasarkan pada kebenaran yang dia temukan sendiri, tetapi yang dia terima dari Dia yang mengerti baik tentang kehidupan di sana bahkan mengalaminya sendiri, yakni Yesus Kristus.

Yesus satu-satunya orang yang bicara tentang kepastian keselamatan dalam hidup sesudah kematian, karena Dia sendiri datang dari sana. Dia tahu keadaan di sana, “di rumah Bapa-Ku ada banyak tempat tinggal” – tidak usah kuatir. Lebih dari itu Yesus bahkan menjamin, “saya mendahului kamu, menyediakan tempat bagimu,  supaya di tempat di mana Aku berada, kamu juga berada”.

Kebenaran tentang hidup kekal datang dari Dia yang adalah kebenaran, jalan dan kehidupan itu sendiri. Inilah yang menjadi dasar mengapa Paulus dengan enuh percaya diri berkata: Kami tidak mau bahwa kamu tidak mengetahui tentang mereka yang meninggal, supaya kamu jangan berduka seperti orang-orang yang tidak mempunyai pengharapan”.

Paulus menasehati supaya jangan berdukacita, karena kebenaran tentang hidup kekal datang dari Yesus, bukan saja kata-kata-Nya tetapi juga hidup-Nya. Bahkan Yesus sendiri menyiapkan tempat, sehingga kita selalu bersama Dia. Iman akan kebenaran ini melahirkan optimisme, mengusir jauh ketakutan akan kematian.

Saya ingin mengangkat satu hal menarik, di hari terakhir kehidupan Bp. Rofinus. Hari itu tanggal 26 Des, Gereja merayakan pesta St. Stefanus, martir perdana.Pesta martir Stefanus, diperingati sehari setelah Natal, untuk menegaskan suatu sambungan antara: Yesus yang lahir ke dunia; dan St.Stefanus, yang berkat kemartirannya, lahir ke dalam hidup abadi.

Bapa Rofinus tentu tidak memilih tanggal itu, sebagai hari terakhir hidupnya, tetapi di hari itu diakeluar dari rumahnya di dunia ini, menuju rumah sakit dan selanjutnya menuju rumah abadi. Pasti sudah ada satu kursi untuk dia di sana, seperti kata Yesus ”setelah menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang membawa kamu ke tempat-Ku”. Sudah ada tempat tinggal untuk Bapa Rofinus.

Tempat tinggal itu adalah apresiasi Sang pemilih hidup kekal, kepada mereka yang sudah dengan tepat mengisi kehidupan sementara ini dengan hal-hal benar, sesuai dengan kehendak-Nya.

Saudara-saudari, Bapa Rofinus meninggalkan banyak hal untuk kita. Hidupnya diabdikan secara optimal untuk kebaikan banyak orang. Dia tidak mendirikan dan membangun banyak tempat tinggal di bumi ini, karena dia sadar, dia bukan dari dunia ini dan bukan tertuju ke dunia ini.

Bapa Rofinus memilih jalan sunyi, yang tidak dilalui banyak orang, yang hiruk pikuk membangun rumah di bumi ini, bahkan tanpa sungkan menjual kediaman abadi, agar memperoleh kedudukan di bumi ini. Kita sibuk membangun rumah di bumi, berjuang memiliki banyak tanah luas, dengan menggadai kebenaran dan hak-hak orang kecil, padahal sadar dan tahu, kita tidak abadi di sini. Inilah ironi kehidupan orang beriman. Sibuk membangun tempat tinggal di bumi, lupa bagaimana hidup baik dan benar untuk sampai pada kediaman yang disiapkan Yesus sendiri.

Bapa Rofinus dalam kerapuhan manusiawinya, meninggalkan banyak hak-hal besar bukan untuk dibanggakan, tetapi untuk mengajar kita semua bahwa sehari di rumah Tuhan, jauh lebih baik dari seribu tahun di luarnya.

Pilihan moto hidup Bapa Rofinus amat Injili: “mencerahkan diri untuk mencerahkan orang orang lain, emnjadi dir mereka sendiri”, berbeda dengan banyak orang pintar zaman ini yang setelah menjadi pintar malah mengibuli dan membodhi dan menipu banyak orang kecil. Amin.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini