Bergumul dalam Kesendirian

Oleh: Iwan Jemadi, pecinta sastra. Menulis, katanya, sebuah perlawanan terhadap diam.


Saya kerap merasa cemas, gelisah tanpa sebab. Tiba-tiba isi kepala seakan hendak pecah, atau isi dada membuncah ke luar. Pada titik itu, saya ingin sekali merubuhkan dinding kamar dengan satu kali tinju, atau melayangkan pukulan ke wajah orang lain. Saya membayangkan pisau di dapur menyayat nadi seseorang, dan di ujungnya darah menetes seperti kebencian yang menetas di dada.

Sesekali saya berpikir mengendarai sepeda motor di jalanan dengan kecepatan penghabisan, lalu menabrakannya pada siapa saja atau apa saja. Atau terkadang, di ketinggian tertentu, saya ingin melompat, membebaskan diri dari kecemasan dan kegelisahan hidup. Sungguh, pikiran-pikiran nakal semacam itu kerap muncul dalam benak seperti nasi yang sedang ditanak. Perihal bunuh diri, tak melulu membutuhkan alasan, tetapi sekaligus juga keberanian. Saya urungkan ingin, lalu kurungkan angan macam itu dalam tulisan.

Sebetulnya saya kesepian, lalu bersembunyi di balik kata-kata mewah dan citra yang indah. Orang-orang mulai menuduh saya bahagia. Saya tersenyum, tetapi sebetulnya pisau di dapur perlahan mengiris. Kesepian tak pernah memberitahu sebab.

Di sekitar saya, orang-orang merayakan keramaian dan meneriakkan kegaduhan. Saya pun curiga mereka pun sebetulnya kesepian.

Kota ini mungkin dipenuhi manusia-manusia kesepian yang pandai menyembunyikan kesepiannya di balik kata-kata dan citra. Saya tak mau kalah, tetapi tak lekas membangun citra. Berpura-pura bahagia itu melelahkan. Atau mungkinkah salah satu sumber kebahagiaan adalah dengan merayakan ketidakbahagiaan?

Saya kerap berjalan sendirian, tanpa tujuan, seakan-akan perjalanan itu sendiri merupakan satu-satunya tujuan. Dalam perjalanan itu, saya bergumul dengan kegelisahan-kegelisahan saya, lalu berdamai. Tidak selalu muluk. Lintasan yang dilalui bisa terasa ringkas, atau terkadang jauh, hingga tungkai mungkin lelah atau jarum spidometer mengarah ke titik terendah. Namun, tidak ada hal yang lebih membahagiakan daripada perjalanan yang ditemani seseorang di kedalaman hati Anda. Begitu pun saya!

Saya kerap mampir ke gereja-gereja untuk memandang salib. Berdoa secukupnya. Saya tak pandai merumuskan doa. Seandainya pandangan yang terarah pada salib merupakan doa, saya telah melakukannya dengan cara terbaik. Saya tak meminta apa-apa, tak mengeluhkan apa-apa. Hanya memandang. Itu sudah cukup untuk melepaskan diri dari kegelisahan, dari kesepian, juga dari pikiran-pikiran aneh untuk menyayat nadi orang lain dengan pisau dapur.

Saya tak percaya pelukan kekasih bisa menyembuhkan diri dari kesepian, seperti juga ciuman. Pelukan bisa terasa seperti tumpahan bir di mulut, atau seperti kepulan asap bagi seorang perokok, menenangkan tapi hanya sebentar. Yang saya tahu kemudian, jalan untuk membebaskan diri dari kesepian adalah bergumul dengannya, bertarung dengan Allah. Itu artinya duduk tenggelam dalam kesepian itu dan merayakan kesunyian. Membiarkan bunyi dikenal sebagai sunyi.

Dalam kesunyian itu, saya mendengar apa saja dan suara apa saja yang memberitahu arah. Pintu yang berderit, suara angin malam yang menerpa dahan cemara, atau suara kendaraan di kejauahan. Juga suara dari dada sendiri, bunyi detak yang masih setia.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini