Tiga Uskup Hadir dalam Lokakarya di Labuan Bajo Terkait Buruh Migran

Labuan Bajo, floresa.coTerus munculnya kasus yang menimpa buruh migran, terutama dari daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) mendorong Gereja Katolik mengambil langkah serius.

Persoalan buruh migran, terutama perdagangan manusia atau human trafficking mencuat hampir setiap hari.

Menyikapi hal ini, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) menggelar lokakarya bertempat di Hotel Prundi Labuan Bajo pada 15-19 Januari 2018 dengan tema “Mengembangkan Pastoral Migran Yang Terintegritas.”

Tiga uskup ikut dalam kegiatan itu yang dihadiri perwakilan semua keuskupan di wilayah NTT dan Keuskupan Denpasar (Nusra).

Ketiganya adalah Mgr Dominikus Saku, Ketua Komisi Keadilan, Perdamaian dan Pastoral Migran Perantau (KKPMP), yang juga Uskup Atambua; Mgr John Saklil, Ketua Komisi Pemberdayaan Sosial Ekonomi (PSE), yang juga Uskup Timika dan Mgr Nicolaus Adi Seputra, Ketua Sekertariat Gender dan Pemberdayaan Perempuan yang juga menjabat sebagai Uskup Merauke.

Sebelum lokakarya dimulai, tiga uskup memimpin Misa, didampingi Vikjen Keuskupan Ruteng Rm Alfons Segar Pr dan Vikep Labuan Bajo, Romo Robert Pelita Pr.

Romo Marten Jenarut, Ketua KKPMP Keuskupan Ruteng dalam sambutannya mengatakan, sebelumnya pada Oktober tahun lalu di Mataloko, Ngada pernah digelar pertemuan yang membahas masalah migran, di mana hadir 3 wakil dari keuskupan di Malaysia Timur,  yang merupakan daerah tujuan para buruh migran, perwakilan dari Keuskupan Tanjung Selor sebagai daerah transit dan dari seluruh keuskupan di Nusra.

Dalam pertemuan itu, kata dia, ada desakan agar ditemukan pola pendekatan pastoral yang lebih serius dan tepat sasar demi menyelesaikan akar masalah migran yang terjadi selama ini.

“Menurut catatan 3 keuskupan di Malaysia Timur, ada begitu banyak buruh migran yang hidup di kamp-kamp. Kebanyakan dari mereka ilegal,” katanya.

“Hal lain yang menjadi masalah, mereka selalu dalam kejaran polisi,” tegasnya.

Ia menambahkan, banyak di antara mereka adalah kaum laki-laki yang sudah berkeluarga di daerah asalnya dan memilih hidup bersama secara tidak sah dengan perempuan lain di kamp-kamp perkebunan.

Jenarut mengatakkan, di wilayah kamp-kamp itu juga terdapat lodging house.

Lodging house indentik dengan rumah-rumah pelacuran untuk memenuhi dan melayani kaum migran yang bekerja di perkebunan-perkebunan itu”, katanya.

“Ini menjadi alasan banyak migran terjangkit HIV/ AIDS,” lanjutnya.

Ia menegaskan, lokakarya ini diharapkan menghasilkan program kerja yang akan menjadi gerakan bersama untuk menangani isu buruh migran.

“Program kerja tersebut merupakan program kerja terpadu, terintegrasi,” katanya.

Selain itu, kata dia, diharapakan akan terbentuk migrant desk di setiap keuskupan yang berfungsi sebagai penghubung antara keuskupan tujuan, keuskupan transit dan keuskupan asal jika terjadi masalah yang menimpa buruh migran.

Ferdinand Ambo/ARL/Floresa

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini