Aleks Tunggal: Kerja Proyek Lando-Noa Atas Perintah dan Arahan Bupati Dula

Floresa.co  Aleks Tunggal, ayah dari Vinsen Tunggal, direktur PT Sinar Lembor Indah yang kini menjadi terdakwa dalam kasus dugaan korupsi proyek Lando-Noa mengaku pengerjaan proyek itu dilakukan atas perintah dan arahan Bupati Agustinus Ch Dula.

Hal itu disampaikan Aleks, yang dikenal dengan panggilan Baba Ihing, usai  diperiksa polisi pada Rabu, 11 Oktober 2017.

Kepada para wartawan, Ihing menjelaskan, dirinya diperiksa selama empat jam oleh penyidik.

Pertanyaan-pertanyaan polisi, kata dia, berkaitan dengan isi telepon Bupati Dula yang memerintahkan PT Sinar Lembor mengerjakan proyek Lando Noa di Kecamatan Macang Pacar.

Menurut Ihing, Dula yang meneleponnya agar membantu mengerjakan proyek itu.

“(Saya) diperintah bupati. Ia minta segera memulai pengerjaan. Bupati minta tolong dan bilang, segera turunkan alat berat,” katanya.

“‘Tolong saya punya rakyat’” ujar Ihing, mengutip pernyataan Dula.

Ia mengatakan, dalam telepon itu Dula menjelaskan, ada undang-undang yang mengatur terkait kondisi emergency atau darurat.

“Tidak usah takut, tolong bantu rakyat saya dulu, mereka sudah maki-maki saya,” katanya.

Sebelum ditelepon Dula, kata dia, Matheus Hamsi, Ketua DPRD Mabar kala itu, juga menelepon dirinya.

Kata Ihing, Hamsilah yang memberi tahu nilai anggaran proyek, yakni Rp 4 miliar dari APBD Mabar.

“Dia bilang, saya sudah bicarakan dengan bupati untuk kerja proyek Lando-Noa,” kata Ihing.

Ihing juga membenarkan pernyataan Agus Tama, Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) yang kini juga sudah menjadi terdakwa bahwa pengerjaan proyek itu dilakukan sebelum ada Surat Perintah Kerja (SPK).

“Saya kerja pertengahan bulan Februari (2014). Tetapi untuk adminstrasi saya tidak ingat lagi,” katanya

Namun, tambahnya lagi, mereka tetap berani mengerjakan jalan itu, karena ada jaminan dari Bupati Dula.

“Pa bupati bilang, kalau alat sudah di lokasi, bantu masyarakat saya, nanti minta SPK. SPK-nya belakangan dulu, yang penting bantu masyarakat,” kata Ihing.

Ia menjelaskan, bupati mengarahkan mereka ke Dinas Pekerjaan Umum (PU) mengurus SPK itu.

“Untuk mekanisme antara bupati dan Dinas PU, kami sama sekali tidak tahu,” lanjut Ihing.

Menurut Ihing, setelah bekerja selama sebulan, tidak ada satupun tim teknis dari Dinas PU yang mendampingi.

Ia mengaku kecewa setelah anaknya kini jadi tersangka. ”Kami sangat kecewa dengan pemerintah, sebab kami ini diminta membantu. Bahkan, pemerintah bohong kami lagi. Proyek sudah 60 persen berjalan, uang tidak ada,” katanya.

Dirinya berharap, anaknya bebas, sebab kata dia, pengerjaan proyek itu atas permintaan dan arahan Bupati Dula.

“Tetapi, sekarang ini malah kami yang jadi korban. Saya sudah loyal bantu dia punya rakyat, lalu ketika persoalannya seperti ini, tidak ada yang membantu kami,” kata Ihing.

Keterangan Dula

Pernyataan Ihing berbeda dengan apa yang disampaikan Dula sebelumnya, usai ia diperiksa kedua kali di Polres Mabar pada 30 September lalu.

Kepada para wartawan, Dula memang mengaku pernah menelpon pihak PT Sinar Lembor. Namun, menurutnya, isi pembicaraan adalah untuk memastikan bahwa pengerjaan proyek bisa segera dimulai.

“Saya perintahkan karena sudah dilaporkan oleh Kadis PU bahwa dia yang menang,” kata Dula.

“Sebagai bupati, sebagai pemimpin yang  ingin agar penderitaan rakyat segera diselesaikan, saya tidak mau (mendengar) jawaban-jawaban kalau belum juga turun (untuk memulai pengerjaan),” lanjutnya.

BACA: Dula Jelaskan Alasan Telepon Vinsen Tunggal

Ia mengatakan, dirinya marah kepada CV Sinar Lembor.

“Waktu dia katakan siap dan masih ada kalimat apa gitu, yang penting saya bilang, turunkan pasir, batu dan buat tenda, agar masyarakat melihat bahwa bupati atau pemerintah sudah punya perhatian,” katanya.

Namun, lagi-lagi pernyataan Dula berbeda dengan yang disampaikan Agus Tama.

Dalam sidang di Pengadilan Tipikor Kupang pada Selasa, 10 Oktober, Tama menjelaskan bahwa penunjukan PT Sinar Lembor mengerjakan proyek itu atas perintah Bupati Dula, bukan oleh dirinya sebagaimana keterangan Dula.

Sementara itu, terkait peran Hamsi dalam proyek ini, dalam wawancara dengan Floresa.co pada Februari tahun lalu, ia membenarkan bahwa dirinya menelepon PT Sinar Lembor.

Namun, kata dia, hal itu dilakukan  dalam kapasitasnya sebagai Ketua Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional (Gapensi) Mabar.

BACA: Terkait Lando-Noa, Mateus Hamsi Akui Telepon Aleks Tunggal

“Kalaupun saya telepon, bukan sebagai kapasitas DPR, tetapi sebagai ketua Gapensi,” ujar Hamsi yang sudah diperiksa tiga kali oleh Polres Mabar.

Menurutnya, selaku ketua DPRD waktu itu, ia ikut membahas anggaran proyek Lando-Noa pada tahun 2013 di mana nomenklatur dana tersebut untuk peningkatan dan pemeliharaan jalan dan jembatan di ruas Lando-Noa.

”Kami yang membahas itu anggaran Rp 4 miliar. Kami tidak membahas untuk bencana alam, tetapi untuk pemeliharaan jalan itu,” ujar Mateus.

Sebagaimana diketahui, proyek Lando-Noa dikerjakan dengan mekanisme penunjukkan langsung, setelah melalui disposisi Bupati Dula, di lokasi itu ditetapkan sedang terjadi bencana alam.

Disposisi itu menjadi polemik setelah Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Mabar menyatakan, sama sekali tidak ada bencana alam di Lando-Noa, sebagaimana diklaim bupati.

Kepala Kejaksaan Negeri Mabar, Subekhan juga mengatakan, disposisi bencana yang diterbitkan Bupati Dula tidak sesuai ketentuan.

“Kalau dari segi hati nurani gak masalah. Mungkin boleh saja.  Tetapi perlu diingat bahwa Bupati harus ingat sumpah jabatan dan menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan,” ujarnya kepada Floresa.co, 7 Agustus lalu.

Menurut Subekhan berdasarkan keterangan saksi ahli, disposisi yang dibuat Dula itu tidak termasuk diskresi.

BACA: Kejaksaan: Disposisi Dula di Lando-Noa Bukan Diskresi

Diskresi merujuk pada keputusan yang ditetapkan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan, di mana peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.

Penyelidikan dugaan korupsi, dengan taksiran kerugian negara sekitar Rp 1 miliar dalam proyek ini dimulai pada tahun 2015, setelah ditemukan banyak ketidakberesan dalam proses pengerjaannya.

Ferdinand Ambo/ARL/Floresa

spot_img

Artikel Terkini