Pendidikan Vokasi Untuk NTT, Idealnya Seperti Apa?

Jakarta, Floresa.co – Pendidikan vokasi menjadi salah satu perhatian serius Presiden Joko Widodo. Hal itu  dibuktikan dengan peluncura Program Pendidikan Vokasi.

Presiden Jokowi yang hadir dalam peluncuran program pendidikan vokasi tahap II mengatakan, pendidikan vokasi berkesinambungan dengan pembangunan infratsruktur yang saat ini sedang banyak dilakukan.

“Setelah inftrastruktur, tahapan besar kedua untuk mempersiapkan daya saing kita dengan negara lain adalah pembangunan SDM. Ini sudah kita mulai pada hari ini melalui pelatihan, training kerja sama dan link and match bersama industri dan SMK,” ucap Jokowi dipabrik PT Astra Otoparts, Cikarang, Jawa Barat, seperti dilansir Kompas.com, Jumat 28 Juli 2017 lalu.

Masih terkait itu, jauh sebelumnya, pada akhir 2016 lalu, nota kesepahaman dalam rangka pengembangan pendidikan vokasi telah ditandatangai oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) bersama Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Kementerian Badan Usaha Milik Negera (BUMN).

Kelima kementerian tersebut menyepakati program penguatan kerja sama dengan industri dalam rangka pengembangan pendidikan kejuruan dan vokasi berbasi kompetensi yang link and match dengan industri.

Di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), program pengembangan pendidikan vokasi belum terlalu nampak.

Hal itu bisa dilihat dari minimnya jumlah putra-putri asal provinsi kepulauan itu yang terjun dalam dunia pendidikan teknis. Padahal, potensi alam NTT sangat membutuhkan ilmu pengetahuan dan skill para lulusan politeknik.

Ignatius Iryanto, salah satu bakal colon (Balon) gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) periode 2018-2023 sependapat dengan langkah yang diambil Presiden Jokowi terkait pengembangan pendidikan vokasi.

Untuk konteks NTT, menurut Ignas, pengembangan pendidikan vokasi juga harus menjadi prioritas, selain beberapa program lain seperti pengentasan kemiskinan.

Model pengembangan pendidikan vokasi yang tawarkan oleh alumnus SMA Syuradikara Ende tersebut ialah local resource base atau local industry base.

Model itu, kata dia, menekankan agar proses pendidikan harus sejalan e dengan industri serta sumber daya lokal yang berkembang di wilayah seperti NTT.

“Setelah itu, baru dirumuskan pendidikan vokasinya seperti apa,” jelas Ignas baru-baru ini.

Menurutnya, pendidikan vokasi yang berhasil adalah pendidikan yang menghasilkan orang-orang terampil yang bisa mengisi tempat industri terampil serta bisa mengembangkan usahanaya sendiri.

Ia mencontohkan pembangunan dan pengembangan Sekolah Menegah Kejuruan (SMK) Pariwisata.

Menurut pria dengan nama lengkap Ignatius Iryanto Djou ini, jika usaha itu tidak diikuti dengan upaya membangun kerja sama dengan industri pariwisata, maka tidak akan mendatangkan hasil.

“Saya lihat beberapa tokoh sudah menginisisasi itu. Tetapi harus link dengan industri. Kalau kita, percuma. Karena masalah kita sekarang adalah kekurangan tenaga yang mampu mengelola hasil laut kita,” lanjutnya.

Selain pariwisata, NTT juga dikenal dengan potensi peternakan.

Namun, jelasnya, berbagai kendala cukup menyulitkan untuk mengembangkannya.

Misalnya saja kendala biaya pengiriman ternak ke luar dari NTT. Maka, solusinya ialah dikelola di sana dengan menggunakan berbagai pengetahuan dan teknologi.

“Nah, ini semua dijawab dengan pendidikan vokasi,” tuturnya.

Ignas juga menyoroti masalah serius yang melekat secara sosial dan budaya dalam diri masyarakat NTT, yakni kurang menghargai keterampilan-keterampilan teknis yang merupakan inti dalam dunia pendidikan vokasi.

“Orang lebih menghargai profesi-profesi seperti menulis, lawyer dan PNS. Ini fakta. Nah, untuk itu, minat generasi muda kita di NTT harus didorong menghargai itu,” jelasnya.

Selain itu, industri juga harus didorong untuk menghargai lulusan vokasi. Pasalnya, banyak orang berpendapat bahwa lulusan D3 dari politeknik dianggap kelas dua dibandingkan dengan orang yang lulus dari sarjana ekonomi.

Akibatnya, kata dia, orang tidak mau menempuh pendidikan vokasi. Ataupun kalau masuk ke industri, dihargai dengan sangat kecil.

“Semua ini menjadi bagian dari hal yang harus diperhatikan. Ketika semua orang ngomong mengembangkan pendidikan vokasi, itu harus dilakukan,” jelasnya.

Di masa lalu, kata dia, NTT memiliki pengalaman menarik, berkarya upaya para misionaris.

“Di Ende misalnya ada Nusa Indah, yang membuat sepatu, kayu kerajinan besi, dll. Nah, sekarang, generasi itu sudah hilang,” ucapnya.

Padahal, katanya, di negara-negara maju seperti Jerman, Inggris dan lainnya, pendiidkan vokasinya sangat kuat.

Karena itu, menurut Ignas, memanfaatkan kebijakan Presiden Jokowi yang sedang gencarnya mengembangkan pendidikan vokasi adalah keharusan.

Mayarakatkan dan pemerintah setempat harus memanfaatkan peluang itu. Maka, dibutuhkan orang dan mitra yang benar-benar mengerti bidang vokasi.

“Misalnya, orang tamatan S2 politeknik, belum tentu bisa ngajar di S1 karena komposisinya berbeda,” jelasnya.

Pasalnya, dalam dunia pendidikan vokasi, orang dianggap mengerti jika memiliki skill minimal 70 persen. Namun,

menurut Ignas, persoalan yang kerap terjadi di banyak fakultas teknik ialah teori memiliki porsi 70 persen sedangkan 30 persen sisanya praktek.

“Itu pun (untuk) satu alat, dikerjakan oleh satu grup yang terdiri dari lima, enam orang. Jadinya, hanya satu yang aktif dan yang lain catat. Jadi, dia tidak familiar dengan alat,” ucapnya.

Padahal, seharusnya di setiap politeknik, setiap orang harus praktek dengan satu alat, bukan bersama-sama untuk satu alat.

“Dia harus bisa menghasilkan sebuah produk. Apabila melakukan kesalahan kecil, tidak akan lulus,” katanya.

Akademi Teknis Mesin Industri (ATMI) Solo, katanya bisa menjadi contoh.

“Setiap angkatan, bisa sampai 30 persen drop out. Dia sangat ketat. Di sana juga, ada spiritualitas yang dibangun.”

Untuk itu, tutur Ignas, berbicara soal pendidikan berarti berbicara soal spiritualitas, karena spiritualitas akan membentuk karakter dasar sehingga seluruh keunggulan dari karakter budaya kita disaluarkan secara konstruktif.

“Saya harus katakan spiritualitas, karena saya pikir, dia harus punya sense, misalnya ketika dia mengukir, saat dia banding logam,” katanya.

“Saat ini banyak sekali tokoh yang ngomong politeknik, tapi dia sendiri tidak paham apa di balik itu,” jelasnya. (Ario Jempau/ARL/Floresa)

 

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini