TdF: Apa Dampaknya untuk Masyarakat Flores?

Floresa.co – Penyelenggaraan Tour de Flores (TdF) melahirkan pro dan kontra. Pertanyaan masih terus muncul terkait apa kontribusi event itu bagi masyarakat Flores serta soal transparansi dan akuntabilitas para penyelenggara – padahal event itu juga mendapat kucuran dana dari APBD  kabupaten.

Meski demikian, ada juga apresiasi terhadap event tahunan berskala internasional itu, terutama terkait manfaatnya bagi promosi wisata Pulau Flores.

TdF akan kembali digelar pada Juli mendatang, setelah untuk pertama kalinya diadakan pada tahun 2016. Rute balap yang melibatkan para pembalap kelas dunia itu dimulai dari Larantuka di ujung timur Pulau Flores, hingga Labuan Bajo di ujung barat. 

Kontribusi

Kritikan terhadap event itu, menurut Petrus Selestinus, Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), salah satunya karena tidak ada evaluasi terkait kontribusi penyelenggaraan TdF 2016.

“Dampaknya nyaris tak terdengar sampai kepada masyarakat sebagai salah satu elemen penting dalam kepariwisataan,” katanya.

Petrus menilai, memang sulit mengharapkan adanya efek ganda yang bisa sampai ke masyarakat, terutama karena masyarakat kurang dipersiapkan untuk berperan serta.

“Pemerintah masih hanya sebatas menghimbau masyarakat untuk berpartisipasi, namun tidak pernah secara sungguh-sungguh melakukan pemberdayaan sosial bagi masyarakat untuk siap secara mental dan ekonomi menjadi pelaku bisnis dalam ajang TdF,” katanya.

Petrus mencontohkan, dalam persiapan pelaksanaan TdF 2017, publik sudah mendengar adanya persiapan dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten se-daratan Flores dan panitia penyelenggara. 

“Tapi, kita tidak pernah dengar persiapan masyarakat Flores yang seharusnya menjadi pelaku utama tur tersebut,” katanya.

Sementara itu, bagi Yanto Fulgenz, direktur lembaga kajian kebijakan publik Areopagus Indonesia, meski menilai event itu positif dalam upaya promosi wisata Flores, namun, pertanyaan terkait apa dampaknya, masih menggantung.

Ia menyatakan, belum ada jawaban terhadap pertanyaan itu, karena tidak ada hasil evaluasi yang dipublikasikan atau dapat diakses publik terkait TdF 2016.

“Padahal event tersebut telah menggunakan uang rakyat yang terdapat dalam formula APBD. Artinya masyarakat sebenarnya berhak untuk mendapatkan informasi tersebut,” katanya.

Ia juga mempertanyakan soal siapa saja yang merencanakan dan juga menyepakati event itu.

“Apakah masyarakat Flores turut berpartisipasi aktif? Kenyataannya, salah satu prinsip open governance, yakni transparansi, akuntabilitas, dan partisipatif tidak terjadi karena pihak panitia serta  pemerintah secara sepihak menentukan even tersebut, tanpa melibatkan masyarakat,” katanya.

“Mereka  tanpa beban menyepakti bahwa event ini menjadi event tahunan,” lanjut Yanto.

Dalam hal ini, menurut dia, terjadi kepincangan sehingga event ini dapat dipastikan tidak akan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk turut berpartisipasi aktif dalam pembangunan pariwisata.

Arman Suparman, peneliti Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) mengatakan, yang paling substansial, karena event ini sudah pernah dibuat, lantas apa keuntungannnya untuk masyarakat Flores secara keseluruhan.

“Apakah sudah ada data terkait perubahan positif pasca TdF 2016? Jika ada coba tunjukkan. Atau jangan-jangan ini hanya untuk kepentingan elit di Jakarta dan Flores,” tegasnya.

Polemik Dana APBD

Persoalan lain yang yang juga dikritisi adalah soal anggaran Rp 1 miliar per kabupaten.

Menurut Petrus Selestinus, anggaran tersebut membebani daerah dan mengganggu cash flow pemerintah daerah.

Sementara menurut Arman, pro-kontra  masyarakat terhadap alokasi APBD ini sesungguhnya menggambarkan buruknya kualitas perencanaan anggaran.

“Kenapa? Idealnya, pro kontra ini terjadi pada saat Musrenbang mulai dari desa/kelurahan sampai kabupaten. Pada tahap ini, Pemda seharusnya menggali aspirasi masyarakat terkait agenda pembangunan, termasuk salah satunya adalah TdF,” kata dia.

“Pertanyaannya kemudian, kenapa Pemda tidak transparan soal ini jika event ini menjadi agenda pembangunan pariwisata?” tegas Arman.

Ia menambahkan, jika meminta alokasi APBD, seharusnya ada skema kerja sama.  “Skema inilah yang diinformasikan saat Musrenbang. Jika tanpa skema kerja sama, alokasi ini dasarnya apa?” katanya.

Yanto Fulgenz menambahkan, karena ketidakjelasan pengalokasian anggaran dari APBD, kata dia, masyarakat patut mencurigai pihak swasta sebagai penyelenggaradan juga pemerintah daerah yang turut menyumbangkan APBD untuk event ini.

Menurut dia, jika event ini mau menjadi event tahunan maka pemerintah daerah di kabupaten-kabupaten di Flores harus memasukkan event ini dalam agenda dinas terkait supaya penggunaan APBD dapat dipertanggungjawabakan kepada publik.

Ignasius Iriyanto, salah satu calon gubernur NTT sepakat bahwa laporan pertanggungjawaban itu memang mesti dibuka ke publik.

“Itu perlu transparan karena dana publik. Bila perlu, dipublikasikan lewat media,” katanya.

Manfaat Jangka Panjang

Di samping memberi catatan itu, Ignasius menyebut, pada prinsipnya event itu positif, terutama karena menjadi media publikasi terkait Flores.

Sebagai media promosi, kata dia, masyarakat memang tidak kemudian langsung merasakan manfaatnya, tapi butuh proses. 

“Ini strategi marketing. Harus ada perulangan event itu. Karena itu, tidak fair juga, misalnya, hanya dengan satu kali TdF, kita lalu menuntut perubahan yang drastis,” katanya.

Ia pun tidak mempersoalkan bahwa event ini diselenggarakan oleh swasta, karena kata dia, pola kerja dengan pola public private partnership sudah jamak diterapkan.

“Di dalamnya, kepentingan publik ada, kepentingan dari swasta juga ada,” kataya.

Apresiasi terhadap TdF juga disampaikan Elias Sumardi Dabur, pengamat sekaligus aktivis di Jakarta,

Ia mengatakan, TdF adalah ajang promosi spektakuler. Dunia pariwisata, kata dia, tidak ada matinya, bahkan dalam keadaan krisis ekonomi, pariwisata tetap satu-satunya industri yang terus bergeliat.”

“Saat ini, pariwisata sudah jadi satu komoditas. Sebagai komoditas, pariwisata harus dipromosikan,” katanya.

“Sehebat, seindah, secantik, seeksotis apa pun sebuah destinasi, tanpa dipromosikan, tanpa dikemas, para wisatawan tak akan tahu,” lanjut Elias.

TdF, kata dia, mesti ditempatkan dalam perspektif demikian. 

Ia menambahkan, terhadap  pertanyaan, apa manfaatnya untuk masyarakat, katanya, namanya investasi, memetik buahnya butuh waktu. 

“Bersamaan dengan investasi yang sudah dimulai, Pemda harus segera menyiapkan masyarakatnya untuk merebut peluang dari pariwisata ke depan,” katanya.

“SDM pariwisata disiapkan, pendidikan yang berhubungan dengan pariwisata diprioritaskan, pariwisata berbasis komunitas mulai digarap serius,” lanjut Elias.

Ia mengatakan, pemerintah juga perlu mengubah mindset menjadikan daerah sebagai “produk” yang mesti dipasarkan potensi wisatanya. 

“Birokrasi tidak hanya terkait pelayanan publik sehari-hari, tetapi juga bersama-sama pemangku kepentingan lain ikut mempromosikan pariwisata,” tegasnya.

Sementara itu, bagi Ignasius, salah satu peluang manfaat jangka pendek dari TdF adalah dengan memikirkan pembuatan sub-event di sejumlah tempat yang dilalui para pebalab. 

Bentuknya, misalnya lewat pameran kuliner atau pariwisata budaya Flores di sejumlah titik.

“Dengan demikian, kekayaan itu erekspose bersamaan dengan terekspose event tur itu sendiri,” katanya.

Jika hal demikian dilakukan, kata dia, hal itu bisa membuat seluruh rangkaian acara TdF memberi dampak yang lebih besar.

“Supaya masyarakat tidak hanya sebatas melambaikan tangan saat para pebalab lewat,” katanya.

Untuk itu, kata dia, penyelenggara event ini mesti terbuka. “Dan pihak yang menyampaikan kritik, mesti memberi masukan konstruktif juga,” lanjut Ignasius. (ARL/Floresa)

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini