Si Boy dan Polemik di Keuskupan Ruteng

Oleh: ROBERT BALA

Berita upaya pengunduran diri 60-an imam dari pelbagai jabatan di Keuskupan Ruteng, bagi sebagian orang, melahiran rasa heran. “Masa sih para imam itu berani mengambil langkah demikian?”

Kritik memojokkan para imam pun segera muncul; melihat seakan-akan ada sikap infantil di sana, di mana ketika keinginan mereka tidak diterima, lalu memilih ‘merengek’. 

Tapi, apakah sesederhana itu?

Dalam dunia psikologi sosial, dikenal apa yang disebut sindrom ‘Peter Pan’. Dan Killey mempopulerkan istilah ini sejak penerbitan bukunya pada tahun 1983 berjudul “The Peter Pan Syndrome: Men Who Have Never Grown Up” (Orang yang Tidak Pernah Berkembang).

Sindrom ini dikenal sebagai ketidakmatangan dalam aspek psikologi sosial. Orang yang mengidapnya diidentifikasi sebagai pribadi yang tidak matang dan sedikit narsis.

Mereka tidak bertumbuh secara normal dan pada saat bersamaan masih menunjukkan sikap infantil. Hal itu muncul dalam beberapa bentuk perilaku, termasuk tidak bertanggungjawab, emosional, arogan, tidak mengakui kenyataan, tidak mengakui kesalahan, cendrung manipulatif, dan menganggap diri berada di atas peraturan sosial atau norma yang berlaku.

Dari sisi sosial, perilaku-perilaku demikian kerap muncul dalam diri para pemimpin, karena terkendala atau terpenjara oleh kepentingan tertentu – biasanya masalah seks dan keuangan.

Dengan wewenang dan kekuasaan yang ada, mereka akan cenderung mengambil keputusan di luar common sense dan sensitif terhadap kritik sambil mengambil tindakan memberhentikan orang yang terlampau vulgar mengkritik. 

Infantilisme?

Gejala Sindrom Peter Pan yang bisa dikategorikan sebagai model kepribadian yang infantil tidak bisa secara gegabah dijadikan sebagai alasan untuk menilai krisis yang terjadi di Keuskupan Ruteng.

Memang, sangat mungkin untuk segera menyebut apa yang mereka lakukan sebagai gejala infantilisme. Ini terkait dengan alasan berikut: jabatan yang selama ini ditempati telah “diambil” oleh uskup yang menggunakan hak prerogatif, lantas mereka “demo” dengan menyatakan bakal mengundurkan diri.

Namun, mencermati kisah yang terjadi, seperti yang diuraikan Floresa.co dalam artikelnya yang dipublikasi Jumat, 16 Juni “Ada apa di balik Kemelut di Keuskupan Ruteng”, tampaknya para imam justru menunjukkan sikap dewasa nan matang.

Upaya berdialog dengan uskup, proses menelusuri keanehan dalam pengeluaran dana yang mencapai angka Rp 1,65 miliar tetapi dengan minim penjelasan, merupakan sikap dewasa untuk mengontrol sambil menjamin agar tidak terjadi penyimpangan.

Yang justru menonjol dalam proses ini adalah hadirnya “pribadi” yang disebut sebagai “Si Boy”, orang yang diklaim menjadi alasan pemanfaatan dana tersebut. Si Boy dicatat sebagai “ata lengge” (orang miskin). Uang miliaran dipakai untuk membiayai pendidikan sekolah pilotnya nun jauh di Amerika Serikat. Bahkan, untuk proses itu, ia harus membeli sepatu–entah sepatu model apa, seharga Rp 400 juta.

“Si Boy” dalam konteks ini – kalau benar adanya – adalah muara dari proses panjang yang mengindikasikan minimnya komunikasi dan dinginnya kehidupan komunitas. Komunikasi dinyatakan absen karena ada kepentingan tertentu yang sengaja dilindungi, yang tentu (kalau itu terjadi) patut disayangkan. Akibatnya, kebijakan yang dilakukan lebih berpihak kepada orang luar daripada kehidupan internal sendiri, dalam hal ini Keuskupan Ruteng.

Yang juga patut disayangkan adalah terlalu mudahnya berlindung di bawah otoritas – sebagai uskup dan imam – untuk membenarkan segala perbuatan sambil menilai aneka protes sebagai “ancaman terhadap Gereja” dan meminta Roh Kudus menerangi mereka yang protes.

Bila proses itu terus terjadi dan tidak ada kesediaan untuk mengakui kekeliruan sambil diikuti tindakan berani membuka kedok palsu, maka kita akan menjadi pribadi yang dikategorikan Killey sebagai “the person who never grown up” alias pribadi yang tidak pernah akan bertumbuh. 

Pada sisi lain, keberanian membuka kedok yang dimaksud sama sekali tidak berarti merendahkan Gereja. Gereja tetap “Satu, Kudus, Apostolik, dan Katolik”.

Paus Fransiskus sendiri yang sudah terbiasa dengan kenyataan di Amerika Latin, misalnya secara gamblang membongkar dan mengumumkan perilaku Uskup Nunzio Scarano yang terlibat dalam praktik pencucian uang di Bank Vatikan. 

Di balik tindakannya ini, Paus hanya mau mengatakan, perilaku uskup itu sangat disayangkan, tetapi pada saat bersamaan, ia juga menegaskan bahwa terlalu banyak uskup dan imam dengan perilaku yang sangat luhur. Mereka menjadi pribadi contoh yang tetap mendukung kekudusan Gereja, terlepas dari perilaku satu seorang.

Hal ini bisa dijadikan acuan dalam mendorong terjadinya penjernihan di Keuskupan Ruteng, terutama untuk membuka kasus penyalagunaan keuangan dan dugaan pelanggaran janji selibat.

Berlindung di balik ‘Si Boy’ hanya akan menghalangi proses pemulihan yang sangat dinantikan banyak orang terutama umat sederhana. Sebaliknya, butuh keberanian untuk mengutamakan hal yang lebih besar, yakni Gereja.  Butuh keberanian untuk menggugat diri sambil bertanya, mengapa tidak mengambil tindakan cerdas sebagaimana ditunjukkan oleh 60-an imam.

Lewat aksi protes dengan menyerahkan surat pengunduran diri, mereka mau menunjukkan bahwa jabatan itu fana.

Mereka tentunya berharap agar Yang Mulia Uskup Ruteng juga melakukan hal yang sama, untuk secara tenang dan ksatria mengakui diri apa adanya sambil secara berani pula mengambil tindakan transformatif.

Bila hal ini berani dimulai, maka proses pemulihan akan lebih cepat terjadi. Tentu ini menjadi kerinduan kita semua.

Penulis adalah Alumnus Diploma Resolusi Konflik dan Perdamaian, Universidad Complutense de Madrid Spanyol

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini