Menanti Cahaya dari Timur Manggarai

Oleh: FIAN ROGER

Dalam salah satu artikelnya yang  berjudul Popularitas dan Pilkada Matim 2018” kolumnis Alfred Tuname tampaknya sedang bertutur ihwal keuntungan politik pasangan calon petahana Andreas Agas-Steph Jaghur (Paket Aset) saat Pilkada Manggarai Timur (Matim) masih dalam fase pemanasan.  Artikel itu dipublikasi Florespost.co pada 5 Mei lalu.

Ini patut diduga sebagai strategi “pukul mental.” Paket Aset diklaim bakal memperoleh dukungan politik sebanyak tujuh kursi dari PAN, PKPI, dan Hanura.

Sementara, lanjut Alfred, PDIP dan Demokrat akan lebih merapat ke Paket Aset untuk mengamankan kepentingan mereka di Pilgub Nusa Tenggara Timur (NTT) yang akan dilaksanakan bersamaan dengan Pilkada Matim tahun depan.

Alangkah terlalu gampang untuk mengkotak-kotakan perilaku partai-partai politik tanpa jujur berbicara tentang dukungan arus bawah terhadap para calon pemimpinnya.

Partai politik yang sehat tentu akan lebih mendengarkan suara dari bawah, ketimbang hanya akan membuang-buang waktu mendukung calon yang elektabilitasnya rendah atau calon yang terdengar poluper, tetapi sudah ditinggalkan massa pemilih karena janji tidak terealisasi.

Sebagai seni kemungkinan-kemungkinan (the art of possibilities), survei internal partai dan pelbagi survei yang akan dilakukan lembaga-lembaga nonpartai tentu akan mempengaruhi keputusan partai-partai politik. Lobi mulai dari tingkat bawah, provinsi hingga nasional, akan memperlihatkan pengaruh ketokohan dan modal politik pasangan calon terhadap partai-partai politik.

Namun, partai politik tidak selalu ideologis, selalu ada cakaran untung rugi terhadap para calon. “Game of thrones​” (drama kekuasaan) dan drama “the invisible hand​” (tangan yang tidak kelihatan) yang akhirnya menciptakan massa yang terkejut (​suprised mass​).  

Usai Ahok

Membaca hasrat politik nasional usai Ahok serta peta rasional politik NTT, tentu menjadi pertimbangan tersendiri.

Hasrat politik publik usai Ahok membuat masyarakat tidak mudah percaya dengan perilaku partai-partai politik, yang kemasannya tampak nasionalis tapi isinya acapkali kabur warna.

Kekuatan ketokohan melampaui nama besar parpol dan perolehan kursi di DPR setempat. Efek Ahok memantik kesadaran mengenai keunikan, karakter pribadi calon pemimpin, ketimbang kemasan besar ideologi dan jas warna-warni partai politik.

Efek Ahok (Ahok Effect) mewartakan karakter pemimpin seperti cahaya yang memikat. Cahaya  kiasan mengenai “tokoh” yang membuat masyarakat tertarik kepadanya, ketimbang bersusah payah menarik hati massa pemilih.

Ia akan didatangi masyarakat untuk memantapkan langkahnya menjadi pemimpin, ketimbang rajin mendatangi massa pemilih dengan blusukan yang dibuat-buat.

Peta rasional Pilgub NTT di Manggarai Raya pada di sisi lain, lebih mengacu gejala ketokohan politik yang akan maju ke panggung NTT 1 dari Manggarai. Siapa calon gubernur yang memiliki elektabilitas kuat di Matim?

Tentu si tokoh akan berada dalam satu gerbong dengan Pilkada Matim, meski dampaknya belum tentu signifikan. Secara strategi, politik pecah belah akan dihindari para calon gubernur, sebab mereka akan lebih tampil dengan sikap normatif dan jalan tengah, misalnya saja, dengan sikap patuh pada keputusan partai.  

Mencari Pemimpin

Siapa yang bakal menjadi jawara Pilkada Matim di 2018? Pertanyaan ini terlalu cepat! Para calon masih menjalani safari politik dan pengenalan diri kepada calon voters, meski beberapa di antaranya sudah terlalu dikenal karena sudah dua bahkan tiga kali maju sebagai calon bupati maupun wakil bupati.

Pertanyaan yang lebih tepat yakni, tokoh seperti apa yang sedang dibutuhkan masyarakat Matim saat ini?

Tidak mudah menjawab pertanyaan ini! Klaim ego akan mengalahkan segalanya, termasuk realitas yang jujur dan apa adanya. Semua calon pemimpin akan mengatakan dirinya yang terbaik.

Padahal, tidak semua kandidat itu ideal, para pemimpin yang maju ke panggung kontestasi tentu punya kelebihan dan kekurangan. Karakter itu kemudian menjadi ideal dalam sinergi kemasan politik untuk menjawab kebutuhan masyarakat.

Faktual, Pilkada Marim 2018 sudah memunculkan beberapa nama kandidat bakal calon bupati dan wakil bupati. Selain Paket Aset, ada juga Tarsi Syukur-Yoseph Biron (Tabir), Bonefasius Uha-Frans Anggal (Nera), Paskalis Sirajudin-Lucius Modo (Rasul), dan Wilibrodus Nurdin Bolong-Syahdan Odom Yohanes (Widang) dan Frans Sarong-Nahas Yohanes (SarNas).  

Nama-nama lain sedang ramai dibicarakan akhir-akhir ini, di antaranya Marselis Sarimin (Kapolres Manggarai), Gonis Badjang (wakil ketua DPRD Matim), Hyronimus Nawang, Anselmus Asfal, Silvanus Hadir dan Anton Dergong.

Pesta Pilkada masih “pagi,” tentu ke depan masih ada calon lain yang bakal menampakan wajah.

Jebakan Popularitas

Jefrin Haryanto Research Centre (JHRC) merilis survei tingkat popularitas pada 4 Mei lalu. Survei ini mengklaim, calon petahana, Andreas Agas adalah yang terpopuler dibandingkan para calon lain, dengan klaim ilmiah sebanyak 81 % dari 800 orang responden.

Popularitas memang tidak sama dengan elektabilitas. Calon yang populer belum tentu memenangkan Pilkada. Calon yang sedikit dibicarakan belum tentu tidak berelektabilitas.  

Apa dan siapa itu JHRC? Pertanyaan ini memang tidak penting dijawab, tetapi pantas dicermati. Lembaga dengan klaim riset “psikologi politik” ini berpusat di Ruteng, Manggarai. Kebetulan namanya saja terkait dengan pendirinya, “Jefrin Haryanto,” seorang Aparat Sipil Negara (ASN) yang bertugas di Dinas PPO Matim.

Jelas, survei ini tidak terkait dengan pribadi Jefrin, melainkan karya ilmiah dari lembaga yang kebetulan memakai namanya (​teori kebetulan​). Ini insidental semata!  

JHRC mengklaim, Andreas hanya perlu meyakinkan 19 % warga Matim yang belum mengenal dirinya selama sembilan tahun terakhir. Survei ini kelebihan masuk akal dan tidak mengejutkan. Pasalnya, dimana-mana masyarakat pasti mengetahui siapa nama bupati dan wakil bupatinya, terlepas dari manfaat kekuasaan yang mereka jalankan.  

Merujuk pada mesin pencari Google.com, ketika kata kunci seperti Pilkada Matim” dimasukkan, maka kabar pertama yang ditampilkan adalah berita survei popularitas JHRC ini (bdk. kupang.tribunnews.com​).

Kemudian, di posisi berikut, muncul tautan yang dirilis Floresa.co dan Voxntt.Co tentang pencalonan Paket Aset, munculnya SarNas, misi Rasul, optimisme Widang, semangat Tabir, gerakan Nera, dsb (bdk. ​google.com). Tampak, petahana masih menjadi jawara sementara.   

Andreas dan wakilnya Stephanus Jahur maju dengan mengusung motto “Matim Seber” (​sejahtera, berdaya dan berbudaya​). Kata seber berarti kerja keras dalam bahasa Manggarai (bdk. tagline “kerja” dari Presiden Joko Widodo). Hal ini tidak terlepas dengan ketokohan Andreas yang menjadi salah satu pegiat Gerakan Credit Union Indonesia, khususnya di NTT.

Ia merupakan inisiator dan pengurus BK3D (Badan Kordinasi Koperasi Kredit Daerah) Timor yang saat ini berubah nama menjadi Puskopdit (pusat koperasi kredit). Beliau juga aktif mempromosikan gerakan credit union di Matim, yang kemudian melahirkan beberapa credit union, salah satunya  Kopdit AMT (Abdi Manggarai Timur).  

Tak heran juga, kalau pilihan singkatan “Aset” dekat dengan istilah dunia keuangan (baca: koperasi kredit). Aset​, oleh ekonom Robert Kiyosaki dipakai untuk merujuk pada apa saja yang mendatangkan modal atau kapital, lawannya adalah liabilitas (sesuatu yang membuat modal/kapital keluar).  

Sejauh ini, siapa yang tidak mengenal Andreas Agas?

Pemimpin Otentik

Kita mungkin terlalu tinggi bermenung dalam ​metafisika kekuasaan, saat kesejahteraan tampak akan hanya berdampak pada elite kekuasaan dan birokrasi, elite pemodal dan elite pemegang game of thrones (para cukong kekuasaan).  Sementara, yang sederhana, unik, kecil, jelata, remeh-temeh tidak diperhatikan.

Fakta, bagaimana berbicara soal perbaikan kualitas kesehatan masyarakat, kalau di Puskesmas Borong listrik sering padam? Bagaimana berbicara soal kualitas pendidikan, tanpa mengindahkan nasib para guru honor di pedalaman Matim? Acapkali metafisika politik yang terlalu tinggi itu jauh dari bumi manusia. Dan anehnya, media massa massif terjebak untuk berjargon ria dalam dunia antah berantah ini.  

Dalam keluhan kemiskinan, kesenjangan pendapatan, pengangguran dan kesenjangan pembangunan infrastruktur, masyarakat Matim membutuhkan pemimpin yang paham apa yang harus dilakukan untuk mencapai capaian-capaian (outcomes) pembangunan.

Dia wajib paham apa yang dilakukan dan dapat mengarahkan diri, sembari tidak tunduk pada transaksi kepentingan yang di kemudian hari mengkerdilkan dirinya (​self-driven leadership).

Dia juga harus memiliki tujuan yang jelas mengapa harus dipilih masyarakat dan apa tujuannya memimpin?

Kalau dia memiliki tujuan yang jelas, tentu dia paham apa yang akan ia sinergikan bersama tim kerja untuk mendapatkan tujuan-tujuan yang dimaksud.

Bahasa kesejahteraan acapkali indah seperti Drama Korea, namun untuk mewujudkannya butuh kerja tim dan kepemimpian yang memiliki tujuan yang jelas (​leadership with clear goals​).  

Pemimpin yang dibutuhkan juga tentu yang membuat orang lain antusias. Dia sendiri harus menjadi “virus” yang membuat sesamanya antusias, optimis dan bahagia saat menatap aura kepemimpinannya (​enthusiast leadership​).

Inilah sifat pemimpin karismatis. Kalau dia bisa menggerakkan orang, maka dia pun akan dikerumuni seperti cahaya  yang dikerumuni banyak orang.

Pada akhirnya, pemimpin otentik (authentique leadership) itu seperti cahaya yang dikerumuni orang, bukan karena popularitas semu ciptaan media massa dan media sosial, melainkan karena pribadinya yang bekerja, mewujudkan visi dalam tindakan.

Ia tidak sekadar jago bicara kesejahteraan tetapi menunjukannya dalam program yang mendarat.

Penulis adalah peneliti pada M8tim Institute, penulis blog di www.idenera.com dan pemerhati media. Kini, ia tinggal di Labuan Bajo.  

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini