Tanggapan Terhadap Pendapat Edi Danggur

Oleh: Peter Dabu


Bagian Humas Pemkab Manggarai Barat mengunggah sebuah video wawancara dengan Edi Danggur seorang advokat asal Manggarai yang berdomisili di Jakarta. Wawancara itu berbicara soal polemik pantai Pede di pesisir Labuan Bajo, Manggarai Barat.

Ada beberapa point pernyataan Edi Danggur dalam video itu yang perlu mendapat tanggapan dari kacamata lain.

 Soal Posisi Kasus

Tentang posisi kasus permasalahan pantai Pede Edi Danggur mengatakan:  “Pantai Pede adalah sebuah lahan dengan hak pakai di atasnya. Ada dua sertifikat hak pakai dan di dalam seritifikat itu tertulis nama pemerintah provinsi NTT sebagai pemiliknya….”. “Dan sekarang ini sedang dikerjasamakan dengan PT SIM dengan pola BOT atau BGS. BOT itu build, operate, and transfer atau bangun, guna, serah selama 25 tahun. Setelah semuanya selesai, itu diserahkan semuanya ke pemerintah provinsi Nusa Tenggara Timur.

Posisi kasus Pede yang dipahami Edi Danggur ini sebatas kacamata kuda bidang ilmunya, Ilmu Hukum. Edi Danggur sama sekali tak melihat fakta sosiologis bahwa BOT itu ditentang masyarakat. Kenapa ditentang? Masyarakat atau (agar tidak ada tuduhan generalisasi) sejumlah elemen masyarakat menuntut agar tanah yang sertifikatnya dimiliki pemerintah provinsi ini  tetap digunakan sebagai area wisata publik dimana masyarakat bebas mengakesesnya. Justru karena tanah ini sertifikatnya dimiliki provinsi, makanya masyarakat punya daya tawar politik untuk menentukan pemanfaatnya.

Masyarakat menuntut agar pemanfaatan lahan pantai Pede itu tetap untuk lokasi wisata publik seperti misalnya pantai Kuta di Bali. Kenapa ada tuntutan semacam ini? Karena fakta bahwa ada sejumlah bibir pantai di Labuan Bajo yang sudah dikapling sebaai milik perusahaan tertentu dimana mereka sudah bangun hotel di atasnya. Masyarakat yang hendak menikmati pantai di sekitar itu pun harus meminta izin dan membayar sejumlah uang. Ini buakn kabar angin. Tetapi sudah jamak menjadi keluhan warga Labuan Bajo dan Manggarai pada umumnya. Dan harapan terakhir saat ini ada di pantai Pede. Pantai ini selama ini tak hanya menjadi tempat rekreasi murah meriah masayarakat lokal, tetapi bahkan Pemda Manggarai Barat sudah menjadikan sebagai tempat untuk menggelar sejumlah event budaya.

Selain aspek sosiologis dan politik demikian, ada fakta hukum lain dalam kasus Pede ini. Bahwa benar sertifikat tanah itu adalah milik pemerintah provinsi NTT. Justru karena itulah, relevan mengkaitkannya dengan keberadaan UU No 8 tahun 2003 tentang pembentukan Kabupaten Manggarai Barat. Dalam salah satu pasal UU ini disebutkan adanya perintah pengalihan aset milik provinsi dan kabupaten induk yaitu kabupaten Manggarai. Karena tanah Pede itu adalah salah satu aset milik provinsi, sejumlah kalangan pun menuntut agar aset itu diserahkan ke pemerintah kabupaten Manggarai Barat seperti perintah UU No 3 tahun 2008 itu.

Sebelum polemik ini berkembang sejak tahun 2012, sejak era pemerintahan Fidelis Pranda (2004-2010) bahkan periode pertama (2010-2015) Agustinus Ch Dula pun sudah mengirim surat kepada pemerintah provinsi NTT agar menyerahkan aset Pede ke pemerintah Kabupaten Manggarai Barat. Surat Fidelis Pranda pada tahun 2004 dan 2005 tidak pernah ditanggapi. Hanya surat Bupati Dula yang ditanggapi Gubernur NTT Frans Lebu Raya yang intinya tidak setuju dengan permintaan penyerahan aset Pede itu.

Tanah Pede Bukan Tanah Negara

Edi Danggur menagatakan “Memang banyak persepsi di luar. Aktivis bilang Pede itu tanah Negara, tanah ulayat. Tetapi kalau seumpanya kita kaji lebih jauh, benarkah Pede itu tanah Negara? Ternyata dari kajian yang saya lakukan, itu bukan tanah Negara. Karena tanah Negara itu adalah tanah yang di atasnya tidak dipunyai hak atas tanah apa pun.Sedangkan kenyataanya, tanah Pede itu ada hak atas tanah di atasnya.  Dan jenis hak atas tanahnya adalah Hak Pakai. Dan adakah sertifikatnya? Ada.  Sertifikatnya itu atas nama siapa? Atas nama Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kalau demikian, maka klaim sepihak dari para aktivis bahwa lahan pantai Pede itu adalah tanah Negara, itu tidak benar. Dan kalau mau mengujinya itu bisa dilihat di pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah No 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah.

Intinya, menurut  Edi Danggur tanah pantai Pede bukan tanah Negara. Mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang pernah dibela Edi Danggur pernah berpolemik dengan pakar Hukum Tatan Negara  Yusril Ihza Mahendra sekitar Mei 2016. Waktu itu, Yusril digadang-gadang sebagai salah satu bakal calon gubernur DKI Jakarta.

Yusril menyindir Ahok karena kerap menyatakan status “tanah Negara” untuk kawasan yang hendak ditertibkan. Menurut Yusril “Negara tidak memiliki tanah, hanya menguasai”.

Menurut Ketua Lembaga Hukum Properti Indonesia, Erwin Kallo seperti dilansir Kompas.com, 12 Mei 2016 (Lihat artikel: Nih, Dua Jenis Tanah yang Dikuasai Negara…), klaim atau istilah tanah Negara tidaklah salah. Tetapi maknanya bukan “Negara memiliki tanah” tetapi “Negara menguasai tanah”.

Menurut Erwin Kallo dalam berita Kompas.com itu, ada dua jenis “tanah Negara” yaitu tanah Negara bebas dan tanah Negara tidak bebas.

Tanah Negara bebas adalah tanah Negara yang belum pernah ada hak di atasnya seperti tanah di hutan, pegunungan dan sebagainya. Atau tanah yang belum memiliki status. Ini sejalan dengan pendapat Edi Danggur soal tanah Negara.

Tetapi ada juga tanah Negara tidak bebas yaitu tanah Negara yang pernah ada hak di atasnya. Erwin Kallo menyebut contoh misalnya Hak Guna Bangunan (HGB) atau hak lainnya. Apa saja hak lainnya itu? Mengacu  UU Pokok Agraria, ada beberapa jenis hak atas tanah yaitu hak milik, hak guna usaha/hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan.

Dengan demikian, tanah pede termasuk tanah Negara kategori tanah Negara tidak bebas dimana sudah berstatus hak pakai.

Dari uraian di atas, jelas bahwa tidak ada yang salah dengan penyebutan “tanah Negara” yang oleh Edi Danggur disebut tidak benar itu. Para aktivis atau masyarakat kebanyakan (yang awam hukum) menyebut tanah Negara sebagai sebuah istilah populer untuk menyebut tanah yang “dikuasai Negara” atau tanah yang bukan milik perorangan atau perusahaan swasta.

Pasal 13 Kadaluwarsa

Edi Danggur jelas mengakui bahwa tanah di pantai Pede seluas 3,2 hektare itu milik pemerintah provinsi NTT yang diperoleh dengan cara hibah dari pemerintah pusat. Tetapi Edi Danggur tidak sepakat pasal 13 UU No 8 tahun 2003 tentang pembentukan kabupaten Manggarai Barat dijadikan sebagai landasan hukum satu-satunya agar aset pantai Pede itu diserahkan ke pemerintah Kabupaten Manggarai Barat.

“….membaca dan menafsirkan undang-undang itu tidak seperti membaca mantara. Kalau sakit kepala mantaranya begini, kalau sakit perut mantaranya begini. Bukan. Ada seni tersendiri, ada metode tersendiri bagaimana membaca dan memahami pasal 13 UU no 8 tahun 2003. Saya mau mengatakan begini, di pasal 13 itu ada tiga ayat.  Ayat pertama mengatakan, diserahkan ke pemkab Manggarai Barat. Tetapi ada kata, harus disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-udangan yang berlaku. Itu berati terkait penyerahan itu,  harus disesuaikan dengan ketentuan di dalam  peraturan perundangan-udangan yang lain.  Misalnya, undang-udangan keuangan negara,  undang-undang perbendaharaan negara, dan bebrapa peraturan pemerintah, Permendagri, Permenkeu, dan juga beberapa Perda terkait. Jadi tidak bisa semata-mata hanya berdasarkan  undang-undang no 8 tahun 2003.”

Tentang hal ini sudah banyak advokat asal Manggarai lainnya yang punya pandangan beda dengan Edi Danggur, sebut saja misalnya Florianus SP Sangsun, Paskalis Baut, Agustinus Dawarja, Anotnius Ali dan sejumhlah advokat lainnya.

Praktisi-prktisi hukum ini, selain Edi Danggur, berpendapat bahwa tidak ada tafsiran lain lagi dari pasal 13 UU No 8 tahun 2003 itu. Pasal itu sudah sangat gamblang berisi perintah penyerahan aset termasuk tanah pantai Pede yang sudah jelas-jelas sertifikatnya atas nama pemerintah provinsi NTT.

Paskalis Baut misalnya mengatakan kewenangan gubunur NTT untuk  menggunakan atau memanfaatkan aset-aset provinsi yang ada di Manggarai Barat berikut dokumen-dokumennya berakhir pada saat lahirnya UU No 8 2003 pasal 13.

“Kareana yang diatur dalam  pasal 13 tidak hanya perintah untuk  serahkan aset tapi juga dokumen/surat yang berkaitan  dengan aset-aset itu,”demikian Paskalis Baut.

Karena itu, menurut Paskalis sertifikat tanah pantai Pede yang atas nama provinsi NTT itu harus diserahkan ke pemerintah Kabupaten Manggarai Barat sesuai amanat UU No 8 tahun 2003.

Tetapi Edi Danggur berpedapat : “UU no 8 tahun 2003 sebetulnya tidak berbicara soal aset tetapi tentang pembentukan kabupaten Manggarai Barat.” Pernyataan ini aneh. Tidak ada yang mengatakan UU No 8 tahun 2003 itu tentang aset. Semuanya juga mengakui itu undang-undang tentang pembentukan kabupaten Manggarai Barat. Atau  dalam bahasa Rikard Rahmat, UU itu adalah Undang-Undang Dasar (UUD)-nya Manggarai Barat yang menjadi landasan yuridis laihirnya kabupaten baru bernama Manggarai Barat. Tetapi di dalam UU itu jelas ada pasal yang memerintahkan adanya pengalihan aset dari pemerintah provinsi dan kabupaten induk agar roda pemerintahan kabupaten baru ini bisa berjalan.

Lebih lanjut Edi Danggur mengatakan: “…. pelaksanaan penyerahan itu harus dilakukan selambat-lambatnya dalam satu tahun. Bupati Fidelis Pranda sendiri sudah mengajukan permohonan kepada pemerintah provinsi waktu itu. Tetapi dengan alasan tertentu mereka mengatakan tidak bisa diserahkan. Dan memang di dalam P3D sendiri, pantai Pede tidak tercanutm. Gubernur sendiri sudah menyurati pemerintah kabupaten Manggarai Barat. Dengan alasan tertentu mereka tidak menyerahkan. Di dalam  waktu satu tahun itu, tidak ada protes apa pun dari pemerintah kabupaten Manggarai Barat sehingga itu dianggap final.  Lalu, umpanya kalau kita persoalkan sekarang sudah tidak relevan karena batas waktu itu hanya satu tahun. Satu tahun dari tanggal peresmian kabupaten Manggarai Barat 17 juli 2003 sampai 17 Juli 2004. Sehingga umpamanya kalau kita memerjuangkan pantai Pede tidak bisa lagi pakai pasal 13 itu, harus pakai pasal-pasal lain di luar UU No 8 tahun 2003. Kita dianggap sudah kadaluwarsa untuk memperjuangkan itu. Lalu, kita mengtakan di pasal 13 itu ada kata-kata atau ketentuan kalau umpanya tidak diserahkan pemerintah provinsi, maka kita berhak mengajukan upaya hukum. Tetapi upaya hukum itu sendiri harus dijalankan dalam batas waktu satu tahn itu. Nyatanya di dalam batas waktu satu tahun itu tidak ada upaya hukum.”

Edi Danggur menyinggung soal surat Fidelis Pranda. Lalu mengatakan dengan alasan tertentu pemerintah provinsi tidak bisa diserahkan.  Perlu diketahui Bupati Fidelis Pranda dua kali mengirim surat ke pemerintah provinsi NTT yaitu 6 April 2004 dan  28 November 2005. Dua surat ini tidak pernah ditanggapi. Pemerintah provinsi baru membalas surat Bupati Manggarai Barat Agustinus Ch Dula tertanggal 2 Agustus 2012. Surat balasan dari pemerintah provinsi itu tertanggal 11 September 2012. Dalam surat balasan itu terungkap bahwa pemerintah provinsi sedang melakukan kerja sama Bangun Guna Serah (BGS) dengan pihak ketiga. Bupati Dula kemudian kembali mengirim suarat ke provinsi pada 22 Sepetember 2012. Dalam surat Bupati Dula yang kedua ini antara lain diungkapkan bahwa Pemkab Mabar telah membangun saran wisata di pantai Pede. Kemudian, disebutkan bahwa Pemkab Mabar telah menerbitkan perda yang mengatur pantai Pede sebagai salah satu objek penerimaan retribusi. Pemerintah provinsi kemudian kembali membalas surat bupati Dula ini pada  10 Oktober 2012 yang intinya tidak menyerahkan aset Pede ke kabupaten Manggarai Barat.

Edi Danggur mengatakan bahwa tidak ada protes apa pun dari pemerintah Kabupaten Manggarai Barat sehingga dianggap final. Hal ini merujuk pada periode satu tahun yang ditetentukan UU No 8 tahun 2003. Pernyataan Edi Danggur soal tidak ada protes apa pun ini aneh. Menurut Edi Danggur, protes dalam penyelenggaran pemerintahan itu dilakukan dengan cara apa? Bukankah mengirim surat itu sebagai sebuah bentuk protes? Setelah tidak ada penyerahaan dari pemerintah provinsi, Bupati Fidelis Pranda yang waktu itu masih  menjadi pejabat sementara menuliskan surat agar aset itu diserahkan sebagaimana diatur UU No 8 tahun 2003. Bukankan itu sebuah bentuk protes dalam hubungan pemerintahan? Apakah protes menurut Edi Danggur dilakukan dengan datang ke provinsi lalu menggebrak meja gubernur?

Lantas, Edi Danggur kemudian membuat kesimpulan tidak relevan lagi menggunakan pasal 13 itu karena sudah kadaluwarsa. Bukankan yang tidak patuh terhadap pasal itu pemerintah provinsi? Mengapa kemudian yang menanggung akibatnya pemerintah kabupaten? Bukankan pemerintah kabupaten sudah melakukan upaya dengan mengirim surat, tetapi tidak direspons?

Edi Danggur mengatakan upaya hukum dilakukan dalam batas waktu satu tahun. Menurut Edi Danggur tidak ada upaya hukum dari pemerintah kabupaten Manggarai Barat dalam waktu satu tahun ini.

Terkait upaya hukum dalam kurun waktu satu tahun itu (Juli 2003-Juli 2004), Paskalis Baut praktisi hukum asal Manggarai  menilai Edi Danggur keliru. Menurut Paskalis upaya hukum bukan dilakukan dalam waktu satu tahun itu. Tetapi setelah waktu satu tahun itu, ketika tidak ada itikad dari Pemprov menyerahkan aset kepada pemkab Mabar sebagaimana diperintahkan pasal 13 UU No 8 tahun 2003. “Upaya hukum baru bisa dilakukan ketika sampai bulan  Juli 2004, gubernur tidak  ikuti printah pasal 13 ayat 1 dan 2,”demikian dikatakan Paskalis Baut.

Tidak ada Privatisasi

 Edi Danggur mengatakan tidak ada privatisasi di pantai Pede. Atau jelasnya, kerja sama BOT antara pemprov NTT denagn PT SIM bukan privatisasi.

Kalau saya melihatnya bahwa tidak ada privatisasi di pantai Pede. Dasarnya apa?  Privatisasi itu sendiri, kalau kita lihat di kamus ekonomi, hukum, privatisasi itu artinya: Ada sebuah PT dimana mayoritas saham PT itu adalah pemerintah, apakah pemerintah pusat, pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten terserah. Tetapi saham mayoritas adalah pemerintah. Dalam rangka efisiensi, pemerintah menjual saham kepada swasta.

Contoh menurut Edi Danggur adalah penjualan saham Indosat,BNI dan Semen Gersik kepada swasta. “Di pantai Pede tidak ada privatisasi. Belum ada PT yang sahamnya itu dimiliki pemerintah. Yang ada di pantai Pede itu hanya kerja sama, sewa menyewa lahan antara pemerintah provinsi dengan PT SIM dalam jangka waktu 25 tahun. Jadi jauh sekali dari arti privatisasi,”demikian Edi Danggur.

Makna sebuah kata atau konsep tentu tidak cukup mengacu pada makna leksikal atau kamus. Tetapi karena Edi Danggur merujuk pada kamus, baiklah kita merujuk pada kamus.

Mengutip definitions.uslegal.com, privatisasi artinya: Privatization is the transfer of some property or activity from public to private control.” Dari kutipan ini jelas disebutkan bahwa privatisasi itu tak cuma transfer kepemilikan tetapi juga aktivitas, dari kontrol publik (pemerintah) ke kontrol privat (perusahaan).

Kerja sama BOT memang tidak ada transfer kepemilikan aset. Karena aset Pede tetap statusnya milik pemerintah. Tetapi aktifitas di dalam aset tersebut kemudian dikontrol pihak swasta dalam kurun waktu 25 tahun dan bisa diperpanjang. Bukan itu sebuah bentuk privatisasi? Aset yang dulunya masyarakat bebas masuk untuk berrekreasi karena merupakan tanah pemerintah, kemudian dibatasi karena dalam kontrol swasta.

Pemerintah Boleh Kerja Sama dengan Investor

Edi Danggur mengatakan bahwa pemerintah boleh kerja sama dengan investor karena selain sebagai badan hukum publik, pemerintah juga adalah badan hukum privat. Sebagai badan hukum privat, pemerintah bisa punya aset, bisa kerjasamakan aset dengan pihak ketiga dengan perjanjian sewa menyewa atau jual beli.

Dalam konteks Pede, menurut Edi Danggr pemerintah provinsi sebagai pemilik lahan pantai Pede boleh mengadakan kerja sama sewa-menyewa lahan atau kerja sama dalam bentuk lain di atas lahan.

Tentu pemerintah boleh bekerja sama dengan sektor swasta. Tetapi dalam konteks Pede, ada soal lain mengapa masyarakat tidak setuju dengan kerja sama ini. Soalnya adalah masyarakat membutuhkan lahan itu untuk sarana wisata umum, bukan dijadikan hotel atau sarana wisata mahal yang dikontrol swasta.

Tuntutan ini bukan tanpa alasan. Seperti telah dikemukan di atas, banyak bibir pantai di Labuan Bajo yang sudah dikapling sebagai milik privat. Akses masyarakat pun terbatas. Dan kini tinggal Pede yang masih tersisah. Jadi, meski pun pemerintah memiliki dimensi badan hukum privat, seperti dikatakan Edi Danggur, tetapi tentu tidak terlepas dari kontrol publik dalam menjalankannya.

Tetapi tuntutan masyarakat soal hak atas ruang publik ini tidak menjadi pertimbangan Edi Danggur karena memang menurut dia kasus posisi pede hanya semata soal “kepemilikan sertifikat hak pakai atas nama pemerintah provinsi” dan soal kerja sama BOT.

Demikian sejumlah catatan saya terhadap pernyataan Edi Danggur dalam wawancara yang diunggah bagian Humas Pemkab Manggarai Barat. Catatan ini bermaksud untuk memperkaya sudut padangan dalam melihat polemik pantai Pede yang sudah menahun.

Penulis adalah wartawan. Bersama Bernadus Barat Daya menulis buku”Pede, Skandal Korporasi, Rakyat Lawan Penguasa!”

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini