Tiga Sektor Ini Jadi Titik Masuk Benahi Persoalan NTT

Floresa.co – NTT selama ini sudah lekat dengan citra kemiskinan dan keterbelakangan. Banyak juga warga NTT yang menjadi korban perdagangan manusia (human trafficking).

Citra kemiskinan dan keterbelakangan ini didukung oleh sejumlah data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS).

Data tingkat kemiskinan misalnya. Berdasarkan data BPS per September 2016, tingkat kemiskinan di NTT sebesar 22,01% dari total jumlah penduduk. Posisi NTT berada pada urutan ketiga tertinggi setelah Papua (24,4%) dan Papua Barat (24,88%). (Baca:NTT Termiskin Ketiga di Indonesia)

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) NTT juga berada di bawah rata-rata nasional. IPM NTT tahun 2016 adalah 63,13, sementara rata-rata nasional 70,18. (Baca:NTT Juga Terendah untuk IPM)

Dibandingkan provinsi lain, IPM NTT berada pada urutan ketiga terendah, setelah Papua dan Papua Barat.

Data kemiskinan dan IPM ini sudah cukup mengkonfirmasi NTT masih terbelakang dibandingkan daerah lain di Indonesia.

Data tersebut juga sudah cukup menjelaskan kondisi yang melatarbelakangi maraknya kasus human trafficking di NTT.

Bagaimana Keluar dari Persoalan Ini?

Ignatius Iryanto Djou salah satu bakal calon wakil gubernur NTT mengatakan masalah NTT memang kompleks. Tetapi untuk menguraikannya tidak sama seperti mengurai benang kusut.

Menurutnya, langkah pertama yang mendesak dilakukan oleh siapa pun yang terpilih menjadi gubernur dan wakil gubernur NTT adalah menentuakn leading sector yang akan menggerakan seluruh roda perekonomian NTT (ecomic prime mover).

Tak kalah penting adalah membangun etos dan profesionalitas birokrasi. PNS atau sekarang disebut Aparat Sipil Negara (ASN) di NTT harus benar-benar memiliki passion untuk menjadi pelayan masyarakat. ASN juga dibekali kemapuan manajerial modern dalam menjalankan kerja-kerjanya. Prinsip-prinsip keberlanjutan serta manajemen proyek dan atau pemberdayaan, pengukuran benefit sosial dari setiap proyek yang dilakukan dan aspek-aspek menajemen lainnya, mesti dikuasai oleh minimal level Kabid di setiap dinas atau SKPD di daerah daerah.

Setelah dua hal di atas sudah dijalankan, langkah berikutnya mulai mengatasi persoalan riil yang dialami masyarakat.

Menurutnya, ada tiga kata kunci sebagai entri point untuk mengatasi berbagai persoalan di NTT yang dia singkat menjadi FEW (Food, Energy dan Water)

Pertama, Food atau persoalan pangan. Busung lapar yang rutin terjadi di sejumlah tempat di NTT terkait dengan persoalan kedaulatan dan ketahanan pangan.

Selama ini pemerintan NTT selalu gembor-gembor soal provinsi jagung dan belakangan provinsi ternak. Tetapi, itu seperti cuma slogan, karena faktanya tetap ada busung lapar.

“Ini harus di-handle. Misalnya mengembangkan pangan lokal. Tetapi harus dikemas agar lebih bergengsi. Misalnya, sorgum dikembangkan. Penanganan ketahanan pangan mesti jadi prioritas, tapi rumuskan dulu penggerak ekonomi utama dengan road map-nya,”ujar Ignas belum lama ini.

Sukun menurutnya bisa juga jadi alternatif pangan lokal yang bisa dikembangkan di NTT. Mudah ditanam dan akan jadi penyedia makan dalam waktu yang sangat lama. Pola makan dengan basis sukun dapat dimulai lagi.

“Di IPB (Institut Pertanian Bogor) sudah dikembangkan tepung sukun yang secara khusus digunakan untuk makanan saat bencana alam,”ujarnya.

Begitu pula tanaman kelor, yang daunnya merupakan makanan dengan nilai gizi yang sangat tinggi. Kelor dapat menjadi sumber makanan sekaligus industri.

“Pemerintah sebaiknya menyiapkan seluruh bibit pangan lokal tersebut secara gratis namun siapapun yang mengambilnya harus didampingi dan dimonitor pembudidayaannya,”ujar doctor lulusan Jerman ini.

Kedua, Energy. Tahun 2015, rasio elektrifikasi di NTT baru mencapai 58,64%. Itu artinya masih banyak  keluarga yang belum mendapatkan akses listrik.  Angka rasio elektrifikasi ini jauh lebih rendah dari rata-rata nasional yang sudah mencapai 88,3%. (Baca:Kelistrikan: Papua Barat & NTT Paling Gelap)

Kondisi ini tentu sangat meprihatinkan. Pasalnya, listrik bukan semata untuk penerangan, tepai juga untuk menggerakan roda perekonomian masyarakat.

Menurut Ignas, potensi energi untuk listrik di NTT cukup banyak, terutama energi baru dan terbarukan.

“Di beberapa tempat di Flores ada banyak titik-titik geothermal (panas bumi) yang belum optimal dimanfaatkan,”ujarnya.

Selain itu, sebagai provinsi kepualuan, arus laut juga bisa dikembangkan menjadi energi alternatif, seperti di selat antara pulau Flores dan Adonara. Karena itu, menurutnya, proyek Jembatan Palmerah yang pernah dicanangkan, sebaiknya jangan dilihat sebagai proyek jembatan..dus infrastruktur transportasi namun harus dilihat sebagai proyek pembangkit tenaga listrik energi arus laut dan jembatan hanya merupakan hasil ikutannya.

“Model bisnis yang dibangun dengan basis sebuah pembangkit listrik akan jauh lebih rasional dibandingkan dengan melihat proyek itu sebagai proyek transportasi,”ujarnya.

Pembangunan pembangkit listrik, menurutnya terkait erat dengan leading sector yang diputuskan sebagai penggerak ekonomi NTT.

Ketiga, water (air). Sudah menjadi rahasia umum NTT dikenal sebagai daerah dengan iklim kering. Karena itu, ketersediaan air baik untuk air minum maupun untuk pertanian selalu menjadi persoalan.

Menurut Ignas, Dinas PU baik di provinsi maupun kabupaten harus punya peta potensi air tanah (artesis) di wilayahnya.

Untuk wilayah pulau-pulau kecil dan juga wilayah pesisir, teknik desalinasi atau mengubah air laut menjadi air tawar bisa menjadi solusi. Tetapi, desalinasi butuh ketersediaan listrik yang memadai. Hasil ikutan dari desalinasi, selain air minum, adalah munculnya industri garam. Daniel Tagudedo, yang merupakan calon gubernur yang berpasangan dengan Ignas, sudah memiliki roadmap pembangunan instalasi desalinasi ini yang terpadu dengan industri garam.

Solusi lain, kata Ignas adalah rain investing yaitu air hujan dari atap rumah disatukan dan ditampung dalam satu penampung. Lalu, dibuat filtering dan dijadikan air komunitas. Ini memang akan lebih effektif dilakukan di kompleks pemukiman dengan rumah-rumah yang padat.

Tiga persoalan di atas, menurutnya adalah kerja jangka pendek yang mendesak diselesaikan seorang gubernur dan wakil gubernur dalam lima tahun kepemimpinannya namun tetap dalam konteks serta mengacu pada rumusan mengenai economic prime mover dari wilayah tersebut.

Tetapi kerja jangka panjang yang melampaui periode tugas kepala daerah adalah soal pendidikan. Secara nasional, kata Ignas, kita melihat debat yang berkepanjangan tentang pendidikan ini. Bahkan menurut Ignas, definis mengenai pendidikan yang bermutu itu pun, masih belum disepakati oleh berbagai stakeholder pendidikan di tingkat nasional.

“NTT harus berani mendefinisikan apa pendidikan yang berkualitas bagi NTT. Dengan basis itulah, seluruh pembenahan di sektor itu dapat dilakukan secara lebih terarah. Tentu akan banyak detil yang mesti diperhatikan dalam persoalan yang rumit ini,”ujarnya. (PET/Floresa)

 

 

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini