Pembangunan di Labuan Bajo Abaikan Ketentuan Garis Sempadan Pantai

Baca Juga

 

Oleh : BERNADUS BARAT DAYA


Karut-marut masalah Pede belum kunjung usai. Kini, muncul pula proyek ‘Marina’ yang akan menggusur dan mengenyahkan gedung TPI (Tempat Penjualan Ikan). Pede dan TPI, hotel berbintang dan Marina. Keduanya berada di Labuan Bajo-Manggarai Barat.

Dalam tulisan singkat ini, saya hanya fokuskan kedua lokus persoalan ini dikaitkan dengan UU Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, sebagai pengganti atas UU Nomor 27 Tahun 2007. UU inilah yang mengatur tentang Garis Sempadan Pantai (GSP).

Pengertian GSP menurut UU ini adalah “daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat”.

Garis batas ini adalah bagian dari usaha pengamanan pantai yang dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari bahaya gelombang pasang tinggi (rob), abrasi, menjamin adanya fasilitas sosial dan fasilitas umum di sekitar pantai, menjaga pantai dari pencemaran, serta pendangkalan muara sungai. GSP juga berfungsi sebagai: pengatur iklim, sumber plasma nutfah, dan benteng wilayah daratan dari pengaruh negatif dinamika laut.

Sisi legalitas urgensi sempadan pantai sudah tersedia dalam berbagai perangkat peraturan, yaitu: UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang. UU No. 6/1996 tentang Perairan Indonesia. UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air. UU No. 16/2004 tentang Penatagunaan Tanah. UU No. 28/2004 tentang Bangunan Gedung. UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU No. 38/2004 tentang Jalan. PP No. 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Kepres No. 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dan berbagai Keputusan Menteri Sektoral/Teknis lainnya.

Dalam kasus pantai Pede, dimana kawasan itu sejatinya tidak dapat didirikan bangunan hotel yang permanen, karena kawasan itu berada dalam area sempadan pantai. Kawasan pantai Pede, dalam kenyataannya hanya berjarak di bawah 100 meter dari pasang tertinggi. Dan itu berarti, masih termasuk di dalam area sempadan pantai. Maka dalam konteks tanah pantai Pede, sejatinya tidak boleh membangun bangunan apa pun! Sama halnya dengan lokasi gedung TPI yang akan segera dilenyapkan dan diganti dengan berbagai bangunan dalam proyek Marina.

Yang kini belum tersedia justru mengenai pedoman penentuan batas sempadan pantai berdasarkan karakteristik pantai yang ada di Labuan Bajo. UU No. 1/2014 Pasal 31 menyatakan: “Pemerintah Daerah menetapkan batas sempadan pantai yang disesuaikan dengan karakteristik topografi, biofisik, hidrooseonografi pesisir, kebutuhan ekonomi dan budaya, serta ketentuan lain”. Penetapan batas sempadan pantai mengikuti ketentuan: (a) Perlindungan terhadap gempa dan/atau tsunami; (b) Perlindungan pantai dari erosi dan abrasi; (c) Perlindungan sumberdaya buatan di pesisir dari badai, banjir, dan bencana alam lainnya; (d) Perlindungan terhadap ekosistem pesisir, seperti lahan basah, mangrove, terumbu karang, padang lamun, gumuk pasir, estuaria, dan delta; (e) Pengaturan akses publik; serta (f) Pengaturan untuk saluran air dan limbah.

Banyak versi parameter yang digunakan untuk menentukan lebar batas sempadan. Diantaranya adalah yang menggunakan parameter seperti: arus laut, gelombang laut, tipe dan jenis pantai serta status ruang lahan. Khusus mengenai status lahan Ruang Wilayah Pantai dapat diuraikan bahwa status lahan di wilayah pantai sangat terkait dengan Perda RTRW wilayah setempat, dimana tata ruang itu sendiri adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. Sedangkan pola ruang, merupakan distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah/daerah.

Dari uraian di atas, dan dikaitkan dengan masalah yang terjadi di pantai Pede dan TPI, terdapat banyak hal yang perlu menjadi perhatian bersama, al: bahwa Bupati Mabar telah mengeluarkan Izin Lokasi, Izin Lingkungan dan bahkan IMB kepada PT SIM. Padahal, UU No. 1/2014 Pasal 17 disebutkan bahwa “Izin Lokasi diberikan berdasarkan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pemberian Izin Lokasi wajib mempertimbangkan kelestarian Ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil serta kepentingan masyarakat, nelayan tradisional. Izin Lokasi diberikan dalam luasan dan waktu tertentu. Izin Lokasi tidak dapat diberikan pada zona inti di kawasan konservasi, alur laut, kawasan pelabuhan, dan pantai umum.”

Selain itu, dalam Pasal 26A disebutkan antara lain “Izin harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: menjamin akses public, belum ada pemanfaatan oleh masyarakat lokal, memperhatikan aspek ekologi, sosial, dan ekonomi pada luasan lahan” Pada pasal 26A juga disebutkan “Yang dimaksud dengan “akses publik” adalah jalan masuk yang berupa kemudahan, antara lain: akses masyarakat memanfaatkan sempadan pantai. Akses masyarakat menuju pantai dalam menikmati keindahan alam dan akses masyarakat untuk kegiatan keagamaan dan adat di pantai”.

Dalam Pasal 17 disebutkan, “Pantai umum merupakan bagian dari kawasan pemanfaatan umum yang telah dipergunakan oleh masyarakat, antara lain, untuk kepentingan keagamaan, sosial, budaya, rekreasi pariwisata, olah raga, dan ekonomi”.

Dalam UU ini juga disebutkan secara jelas bahwa aspek ekologi adalah aspek-aspek yang mempengaruhi kelestarian lingkungan/ekosistem. Sedangkan aspek sosial adalah aspek-aspek yang mempengaruhi kehidupan (sistem sosial budaya) dari masyarakat lokal.

Pertanyaan pertama saya adalah, apakah Pemkab Mabar dalam mengeluarkan izin lokasi, izin lingkungan atau IMB, telah mempertimbangkan amanat UU Nomor 1 Tahun 2014 sebagaimana dikutip di atas? Rasanya, tidak!

Pemkab Mabar hingga saat ini belum pernah membuat peraturan khusus yang lebih operasional (Perda/Perbub) tentang garis sempadan pantai, sebagai tindak lanjut dari ketentuan UU tentang sempadan pantai yang sudah ada. Sebab UU memberi ruang kewenangan untuk itu. Kalaupun Pemkab Mabar belum membuat peraturan organik-operasional tentang garis sempadan pantai, maka yang harus menjadi rujukan utama oleh semua pihak, terutama oleh pemerintah daerah adalah aturan tentang batas garis sempadan pantai yang telah tercantum dalam UU yang sudah ada. Itu artinya, batasan sempadan pantai yaitu daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat, haruslah menjadi rujukan pokok dalam menyikapi kasus pantai Pede dan juga kasus TPI-Marina di Labuan Bajo.

Dilihat dari keadaan atau kondisi riil kawasan pantai Pede dan TPI, jelaslah bahwa kawasan itu sesungguhnya berada dalam area sempadan pantai. Jika pantai Pede dan TPI berada dalam area sempadan pantai, maka otomatis kawasan itu tidak dapat (tidak boleh) diizinkan bagi siapa pun untuk mendirikan bangunan permanen di atasnya. Pemberian izin oleh Pemkab Mabar kepada pihak investor, dengan demikian sebuah kesalahan atau pelanggaran serius terhadap amanat ketentuan UU Nomor 1/2014.

Memang dapat dimengerti ketika Pemkab Mabar harus membuat garis sempadan pantai sesuai ketentuan UU, yang tentu saja akan cenderung mengalami kendala teknis. Kendala itu misalnya dalam hal; bagaimana mungkin Pemkab Mabar menggeser bangunan beton bertingkat yang telah ada sebelumnya, seperti hotel-hotel yang sudah dibangun di sepanjang pantai Labuan Bajo, termasuk rumah-rumah penduduk warga lokal. Sebab jika konsisten dengan batasan garis sempadan pantai, maka konsekwensinya adalah sebagian perkampungan Bajo serta semua bangunan hotel-hotel yang berada di dalam area sempadan pantai, terpaksa harus dibongkar. Kemungkinan, inilah salah satu alasan mengapa Pemkab Mabar tidak berani membuat aturan pelaksana tentang batas garis sempadan pantai. Termasuk tidak berani menerapkan perintah UU tentang sempadan pantai.

Namun demikian, Pemkab Mabar juga tidak boleh membiarkan atau selalu bersikap permisif bagi investor yang hendak membangun hotel atau gedung-gedung berbeton baik di kawasan pantai Pede pun di lokasi pelabuhan TPI, yang jelas-jelas masuk dalam area sempadan pantai. Artinya, penerapan aturan sempadan pantai harus diberlakukan secara ketat bagi kawasan atau area yang belum terbangun, dan atau kawasan yang akan direncanakan akan dibangun. Itu pula berarti, bahwa Pemkab Mabar selayaknya tidak boleh memberikan Izin Lokasi atau IMB kepada pihak investor terutama di kedua kawasan itu.

Dengan perkataan lain, kalau Pemkab Mabar sulit membongkar bangunan yang sudah (terlanjur) ada, maka untuk Izin Lokasi dan IMB baru yang diajukan oleh pihak manapun, harus ditolak. Apapun rumus yang akan digunakan untuk menentukan batas sempadan pantai, seyogyanya mempertimbangakan ruang di sepanjang garis pantai yang merupakan wilayah sempadan pantai. Wilayah sempadan pantai harus diarahkan menjadi ruang publik yang dapat diakses dan dinikmati oleh publik. Selain itu, pemanfaatan ruang wilayah pantai diarahkan untuk mengakumulasi beberapa fungsi kawasan yang menghargai, menyatu dan memanfaatkan potensi pantai dengan tetap berprinsip terhadap fungsi kelestarian alam.

Apa yang dilakukan oleh Pemkab Mabar dalam kasus pemberian Izin Lokasi, Izin Lingkungan dan Izin Mendirikan Bangunan di lokasi sepadan pantai kepada investor, merupakan bentuk pengabaian atau pembangkangan terhadap amanat UU. Dalam bahasa saya, Pemkab Mabar dan mungkin juga termasuk kita semua telah dengan sengaja, ‘mengencingi’ UU Nomor 1 Tahun 2014.

Salah satu hal yang perlu dipertimbangkan oleh Pemkab Mabar dalam kaitannya dengan pengelolaan kawasan pantai Pede dan pelabuhan TPI oleh pihak swasta adalah bagaimana mengutamakan kebutuhan dari para pemangku kepentingan utama. Siapa itu pemangku kepentingan utama? Tak lain ialah masyarakat yang mempunyai kepentingan langsung dengan pantai Pede dan TPI itu. Lalu siapa masyarakat yang dimaksudkan itu? Pengertian masyarakat menurut UU meliputi masyarakat hukum adat, masyarakat lokal, dan masyarakat tradisional yang selama ini telah menjadikan pantai Pede sebagai tempat rekreasi umum, dan TPI sebagai tempat pertemuan masyarakat penjual ikan (nelayan) dan masyarakat pembeli ikan (petani/pegawai/dll).

Pemkab Mabar seharusnya tidak boleh mengabaikan aspek ini. Pengabaian terhadap kebutuhan masyarakat, akan berpotensi dapat ‘digugat’ oleh masyarakat di kemudian hari. Bukan tidak mungkin, pada waktu-waktu yang akan datang, bisa saja masyarakat akan melakukan Gugatan Perwakilan kepada Pemkab Mabar. Gugatan Perwakilan adalah gugatan yang berupa hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar dalam upaya mengajukan tuntutan berdasarkan kesamaan permasalahan, fakta hukum, dan tuntutan ganti kerugian. Mengingat pula bahwa kasus gugatan perwakilan semacam ini, telah pernah terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Hasilnya? Masyarakat menang!

Karena itu menurut hemat saya, kebijakan ini perlu sedari awal dikoreksi secara bersama-sama oleh semua pihak, baik jajaran Pemkab maupun kita sebagai rakyat Mabar. Sebab jika kita diam dan enggan mengoreksinya di awal, maka kita sesungguhnya tengah memberi beban kepada generasi yang hadir kemudian. Atau, kecuali jika kita sama-sama sepakat untuk langgar dan kencing pada UU ini.

Akhirnya saya ingin mengatakan, bahwa saat ini mungkin saja masyarakat ‘mengalah’ tetapi siapa tahu, besok atau lusa nanti, masyarakat akan benar-benar bisa bicara. Demikian pula saya, yang hari ini tak bertenaga, akan tetapi mungkin lusa nanti akan berdaya.

Penulis adalah warga Labuan Bajo, mantan Anggota DPRD Manggarai Barat dan kini sedang kuliah S3 Hukum di Jakarta

Terkini