Bupati Dula: Soal Tudingan Yudas Serta Status dan Pemanfaatan Pantai Pede

Floresa.co – Ada dua isu dalam polemik Pantai Pede di kota Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Pertama, soal kepemilikan. Berdasarkan dokumen sertifikat, saat ini tanah seluas sekitar 3,5 hektar itu adalah milik pemerintah Provinsi NTT.

Namun, menurut ketentuan Undang-undang No 8 tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Manggarai Barat, yang menyebutkan bahwa aset Provinsi NTT dan kabupaten induk, Kabupaten Manggarai yang ada di wilayah Managgarai Barat diserahkan ke Kabupaten Manggarai Barat, maka Pantai Pede seharusnya sudah menjadi milik Mabar.

Kini, 14 tahun berlalu, lahan ini belum juga diserahkan oleh Pemprov NTT.

Isu kedua adalah soal pemanfaatan aset. Beberapa orang berpedandapat, terlepas dari siapa pun pemilik Pantai Pede, selama itu masih milik pemerintah (daerah maupun pusat) pemanfaatnya untuk kepentingan masyarakat. Ada juga yang berpendapatan, aset itu harus menjadi milik Pemkab Mabar dahulu dan pemanfaatnya bukan untuk dibangun hotel pihak swasta tetapi 100% untuk tempat rekreasi masyarakat.

Selama ini, pantai Pede sudah menjadi arena rekreasi warga di Labuan Bajo dan Manggarai pada umumnya. Ada kekuatiran, ketika aset itu diserahkan ke pihak swasta untuk dibangun hotel, masyarakat setempat akan kehilangan ruang yang murah meriah untuk rekreasi.

Apalagi kenyataannya, beberapa area pantai di Labuan Bajo sudah ditutup untuk umum. Kalau pun hendak masuk, harus membayar. Dan, pemerintah daerah, seperti tak berbuat apa-apa dengan kondisi ini.

Alih-alih menjalankan perintah undang-undang No 8 tahu 2003, Pemprov NTT malah menyerahkan pengelolaan pantai Pede ke pihak swasta yaitu PT Sarana Inevstama Manggabar (PT SIM). Perusahaan ini akan mengelola Pantai Pede selama 25 tahun. Dan, saat ini, perusahaan tersebut sudah memulai proses pembangunan di lokasi.

Sementara di sisi lain, berbagai elemen masyarakat baik di Labuan Bajo maupun di Jakarta menentang rencana tersebut. Berbagai demostrasi dan audiensi dengan pengambil kebijakan telah dilakukan. Terakhir pada 29 Maret lau, demo dilakukan di Labuan Bajo dan Jakarta.

Di Labuan Bajo demo juga melibatkan sejumlah imam Katolik yang menentang  privatisasi Pantai Pede. Saat demo itu, demonstran mengusung peti dan salib bertuliskan “RIP Frans L” dan “RIP Gusti CD” sebagai simbol matinya nurani dua pejabat ini dalam merespon tuntutan masyarakat. Bupati Mabar, Agustinus Dula kemudian sempat mengecam imam Keuskupan Ruteng yang aktif dalam aksi itu dan menyebut mereka sebagai Yudas Iskariot.

Bagaimana persepsi Bupati Dula, pemegangpucuk pimpinan di Mabar atas polemik Pantai Pede ini, terutama soal pemanfaatan dan kepemilikan aset tanah tersebut serta responnya atas berbagai upaya penolakan, termasuk aksi unjuk rasa? Floresa.co telah melakukan wawancara melalui aplikasi saling berbalas pesan (chating) WhatsApp pada Jumat-Sabtu,  8-9 April 2017 . Teks yang disajikan di sini merupakan hasil editan, dengan tetap mempertahankan substansinya:

Floresa.co: Bapak menuding pastor yang terlibat demo tolak privatiasi Pede beberapa waktu lalu sebagai Yudas Iskariot. Saat ini, pernyataan itu menjadi polemik di media sosial.

Bupati Dula: Kon ta kraengba’ang e ngasang daku one salib weri keta. (Biar saja, bagaimana bisa, nama saya ada di salib). Saya (adalah) bupati yang bermitra dengan gereja. Guru-guru SDK, bangun ruang sekolah, kita bantu. (Juga) tahbis pastor dimana- mana, pesta perak, sumbang bangun gereja.  Cala hitup dian mitra hitu ta (Bukankah itulah baiknya bermitra)?

Floresa.co:  Atribut demo seperti itu mungkin lebih sebagai kritikan kepada bapak karena setuju dengan privatisasi Pantai Pede.

Bupati Dula: Saya jujur ite, gubernur sebagai pemerintah provinsi, sebagai pemilik tanah/lahan, mestinya sisi itu juga dilihat. Dan urusan perizinan itu tidak segampang dinilai orang atau pendemo. Rekomendasi AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) bukan tanpa proses dan lama. Semua ikut terlibat. Demikian pun sebelumnya, proses perubahan gambar dengan tata ruang pemanfaatan (di) dalam-nya, sampai ada ruang akses masuk pantai tanpa pagar.

Pidato Bapa Uskup (Mgr Hubert Leteng Pr) waktu acara sykuran pelantikan bupati dan wabup (Manggarai Barat) menegaskan “Untuk Pantai Pede tidak melihat siapa yang kerja, yang terpenting adalah akses publik”.

Floresa.co: Bagaimana dengan UU No 8 tahun 2003. Ada klausul dalam UU itu  yang berisi perintah menyerahkan aset milik kabupaten induk dan aset provinsi kepada kabupaten baru, Mabar? Hal ini diperkuat lagi dengan surat Menteri Dalam Negeri pada September 2016?

Bupati Dula: Betul. Saya rasa gubernur juga tahu. Apalagi bukan hanya Pede. Di Mabar juga banyak (aset provinsi). Kalau ikut napas UU itu, maka tidak ada tawar-menawar, provinsi harus serahkan. Tetapi kenyataan tidak. Inilah yang membuat kami pro aktif sejak tahun 2005 dengan menyurati pemerintah provinsi.

Floresa.co: Mengapa sekarang tidak ngotot lagi?

Bupati Dula: Sekarang tidak ngotot karena tuntutan pendemo dulu (terpenuhi), seperti tidak (ada) privatisasi, gambar ulang penataan peruntukan ruang, khususnya (untuk tempat) rekreasi dan ekonomi rakyat, harus ada akses (ke) pantai dan laut milik umum/masyarakat. Semua itu sudah dilayani.

Semua tuntutan itu diakomodir, lalu mulai proses perizinan. Proses AMDAL libatkan pendemo antara lain Pater Marsel (Agot), Fery Adu, Evan Rafael juga romo-romo. Tetapi akibat dengan perkembangan politik, maka tuntutan ini berlangsung terus dan protes meningkat menjadi penolakan. Pokoknya tolak, yang tentunya tidak melibatkan pendemo dulu lagi, kendatipun saat ini pendemo dulu masih juga ada lagi sekarang, orang tertentu.

Floresa.co: Perkembangan politik, maksudnya bagaimana?

(Jawaban atas pertanyaan ini diminta untuk off the record oleh Bupati Dula)

Floresa.co: Kembali ke perintah UU No 8 tahun 2003. UU itu kan memerintahkan pengalihan aset kepada Kabupaten Mabar?

Bupati Dula: Saya rasa semua itu dijalankan. Bukan oleh bupati loh. Dengan penuh mekanisme dan prosedur serta proses oleh pemerintah provinis tentu ada aturannya. Pemerintah provinsi berniat, dengan kewenangan yang ada, dia mau mengatur Pantai Pede. Jadi bentuk pengalihannya dengan metode kerja sama, berarti lahan tetap milik Pemprov dan memiliki jangka waktu.

Floresa.co: Pendapat bupati sendiri soal UU No 8 tahun 2003 pasal 13 bagaimana? Apakah aset Pantai Pede termasuk di dalamnya untuk diserahkan ke Pemkab mabar?

Bupati Dula: Saya sudah katakan tadi, bahkan bukan hanya Pede. Banyak di Mabar (aset provinsi). Juga tidak mungkin gubernur tidak tahu itu. Pasti tau. Tetapi aset-aset ini pasti belum diserahkan karena ada mekanisme. Contoh Pede diserahkan dan keluar dari aset provinsi, apa sudah disepakati oleh DPRD Provinsi? Karena aset provinsi, itu berarti milik pemerintah dan  DPRD. Pantai Pede kerja sama dengan pihak ke tiga (PT SIM), bukan tidak mungkin telah disetujui oleh DPRD Provinsi.

BACA Juga:Terkait Pede, Bupati Dula Punya Niat untuk “Lele Tuak” ke Lebu Raya

Dalam sikon (situasi kondisi) seperti ini timbul niat saya sebagai bupati. Dalam (bentuk) pertanyaan, kalau memang sudah jadi bangunan ini nanti, apakah saya tidak bisa ketemu gubernur saat itu nanti, “lele tuak sor monggo” agar aset Pede ini serahkan ke Pemkab Mabar?

Floresa.co :  Bagaimana dengan surat dari Menteri Dalam Negeri pada September 2016 itu yang memerintahkan pemerintah provinsi menyerahkan Pantai Pede ke Pemkab Mabar?

Bupati Dula: Surat Mendagri ini,  inisiatif dari pa Andre Garu,DPD RI. Kita harus berterima kasih, yang sebenarnya, saya juga bisa lakukan itu. Tetapi saya sudah yakin akan tetap mandeg. Ini bukan perintah (SK). Gubernur pasti sudah konsultasi dengan Mendagri.

Saya sendiri  pasti selalu konsultasi dengan gubernur dan direktorat  yang membidangi di Kemendagri. Dengan gubernur saya juga sudah mendapatkan klarifikasi dan peneguhan-pengeguhan. Juga (dari) ahli-ahli hukum di Jakarta. Mereka (ahli hukum di Jakarta) tidak bela kami, tetapi kami merasakan ada pencerahan.

Oh iya, surat Mendagri itu tetap ke Gubernur berarti tetap pro aktif itu dari gubernur dan saya yakin gubernur sudah memahami tentang hal itu. Bahwa, Mendagri lebih tinggi kedudukannya, menurut saya biar bagaimana pun tetap lewat gubernur. Tidak serta merta dieksekusi karena gubernur juga hadir dengan UU. Ada otoritasnya dengan segala perangkat peraturannya. Mendagri bukan bersurat ke Sekjen, Ditjen, atau stafnya di Kemendagri. Juga surat ini adalah surat biasa untuk memenuhi tuntutan pendemo.

Floresa.co: Tadi bupatimenyebutkan tuntutan pendemo soal akses ruang publik sudah dipenuhi dengan adanya perubahan gambar. Apakah ada jaminan PT SIM akan melaksanakan itu nanti bila fasilitasnya sudah dibangun? Apakah masyarakat bisa mengakses pantai Pede bebas, tanpa ada biaya?

Bupati Dula: Akses jamin ada, ke laut atau pasir. Bebas mandi bahkan nanti tidak lumpur tapi akan diciptakan terumbu karang yang cantik/indah. Mengapa terjamin? Karena perjanjian dan juga warga pasti protes. Warga yang mana? Ya, warga yang dulu demo pertama. Di pantai ada jalan setapak, ada untuk sepeda. Di pantainya ada fasilitas untuk disewakan. Kalau butuh makan minum, sudah siap warung. Ini semua akibat dari tidak adanya privatisasi.

Pungutan masuk Pantai Pede tidak ada. Tetapi dalam Pantai Pede ada stand-stand, (tempat untuk menjual dagangan), harus dibayar dengan uang sendiri. Rekreasi ke Pantai Pede itu boleh, asal tidak buat kotor/sampah. Mau berekreasi, berenang di kolam ya bayar. Mau sewa payung (turis) duduk di pantai, ada payung dijual warga. Mau duduk di fondasi yang sepanjang pantai nikmati laut, sunset itu tidak bayar. Tetapi waktu duduk itu butuh teh botol, silakan beli (di) stand milik warga.

Di Kuta Bali juga seperti ini. Mungkin juga akan ramai. Pede yang selama ini tempat gelap, muda/i pergaulan bebas, maksiat, pemakaian narkoba, mungkin kita tidak temukan lagi. (PTD/Floresa)

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini