Lebu Raya Diduga Kuat Terima Suap dari PT SIM

Floresa.coGubenur Nusa Tenggara Timur (NTT), Frans Lebu Raya diduga kuat sudah menerima uang suap dari PT Sarana Investama Manggabar (PT SIM), investor yang mengelolah lahan di Pantai Pede, Labuan Bajo, Manggarai Barat (Mabar).

Hal itu ditegaskan oleh Petrus Selestinus, Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dalam keterangan tertulis yang diterima Floresa.co, Jumat, 31 Maret 2017.

Dugaan adanya praktek korupsi itu juga sempat disuarakan Aliansi Mahasiswa Manggarai (AMANG) yang menggelar aksi unjuk rasa di Jakarta, Rabu, 29 Maret 2017.

Selain Lebu Raya, ada tiga orang penting yang patut diduga ikut mempengaruhi dugaan tindakan, yakni Bupati Mabar Agustinus Ch Dula, Dirut PT SIM Heri Pranyoto dan Ketua DPR RI Setyo Novanto, sebagai pemilik PT SIM.

Ia menegaskan, dugaan adanya suap untuk Lebu Raya didasari sejumlah pertimbangan, terutama kongkalikong dalam proses perjanjian Sewa Guna Serah lahan Pantai Pede.

Petrus menegaskan, PT SIM termasuk masih baru dalam bisnis kepariwisataan, berhubung didirikan dan disahkan sebagai perusahaan yang berbadan hukum pada tahun 2011.

Karena itu, perusahan itu, kata Petrus, harus dipandang belum memiliki jam terbang memadai dalam mengelola barang milik daerah untuk kawasan wisata Labuan Bajo yang bertaraf internasional.

Dalam kontrak dengan PT SIM, jelas dia, Lebu Raya juga masih menggunakan  Peraturan Pemerintah (PP) No 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah, yang sudah dibatalkan berlakunya, tetapi masih tetap dijadikan landasan dalam pembuatan perjanjian kerja sama.

“Sementara PP No. 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah, tertanggal 24 April 2014, sebagai PP yang menggantikannya tidak dijadikan dasar pertimbangan dalam perjanjian kerja sama pada tanggal 23 Mei 2014 itu,” jelas Petrus.

Hal yang lebih para lagi adalah tidak dimasukkannya sama sekali UU No. 8 Tahun 2003 tentang Pembentukan Pemda Manggarai Barat, yang dalam salah satu pasalnya mewajibkan Pemprov NTT menyerahkan aset miliknya yang ada di Mabar kepada Kabupaten Mabar pasca pembentukan kabupaten itu.

Berikut adalah PT SIM dijinkan untuk mengubah Sertifikat HP No. 3 dan No. 4 yang menjadi HGB dan PT SIM diberikan hak untuk menjaminkan sertifikat HGB  itu kepada lembaga keuangan atau bank.

“Padahal, ketentuan di dalam PP No. 27 Tahun 2014 melarang pihak pengelola menjaminkan obier yang disewa untuk dijadikan jaminan hutang (karena itu PP No 6 Tahun 2006 yang sudah dibatalkan tetap dipakai sebagai landasan),” katanya.

Frans Lebu Raya, jelas dia, juga menggaransi PT SIM bahwa lahan Pantai Pede tidak dalam sengketa dan bebas dari tuntutan hukum pihak manapun.

“Padahal, Lebu Raya sadar dan tahu bahwa masyarakat dan Pemda Mabar sejak Bupatinya Fidelis Pranda pada tahun 2003 tetap menuntut penyerahan Sertifikat Hak Pakai (SHP) yang dikuasai oleh Gubernur NTT,” jelas Petrus.

Hal lain, kata dia, tidak ada keterbukaan dari Lebu Raya tentang mekanisme perjanjian ke tangan PT SIM yang masih seumur jagung itu.

“Apakah melalui penunjukan langsung atau melalui mekanisme tender, karena PP No 27 Tahun 2014 mengharuskan mekanisme tender,” kata Petrus.

Dan, jelas dia, tidak ada klarifikasi tentang perubahan atau penerbitan SHP baru dari semula SHP No. 10 dan 11 menjadi SHP No. 3 dan 4 yang dilakukan oleh Gubernur NTT Frans Lebu Raya pada tahun 2012 dengan alasan SHP No. 10 dan SHP No.11 hilang.

Ia juga menilai, tidak adanya penjelasan atau penegasan di dalam perjanjian, apakah telah ada persetujuan DPRD atau tidak dan beban biaya terkait pengurusan ijin-ijin dan lain-lain menjadi beban pihak siapa.

“Padahal di dalam PP No. 50 tahun 2007, persoalan beban biaya dan persetujuan DPRD mutlak diperlukan karena menyangkut aset daerah yang dijadikan obyek perjanjian,” katanya.

Belum lagi, jelasnya, dalam perjanjian, pembayaran uang kontribusi dari PT. SIM dimasukkan melalui Rekening Gubernur NTT Frans Lebu Raya pada Bank NTT Nomor : 001.01.02.001018-7/G.

“Padahal, ketentuan Undang-Undang mengharuskan pembayarannya itu melalui rekening kas umum daerah,” tegas Petrus.

Dari kejanggalan dan kelemahan secara hukum dan penolakan publik yang merupakan suara moral bahkan merupakan hukum tertinggi, tetapi diabaikan oleh Lebu Raya, maka ia tidak punya pilihan lain, selain harus mengambil sikap untuk segera membatalkan perjanjian dengan PT. SIM dan menyerahkan lahan Pantai Pede kepada Pemda Mabar.

Perjanjian dengan PT SIM, kata dia, bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku dan mengandung itikad tidak baik, sehingga menjadi cacat hukum dan batal demi hukum.

“Konsekuensinya adalah Gubernur NTT, Frans Lebu Raya harus mengembalikan seluruh uang yang pernah diterima sebagai kontribusi dan uang-uang lainnya dari PT. SIM yang sudah sempat diterima (jika ada) dan membatalkan perjanjian kerja samanya dengan PT. SIM tersebut,” katanya.

“Jika Lebu Raya tidak mengembalikannya, maka ia akan menjadi orang pertama yang harus dimintai pertangungjawaban secara pidana maupun secara perdata guna mengembalikan lahan Pantai Pede sesuai ketentuan pasal 13 UU No. 8 Tahun 2003,” lanjutnya. (ARL/Floresa)

spot_img
spot_img

Artikel Terkini