Belajar dari Polemik Dana Pelantikan Kades Matim

Oleh: EVAN LAHUR

Beberapa hari terakhir, masalah yang berkembang di pemerintahan kabupaten Manggarai Timur (Matim), Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah terkait dana pelantikan kepala desa (Kades) yang dipungut dari setiap Kades sebesar Rp 1 juta.

Dari beberapa pembacaan berita di situs berita Floresa.co, berikut beberapa kesimpulan yang didapat. Pertama, alokasi anggaran makan minum belum dianggarkan di Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) kabupaten Manggarai Timur. Kedua, ada anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah kabupaten melalui Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) untuk pemilihan kepala desa (pilkades) sebesar 20 juta per desa.

Ketiga, DPMD dan sejumlah kepala desa terpilih sepakat untuk mengumpulkan uang untuk biaya pelantikan, dalam hal ini untuk membiayai makan dan minum. Dari ketiga kesimpulan ini, saya menyatakan bahwa ada catatan kritis yang perlu diberikan kepada dua pihak yakni kepala DPMD dan setiap kepala desa. Catatan kritis ini berdasarkan panduan yang tertera pada Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dan beberapa peraturan yang mengatur teknisnya.

Fokus ke Undang-undang

Fakta yang terjadi saat ini adalah kepala DPMD, Matim Paskalis Sirajudin menyatakan bahwa anggaran untuk makan minum tidak dianggarkan dalam APBD. Lebih lanjut dalam pernyataannya beliau menyatakan bahwa yang dianggarkan dalam APBD adalah biaya pelaksanan Pilkades di desa. Anggaran yang dimaksudkan telah dimasukkan dalam APBD sebesar 20 juta. Untuk poin ini, saya ingin fokus pada dua poin yakni makan minum dan pelantikan.

Pertanyaan saya ialah apakah poin makan minum ini tidak termasuk dalam poin pelantikan? Dalam kasus ini bagi saya, kepala DPMD tidak bisa membedakan antara poin makan minum dan pelantikan. Bagi saya secara pribadi makan minum menjadi satu kesatuan dengan seremoni pelantikan. Orang awam pun tahu, setelah pelantikan akan ada acara makan dan minum (resepsi). Sehingga ketika kepala DPMD membedakan anggaran antara makan minum dengan pelantikan, disinilah kekeliruan pertama yang menjurus kepada implikasi negatif selanjutnya.

Pertanyaannya ialah mengapa saya menempatkan dua poin ini? Pertama karena perintah Undang-undang jelas mengatakan bahwa biaya pelantikan dibiayai oleh APBD. Mari kita telusuri, pada Pasal 34 ayat 6 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dikatakan “Biaya pemilihan Kepala Desa dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota”. Dalam penjelasan ayat 6 ini dikatakan “Biaya pemilihan Kepala Desa dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota adalah untuk pengadaan surat suara, kotak suara, kelengkapan peralatan lainnya, honorarium panitia dan biaya pelantikan”.

Mari kita fokus pada penjelasan pasal 6 ini lebih khusus kepada dua kata terakhir yakni biaya pelantikan. Untuk poin ini jelas bagi saya bahwa biaya pelantikan kepala desa dibebankan kepada APBD. Pasal ini pun diperkuat oleh bunyi pasal 48 ayat 1 dan 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indoensia Nomor 112 tahun 2014 Tentang Kepala Desa yakni (1) Biaya pemilihan Kepala Desa dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota (2) Dana bantuan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa untuk kebutuhan pada pelaksanaan pemungutan suara.

Bagi saya, jelas bahwa biaya pelantikan Kepala Desa berdasarkan pada penjelasan di produk hukum tertinggi yakni Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dan diperjelas oleh peraturan di bawahnya yakni Peraturan Menteri Dalam negeri Republik Indonesia Nomor 112 ialah tanggung jawab pemerintah kabupaten melalui anggaran di APBD.

Yang terjadi di Matim adalah DPMD membedakan dua poin tadi yakni makan minum dan pelantikan. Hal inilah yang menjadi awal permasalahan yang terjadi. Pertanyaan dari saya ialah apakah dalam item anggaran Pilkades Periode 2017/2023 yang dianggarkan pada RAPBD Kabupaten Manggarai Timur 2017 telah dirincikan dengan biaya lainnya misalnya pelantikan, konsumsi (makan minum), keamanan, atau jenis perincian lainnya? Pertanyaannya ini pun dapat ditelusuri lagi pada perintah Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) huruf  c dan d Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Kepala Desa yakni ayat (1) Bupati/Walikota membentuk panitia pemilihan di Kabupaten/Kota. Ayat (2) huruf c berbunyi “menetapkan jumlah surat suara dan kotak suara” dan huruf d berbunyi “memfasilitasi percetakan surat suara dan pembuatan kotak suara serta perlengkapan pemilihan lainnya”. 

Untuk dua ayat ini akan memperjelas dua hal yakni pertama di tingkatan kabupaten terdapat panitia pemilihan, kedua panitia pemilihan ini berdasarkan perintah ayas (2) huruf c dan d (lengkapnya ayat (2) huruf a – g; bisa dilihat pada Pasal 5 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 112 Tentang Pemilihan Kepala Desa) akan bertugas merincikan berapa anggaran yang akan diterima oleh panitia pemilihan tingkat desa untuk penyelenggaraan pilkades.

Pertanyaannya kemudian adalah apakah panitia pemilihan di kabupaten/kota tersebut telah merincikan salah satu item pengeluaran dalam anggaran pilkades ialah pelantikan kepala desa; yang termasuk di dalamnya ialah makan dan minum? Dua pertanyaan ini menjadi penting untuk menelusuri rekam jejak perbedaan dua poin tadi yakni makan minum dan pelantikan.

Dari dua pemetaan ini dapat saya simpulkan bahwa pertama, di item anggaran Alokasi Pilkades periode 2017/2023 RAPBD Kabupaten Manggarai Timur tahun 2017 tidak dirincikan mengenai alokasi anggaran tersebut misalnya untuk makan minum, keamanan atau rincian lainnya. Karena hal ini jelas, berdasarkan pernyataan dari kepala DPMD, alokasi pelantikan sudah termasuk dalam alokasi pilkades. Namun sayangnya, bagi saya beliau sudah terlanjur membedakan antara makan minum dan pelantikan sehingga jelas, perincian anggaran pelantikan yang sediahnya termasuk makan dan minum tidak dimasukan dalam RAPBD tahun 2017.

Kedua, jika menengok tugas panitia pemilihan di Kabupaten pada ayat (2) huruf c dan d tadi maka panitia pemilihan tingkat kabupaten/kota pun demikian, tidak melakukan perincian alokasi dana pilkades ke setiap desa tadi. Ketiga, jika menengok pada penjelasan ayat 6 pada pasal 34 Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 Tentang Desa jelas bahwa salah satu biaya pemilihan kepala desa (dalam kasus kabupaten Manggarai Timur alokasi Pilkades sebesar 20 juta) ialah biaya pelantikan, mudah saja menyelesaikan perkara ini jika dua poin tadi yakni makan minum dan pelantikan menjadi satu yakni item pelantikan yang kemudian dirincikan misalnya biaya makan minum, keamanan maupun rincian lainnya. Namun hal ini tidak terjadi, maka lahirlah kesepatakan antara kepala DPMD dan kepala desa terkait dana 1 juta.

Dana Rp 1 juta? Mungkinkah?

Dari penjelasan yang telah dijelaskan sebelumnya, saya pun mulai masuk kepada hal ikwal dana 1 juta ini. Dari berita yang saya baca, terjadi kesepakatan antara DPMD dan kepala desa bahwa akan dipungut biaya 1 juta dari masing-masing kepala desa terpilih untuk anggaran makan minum saat pelantikan. Untuk hal ini saya fokus kepada kata kesepatakan.

Mari kita telusuri, benar jika khayalak umum mempertanyakan apa dasar hukum kesepakatan ini? Jika kepala DPMD dapat menyampaikan dasar hukum saya pikir fair untuk pungutan ini. Namun ketika perintah Undang-undang pasal 34 ayat 6 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 mengisyarakat biaya pelantikan menjadi wilayah kabupaten dalam hal ini APBD maka kesepakatan tersebut adalah ilegal.

Mengapa saya katakan ilegal? Karena pertama bertentangan dengan pasal 34 ayat 6 Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang desa tadi. Bahwa biaya pilakdes termasuk dalam biaya pelantikan. Apakah kepala DPMD masih tetap keukeh biaya makan dan minum terpisah dengan biaya pelantikan? Kedua, dana yang dipungut oleh kepala DPMD berdasarkan kesepakatan berasal dari kantong para kepala desa terpilih. Jelas sumber dana adalah pribadi. Coba bayangkan, pungutan dana pribadi dari dasar hukum yang salah apakah itu bukan termasuk ilegal.

Parahnya lagi adalah kepala desa terpilih belum dilantik sehingga ia bukan pengguna anggaran desa. Kas desa pun masih di bawah wewenang sekretaris desa sebagai pejabat sementara hingga kepala desa terpilih dilantik dan disahkannya RAPBDes. Hal ini tentu jalan terjal bagi kepala desa terpilih jika menggunakan jalur formal sehingga mau tidak mau menggunakan dana pribadi, jelas sebuah kesalahan. Sehingga bagi saya, kesepakatan ini ilegal. DPMD melakukan blunder.

Pelajaran ke depan

Bagi saya, apa yang dilakukan oleh DPMD ini perlu ditinjau kembali oleh dinas yang bersangkutan. Pemangku kebijakan tertinggi dalam hal ini Bupati perlu meminta klarifikasi dari kepala DPMD. Untuk itu beberapa catatan berikut hendaknya dapat diperhatikan oleh dua pihak yakni DPMD dan setiap kepala desa. Untuk DPMD, hendaknya di pelaksanaan pilkades periode berikutnya perlu melakukan perincian pengeluaran anggaran yang akan dialokasikan dalam pilkades. Jika dalam kasus ini dana pelantikan maka perlu juga dirincikan pengeluaran apa saja yang terdapat dalam item pelantikan di alokasi dana pilkades.

Sekali lagi, DPMD perlu memperhatikan hal ini.  Untuk setiap kepala desa, pertama hal sederhana yang ingin saya katakan ialah milikilah buku panduan peraturan perundang-undangan mengenai desa. Mulai dari Undang-undang hingga peraturan menteri. Jangan sampai akibat tekanan psikologi dari pemerintah kabupaten, logika hukum pada peraturan perundang-undangan mulai kabur. Untuk itu, miliki, bacalah, tafsirlah dan laksanakanlah perintah undang-undang yang berbicara mengenai desa.

Kedua, saya akan menjelaskan hal mendasar yang perlu bapak/ibu ketahui. Permasalahan yang terjadi mengenai pungutan ini merupakan cara pandang kuno dari pemerintahan kabupaten terhadap desa. Yakni pemerintah masih melihat pemerintah desa sebgai wilayah administrasi dan organisasi pemerintahan paling kecil, paling bawah dan paling rendah dalam hirarki pemerintahan di Indonesia. Sehingga wajar, usulan mengenai anggaran makan minum yang disampaikan oleh kepala DPMD (“berpikir bahwa kepala DPMD ini atasan kami”) harus dipatuhi dan dilaksanakan.

Cara pandang ini harus diubah dengan berpemoan pada dua asas yakni asas rekognisi dan asas subsidiaritas sebagai dua asas penguat cara pandnag desa baru. Sutoro Eko mengatakan bahwa makna rekognisi berarti negara mengakui dan menghormati identitas, adat istiadat serta pranata sosial dan kearifan lokal sebagai bentuk dindakan untuk keadilan kultural (2014-19). Sehingga dalam kasus ini, pemerintahan kabupaten harus mengakui dan menghormati kewenangan maupun susunan pemerintahan desa. Untuk asas ini, pelajaran pentingnya ialah pemerintah desa harus berani mengambil peran secara mandiri dalam menjalankan tugas pemerintahan desa.

Tak perlu lagi harus tunduk patuh pada kabupaten jika hal tersebut tidak sesuai ketentuan perundangan. Asas kedua ialah subsidiaritas yakni pemerintah tidak melakukan campur tangan (intervensi) dari atas terhadap kewenangan lokal desa melainkan melakukan dukungan dan fasilitasi terhadap desa. Sehingga bagi saya, desa harus percaya diri untuk membangun desa. Dalam perkara berdesa, tidak ada istilah pemerintahan paling tinggi ialah kabupaten dan pemerintahan paling rendah ialah desa. Bagi saya, dua asa ini sangat tepat untuk membangun semangat berdesa bagi seluruh kepala desa terpilih dan warga desa secara umum. Slebih dari pada itu, saya ingin mengucapkan selamat menjalankan tugas bagi para kepala desa terpilih.

Semoga catatan kritis ini bisa menjadi arahan berpikir bagi DPMD dan kepala desa terpilih. Salam Pemberdayaan dan semangat Berdesa

Penulis adalah anggota Kelompok Studi Tentang Desa (KESA),  mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Pemerintahan Desa STPMD “APMD” Yogyakarta

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini