DPR: Rumah Aspirasi atau Istana Banalitas Korupsi

Oleh: DONI KOLI

Kisah tentang praktek korupsi di lembaga DPR memang tak pernah habis. Betatapun besarnya usaha memangkas korupsi oleh para elit di Senayan, toh korupsi kian menggurita.

Hasil survei Global Corruption Barometer (GCB) baru-baru ini menyebutkan, pada 2016 DPR merupakan lembaga terkorup di Indonesia. Survei yang dilakukan selama 26 April-27 Juni 2016 itu dengan 1.000 responden dilakukan di 31 provinsi se-Indonesia. Indikator penilaiannya ialah persepsi dan pengalaman masyarakat terkait korupsi (Kompas, 8/03/2016).

Hasil survey GCB ini terbukti representatif lewat menjamurnya scandaleum korupsi di Senayan. Salah satunya terkonfirmasi lewat korupsi pengadaan KTP elektronik tahun anggaran 2011-2012 yang riuh dipersoalkan akhir-akhir ini.

Ada banyak oknum anggota DPR yang terlibat. Ada pemain kondang yang tak asing lagi dengan kasus-kasus korupsi. Ada pula pendatang baru.

Faktum negativitas di atas menandakan bahwa korupsi telah menggurita dalam tubuh DPR. Ia berwajah elitis, riskan terjadi, kontinual, masif, sistemik, diperankan banyak aktor, sulit dienyahkan dan tentunya menuntut pengorbanan besar untuk melawannya.

Korupsi menjadi pengganggu bagi upaya demokratisasi dan mendistorsi budaya politik yang bermartabat. Parahnya, patologi tersebut tumbuh subur dalam tubuh DPR, lembaga representatif yang seharusnya menjadi wadah militansi aspirasi rakyat.

Lantas, kita perlu bertanya, mengapa korupsi sedemikian kuatnya mencengkeram para elit politik di DPR? Apa akar epistemisnya? Mengapa ia amat susah diperangi dan acapkali tak terbendung berhadapan dengan resistensi lembaga-lembaga anti-korupsi?

Istana Banalitas Korupsi

Hannah Arrendt, filsuf perempuan keturunan Yahudi dalam bukunya The Origins of Totalitarianism, Eichmann In Yerusalem, pernah menurunkan laporan mencengangkan seputar sidang pengadilan Eichmann, petugas deportasi jutaan umat Yahudi yang dibantai rezim Nazi.

 

Laporan tersebut mencengangkan pembacanya, karena menurut Arrendt, Eichmann bukanlah seorang penjahat dalam locus yang sebenarnya. Dalam arti, ia tidak memiliki karakter jahat dan tidak pula dibayangi motif dendam dalam melakukan tugasnya.

Sebaliknya, Eichmann adalah seorang warga negara yang patuh, cerdas dan taat aturan. Loyalitas inilah yang disalahgunakan oleh pemimpin Nazi.

Yang salah dari Eichmann adalah bahwa ia tercerabut dari ia otonomi keberpikiran berhadapan dengan otoritas penguasa. Ia kehilangan kemampuan berimajinasi. Arrendt menyebut fenomen ini sebagai banalitas, jenis kejahatan yang baru ditemukan pada abad 20.

Hal ini menyebabkan Eichmann buta akan pelbagai pertimbangan rasional serta moral-etis dalam bertindak. Eksesnya pun fatal. Ia tak menyadari efek loyalitasnya serta mengalami distorsi yang akut dalam menilai korban. Jutaan umat Yahudi tak dilihat lagi sebagai manusia yang bermartabat. (Reza A. Watimena, 2012: 111-116).

Tesis Arrendt terkait banalitas kejahatan sangat boleh jadi kongruen dengan kiprah para koruptor di Indonesia.

Sebagaimana kita ketahui para elit politik yang terlibat korupsi adalah orang yang cerdas, sadar hukum, berpendidikan dan bukan penjahat dalam artinya yang sebenarnya.

Para koruptor sebenarnya mengidap sindrom banalitas kejahatan. Mereka kehilangan daya keberpikiran.

Keberpikiran di sini tampak pada usaha untuk berbicara pada diri sendiri, berimajinasi tentang akibat tindakan serta menempatkan kriterium moral-etis di balik tindakan.

Kehilangan kemampuan berpikir demikian menjadi semakin mungkin ketika elit politik masuk dalam sebuah sistem koruptif yang sistemik, disokong oleh konspirasi, dan didukung oleh parpol.

Korupsi pun dianggap sahih sambil berkilah di bawah payung loyalitas pada sistem. Negativitas korupsi seperti pengabaian kepentingan rakyat dan pelabrakan terhadap politik yang bermartabat niscaya menjadi nihil.

Akar epistemis ini hemat saya menjadi adekuat berhadapan dengan faktum mengguritanya korupsi di Senayan yang polanya seringkali berjemaah dan sistemik. Lantas, DPR tidak lagi menjadi rumah bagi perjuangan aspirasi rakyat. Ia menjadi istana yang strategis bagi praktek korupsi yang kian banal.

Tegas Lawan Korupsi

Faktum mengguritanya korupsi di DPR menuntut upaya resistensi yang tentunya tidak ringan. Sikap dan cara yang ditempuh tak lain adalah dengan tegas melawan korupsi.

Pertama, cara yang strategis dan konkret dimainkan oleh lembaga seperti KPK, ICW, relawan, insan pers dan kelompok yang memiliki kepedulian melawan korupsi.

Survei GCB juga melaporkan bahwa kinerja pemerintah oleh responden dalam memberantas korupsi mengalami peningkatan. Data statistik menunjukkan angka 65%. Capaian ini naik signifikan dibandingkan laporan GCB pada 2013 yang bertengger pada angka 16 % (Kompas, 8/03/2016, hal. 15).

Sehingga, sudah seharusnya pemerintah perlu melindungi dan menjamin otoritas strategis kelompok-kelompok ini dalam memerangi korupsi.

Salah satu contoh yang nyata adalah dengan menolak sebagian tuntutan pada revisi UU KPK No 30 tahun 2002 usulan DPR yang terindikasi mengancam posisi KPK dan militansi KPK dalam memerangi korupsi.

Pemerintah diharapkan dapat secara tegas melindungi otoritas dan militansi KPK yang mulia ini dari usaha melanggengkan korupsi.

Kedua, tegas menolak elit politik yang koruptif. Penolakan di sini dapat berbentuk sanksi sosial. Misalnya, dengan tidak memilih elit politik yang sudah pernah terlibat skandal korupsi.

Selain itu, dalam bentuk yang paling eksistensial, usaha melawan korupsi dapat dilakukan dengan menumbuhkan semangat anti korupsi.

Jika ini diupayakan, maka di kemudian hari, lembaga seperti DPR tidak lagi disebut sebagai istana yang strategis bagi upaya koruptif, tetapu rumah tempat perjuangan aspirasi rakyat, politik serta demokrasi yang bermartabat.

Penulis adalah mahasiswa STFK Ledalero, tinggal di Ritapiret

spot_img

Artikel Terkini