Manusia Lebih Penting dari Tanah

Oleh: Milin Kowa

Beberapa hari terakhir ini media massa ramai memberitakan kasus pembunuhan yang terjadi pada Senin, 16 Januari 2017 di Mencerite desa Tanjung Boleng, kecamatan Boleng, kabupaten Manggarai Barat. Dalam kasus ini dua orang (Don dan Alo) tewas dibunuh, sementara tiga orang lainnya berhasil menyelamatkan diri. Mereka adalah penjaga tanah milik seorang warga Australia bernama Robert. Motif sementara kasus ini adalah masalah tanah.

Kasus bermotif tanah bukanlah suatu hal yang baru terjadi kemarin atau hari ini. Kasus ini sudah terjadi bertahun-tahun lamanya. Orang rela mempertaruhkan nyawanya hanya demi tanah dan bahkan “dengan tahu dan mau” harus membunuh lawannya. Nampaknya dari kasus-kasus seperti ini, orang cenderung melihat nilai tanah lebih berharga dan lebih tinggi daripada nilai seorang manusia sebagai imago Dei.

Manusia hanya dilihat sebagai barang yang mesti disingkirkan agar tidak menghalangi tujuan yang hendak dicapai. Pertanyaannya, di mana dan ke manakah hati nurani manusia di saat-saat seperti itu (membunuh)?

Tulisan ini tidak bermaksud untuk mempersalahkan pihak manapun, tapi tulisan ini dibuat sebagai bahan refleksi bagi kita semua untuk kritis melihat situsi yang sedang kita alami. Biarkan hukum yang berbicara dan menentukan siapa yang bersalah dalam kasus-kasus seperti ini.

 Tanah dan Harga Diri

 Manusia adalah makhluk yang berakal budi, sehingga ia mampu melihat dan mengolah realitas kehidupannya secara utuh. Hal inilah yang membedakan manusia dengan makhluk cipataan lainnya. Karl Max menggambarkan manusia sebagai satu-satunya spesies yang dapat bekerja (Konrad Kebung, 2008: 122). Sebagai makhluk yang dapat bekerja, manusia mampu mengolah lingkungannya sesuai dengan kebutuhannya. Kemampuan ini tentu diperoleh melalui kapasitas intelek yang dimilikinya. Untuk dapat bekerja maka manusia membutuhkan lahan (tanah). Tanah adalah dasar pijakan bagi setiap orang untuk dapat hidup. Tanpa tanah orang tidak akan bisa membangun sesuatu (sekolah, rumah, kebun, pabrik, dll).

 Dalam mempertahankan tanah, orang Jawa menggunakan konsep sedumuk bathuk senyari bumi. Tanah akan dipertahankan sampai darah penghabisan (Nur Syam: 2009, 161). Bagi mereka tanah adalah sesuatu yang sangat berharga, sehingga harus dipertahankan walaupun raga dikorbankan. Konsepsi orang Jawa ini mungkin tidak berbeda jauh dengan konsep kita orang Flores. Bagi kita tanah adalah suatu harga diri. Kita rela membuat perang tanding hanya untuk mempertahankan tanah. Tanah seolah-olah dilihat sebagai benda hidup yang harus dijaga dan dipertahankan untuk generasi selanjutnya.

Memang harus diakui bahwa tanah bisa memberikan banyak manfaat untuk kehidupan, namun karena tingkat egoisme manusia yang begitu tinggi, tanah terkadang dan bahkan sering direduksi sebagai pembawa masalah. Ketika orang mulai memperebutkan tanah, maka sarana yang dipakai adalah kekerasan. Seharusnya sebagai makhluk yang bermoral dan menjunjung tinggi hukum, pertimbangan moral dan hukum harus menjadi prioritas utama. Kekerasan bukanlah satu-satunya cara untuk mendapatkan tanah. Kekerasan hanya akan membawa kehancuran. Kita hidup dalam ranah hukum dan biarkan hukum yang menyelesaikan persoalan tersebut.

Kita tidak bisa mempersalahkan bahwa tanahlah yang membuat hidup kita rusak (mati). Tanah tidak mempunyai kaki tangan. Ia tak dapat berbicara. Ia hanya bisa memberikan dari apa yang ia sediakan. Ia adalah benda mati. Kita mesti sadar bahwa kita sendirilah yang telah membuat semuanya rusak. Tanah tidak akan dipertentangkan seandainya ada komunikasi yang baik, adil, dan menguntungkan di antara kita.

 Keinginan untuk Menguasai

 Kahlil Gibran seorang penyair Lebanon dalam syairnya berujar demikian “Anakmu bukanlah milikmu/ mereka milik sang hidup/ yang rindu pada dirinya sendiri. Apabila formulasi kalimatnya diubah “dia/mereka bukanlah milikmu/ mereka milik sang Hidup/ yang rindu pada dirinya sendiri”, maka dapat dilihat dua relasi utama yakni antara Tuhan dan manusia. Tuhan adalah pencipta dan sekaligus pemilik manusia. Manusia hanyalah partner Tuhan dan sesamanya dan Tuhan tidak pernah memberikan otoritas khusus kepada manusia untuk menjadi penguasa atas sesamanya. Manusia hanya diberi otoritas untuk menjaga dan merawat lingkungan dan mengasihi sesamanya.

Manusia adalah ciptaan Tuhan yang diciptakan menurut gambar dan rupanya sendiri (Imago Dei), sehingga sedari kodratnya semua manusia itu sama. Tidak ada superioritas di antaranya, hanya manusia sendirilah yang menciptakannya atas dasar kekuasaan. Pencaharian akan kekuasaan tidak akan pernah berhenti karena keinginan manusia yang tak terbatas. Thomas Hobbes dalam bukunya Leviathan menggambarkan relasi antara keinginan dan kekuasaan. Untuk mencapai apa yang diinginkan, maka harus ada kekuasaan.

Tindakan manusia yang menghilangkan nyawa sesamanya adalah suatu bentuk keinginan manusia untuk menguasai sesamanya. Dengan kekuasaan yang dimilikinya manusia cenderung untuk menjadi tuan atas sesamanya. Feodalisme pun terlahir kembali. Dalam contoh kasus di atas, yang menjadi objek keinginan adalah tanah, sehingga satu-satunya cara untuk memperoleh kembali hak atas tanah adalah memiliki kekuasaan. Kekuasaan itu adalah kekerasan yang sangat irasional. Maka yang berlaku adalah hukum rimba “siapa kuat dia menang” .

Bagi Hobbes penggunaan kekerasan hanya akan terjadi apabila setiap orang tidak menggabungkan diri dalam suatu komunitas (negara). Dalam komunitas itu akan ada hukum, sehingga kekuasaan untuk memenuhi keinginan akan dibatasi. Dasar utama dari semuanya itu adalah pertimbangan moral dan nilai kemanusiaan. Apabila kekuasaan yang digunakan melampaui nilai kemanusiaan, maka dilihat sebagai suatu pelanggaran dan harus diberi sanksi. Dan itulah keberadaan utama dari hukum, menjaga sekaligus mengawasi agar semua orang tidak bertindak melampaui batas. Indonesia adalah negara yang berlandaskan hukum, maka biarkan hukum yang menanganinya (sengketa tanah). Ketika orang menggunakan kekerasan maka dengan tahu dan mau orang tersebut menyangkal sebagai anggota negara yang memiliki hukum.

Satu-satunya cara untuk mencegah penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan kasus tanah adalah duduk bersama dalam suasana kekeluargaan. Pihak yang bermasalah mesti sama-sama berunding untuk mencari jalan keluar yang terbaik. Dan juga harus diakui bahwa hal ini memang sangat sulit untuk dijalani, akan tetapi rantai kekerasan tidak akan bisa dipatahkan apabila tak ada kesepakatan damai dan menguntungkan antara kedua belah pihak.

Semua orang mesti sadar bahwa tanah bukan lagi soal harga diri atau kekuasaan, tapi tanah harus dilihat sebagai tempat untuk bisa merajut kebersamaan sebagai saudara. Tanah memang penting, tapi yang paling penting dari semua itu adalah kebersamaan sebagai saudara. Nilai tanah bisa dipatok dengan harga, tapi nilai kebersamaan dan manusia itu sendiri tak akan pernah bisa dipatok dengan harga apa pun. Manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling luhur. Sekali kita melukai dan membunuh sesama, di saat itu pulalah kita mengkhianati Tuhan sebagai Pencipta. Oleh karena itu, hargailah hidup (manusia)! Bukan tanah!

Penulis adalah Mahasiswa tingkat III STFK Ledalero tinggal di Ritapiret

 

spot_img

Artikel Terkini