Surat Perpisahan Untuk Tahun 2016

Baca Juga

Oleh: INOSENTIUS MANSUR

Teruntukmu sahabat karibku, tahun 2016 terkasih…

Pertama-tama, saya sampaikan selamat berjumpa untukmu. Sedih sekali rasanya, karena kita memasuki saat-saat terakhir kebersamaan ini. Inilah epilog kisah tentang kasih yang dirajut dalam kebersamaan dan tertulis begitu romantis dalam jejak hidup antara kita.

Betapa saya sedih, karena kamu akan pergi dan tak akan kembali lagi. Sebentar lagi, kamu seakan menghilang ditelan badai. Yang bisa kulakukan adalah mengenangmu melalui semua kisah tentangmu.

Saya hanya bisa merekonstruksi kenangan bersamamu dan berharap itu dapat menjadi “anamnese” dan memoria, ingatan akan dikau. Ya, kamu akan pergi. Saya di sini, akan terus melanjutkan hidup.

Tetapi, sanggupkan saya melanjutkan hidup tanpamu lagi? Apa artinya aku tanpamu? Kalau saja engkau pergi untuk kembali, maka perlu engkau ketahui bahwa tidak ada yang bisa saya lakukan selain menantimu.

Ah, sahabat terbaikku. Saya galau, rindu, sedih. Saya coba berjalan melintasi lorong dibalik bilik, sekadar melepas rasa, berharap rindu-damba kepadamu cepat berlalu.

Beberapa kali saya melintasi etalase di sela-sela lorong sepi, sambil menatap langit, berharap ingatan akan dirimu pergi bersama langkahku. Tetapi, dugaanku salah. Semakin saya berusaha untuk melupakanmu, semakin saya sadar bahwa saya tidak bisa melupakanmu. Kamu memang tak pantas untuk dilupakan, karena kamu memiliki segalanya untuk dikenang.

Tahun 2016, sahabat terbaiku…

Tahukah kamu bahwa saat menulis catatan ini, hatiku bergetar tak karuan, jemariku gemulai, air mataku berderai bagai tetes-tetes embun, merasa sedih atas perpisahan ini. Tahukah kamu betapa gemuruh riuh-nya rasa dalam sanubariku, menolak perpisahan ini? Dadaku sesak, nafasku terengah, tersengat rasa rindu dan diserang sedih yang amat mendalam. Apa daya, kita memang ditakdirkan untuk berpisah.

Memang, terkadang saya ingat akan refleksiku tentang perpisahan: “jangan sedih akan perpisahan, karena setelah berpisah kita mungkin akan bertemu. Yang patut kita sedihkan adalah pertemuan, karena setelah pertemuan pasti ada perpisahan”.

Namun kali ini, saya tak bisa menyangkal “keterpukulan” hatiku atas perpisahan ini. Ini memang kejam. Ya, terkadang saya harus menyadari bahwa realitas itu sedih-radikal mungkin juga menyakitkan.

Ia mengambilmu untuk pergi dan meninggalkanku tanpa harus mengetahui betapa ini membuatku “patah hati”. Kamu akan pergi, dan aku akan selalu diserang rasa rindu yang menggebu.

Tahun 2016, sahabatku…

Saya menyadari bahwa selama ini, seringkali melakukan kesalahan-kesalahan yang mungkin saja menyakitimu. Saya seringkali mengabaikan waktu yang telah engkau sediakan bagiku. Dari awal Januari sampai akhir Desember, engkau selalu menemaniku. Tak sedetikpun engkau berlalu dariku.

Tetapi, saya tidak menggunakan semua waktu ketika ada bersamamu secara bertanggung jawab. Saya selalu sibuk dan menyibukan diri dengan hal-hal nirmakna. Saya lebih fokus pada tindak-tanduk destruktif daripada melakukan hal-hal positif.

Ironisnya, saya selalu mempersalahkanmu jika segala pekerjaan terbengkelai dengan mengatakan: “tidak ada waktu”. Padahal, waktu-mu selalu ada untukku. Ya, meskipun engkau tak pernah memisahkan diri dari saya, tetapi faktanya acapkali saya enggan melakukan hal-hal konstruktif saat kita berada bersama.

Saya mengalienasi diri darimu seolah-olah ada sekat yang memisahkan aku darimu. Saya tak mengafirmasi diri sebagai ens sociale secara baik dan enggan hidup berdasarkan etika dan norma sosial. Saya juga tak mengejawantahkan diri sebagai makhluk religius secara tepat. Saya “bagai hidup segan dan mati tak mau”.

Kelahiran Yesus di kandang Betlehem tidak memberi efek restoratif bagi eksistensi saya. Kini, saya menyesal telah mengabaikanmu. Ya, bukan hanya perpisahan yang kutangisi kini, tetapi pertemuan pulalah yang kesesali.

Sahabatku, Tahun 2016…

Doakan saya, sahabatmu ini yang selalu salah kaprah. Doakan saya, agar segala segala kekhilafan seperti yang engkau alami tak terulang lagi. Semoga saya bisa ber-transformasi diri. Semoga karena diinspirasi oleh semangat Natal, dalam diri saya, lahirlah mental revolusioner dan semangat membaharui diri.

Semoga kelahiran Putera Manusia, yang merupakan asal-muasalmu juga – sang Logos Abadi – membantu saya menjadi manusia baru. Semoga seperti Chairil Anwar, buatlah saya selalu berujar: “Tuhan di Pintu-Mu Aku mengetuk, aku tak bisa berpaling”.

Doakanlah saya, kepada Yesus – Sang Junjungan Ilahi – agar saya menjadikan Dia sebagai “jalan kenaran dan hidup”. Sebab Dia sendiri pernah berkata: “Akulah jalan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yoh. 14:6).

Saya memang seringkali mengikuti jalan lain selain Dia, sebagaimana engkau sendiri saksikan selama ini. Bantulah saya, agar seiring dengan perpisahan yang maha menyedihkan ini, saya bisa berubah ke arah positif. Engkau tak ada lagi di sini, dan saya harus menjalani semuanya sendiri.

Saya harus bisa tanpamu, meskipun saya merasa tak bisa apa-apa. Sebagaimana kata pepatah: “tempora mutantur et nos mutamur in illis” (waktu berubah dan kita ikut berubah di dalamnya), semoga momentum perpisahan ini menjadikan saya memaknai perubahan waktu untuk melakukan perubahan-perubahan revitalitatif.

Semoga saya tidak seperti sayap-sayap patah yang terkulai terbang tanpa arah dan tak dapat kembali, melainkan mendapat pertolongan Tuhan agar senantiasa belajar dari kegagalan masa lalu.

Saya tahu bahwa, “buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskannya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkannya, tetapi dengan setia ia akan menyatakan hukum” (Yes. 42:3).

Dibalik itu, saya juga tahu meskipun engkau pergi, tetapi engkau tak akan pernah melupakan saya, sebagaimana saya juga amat sulit melupakanmu. Ingatlah daku dan selipkanlah aku dalam doamu agar di tahun 2017 nanti (entah waktu itu engkau berada di mana), saya menjadi orang yang menghayati hidup secara sungguh-sungguh.

Semoga di tahun 2017 nanti, segala ironi tentang hidup tidak saya ulangi lagi dan sebisa mungkin menghindari setiap jebakan yang menjerat saya untuk ber-“khilaf”. Semoga saya menjadi pribadi unggul, yang tak hanya memperhatikan kehebatan pada kemasan artifisial, tetapi terutama unggul karena menjabarkan esensi kemanusiaan secara baik.

Doakanlah saya, agar menggunakan waktu untuk mengaktualisasikan diri sebagai makhluk sosial, politik, budaya dan religius secara serentak dan sinkron. Semoga sukacita Natal mendorong saya untuk berperilaku etis-elegan dan bertindak sesuai tupoksi. Semoga saya bisa menjadi terang yang membantu sesama agar menjauhkan segala prasangka yang berpotensi menciptakan keretakan sosial, mendekonstruksi kesakralan kehidupan keluarga, selalu ingat diri, kontra publik dan berbagai hal negatif lainnya.

Doakanlah saya, agar bisa bersama-sama dengan yang lain mendesain tata kehidupan sesuai konsesus kolektif dan tidak membiarkannya didegradasi oleh kepentingan-kepentingan parsial-pragmatik.

Tahun 2016, Sahabatku…

Sekian panjang saya menulis rasa ini, tetapi tak pernah bisa membuat ingatanku tentangmu pudar. Kini saya tahu bahwa kamu memang istimewa. Cerita tentangmu akan selalu tertulis pasti dan kubawa sampai ajal menjemput dan mataku tertutup untuk selamanya.

Sebagaimana kata Amir Hamzah, “kaulah kandil kemerlap, pelita jendela dimalam gelap”. Kamu memiliki segalanya dan aku hanya menghabiskan segala yang kau miliki secara sia-sia belaka. Darimu saya belajar menghemat waktu, mengoptimalkan momentum dan mempergunakannya untuk hal-hal positif. Selamat berpisah sahabatku.

Disertai derai air mataku yang kian menetes serta mata hatiku yang tak sanggup menatapmu pergi. Maafkanlah deraian air mata ini yang tak sanggup membendungmu pergi dan tak mampu mencegah perpisahan ini.

Dariku, yang selalu merindukanmu.

Penulis adalah pembina di Seminari Tinggi Diosesan Ritapiret-Maumere.

Terkini