Wawancara Suster Virgula SSpS: “Percaya Sepenuhnya Kepada Tuhan”

Floresa.co – Nama Sr Virgula Schmitt SSpS (87) sangat akrab bagi sebagian besar orang Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Biarawati Katolik asal Jerman itu memang memiliki jasa besar dalam karya pelayanan di bidang kesehatan.

Karyanya dimulai sejak tahun 1965, dengan sebuah balai pengobatan atau poliklinik.

Tak lama kemudian, ia merintis Pusat Rehabilitasi Kaum Difabel dan Kusta St Damian dan Rumah Sakit St Rafael – keduanya terletak di Cancar, ibukota Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai.

Tidak hanya itu. Panggilan dan kepeduliannya yang besar, mendorong ia mendirikan pusat rehabilitasi serupa di Binongko, Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, dengan nama sama St Damian.

Selama 43 tahun atau separuh hidup biarawati kelahiran  3 September 1929 itu diabdikan di tempat-tempat itu.

Karena alasan usia dan kesehatan, pada tahun 2014, ia kembali ke biara induk SSpS di Steyl, Belanda, tempat ia menetap hingga kini.

Menarik bahwa di tengah sumbangsihnya yang besar, suster ini dikenal sebagai sosok yang low profile.  Ia selalu meminta agar namanya tidak dibesar-besarkan, karena itu publikasi tentangnya sangatlah kurang.

Beruntung, pada Minggu 16 Januari 2011, Yosep Min Palem, salah satu penulis buku tentang sejarah 50 tahun Pusat Rehabilitasi St Damian, berkempatan merekam percakapan dengan Sr Virgula di Rumah Arnoldus, Binongko.

Kala itu, Sr Virgula mengingatkan, “Jangan tulis tentang saya, kecuali saya ‘sudah tidak ada”. Dan, Yosep mengartikan peringatan itu demikian: Sr Virgula mengijinkan publikasi tentangnya, setelah ia tidak lagi berada di Indonesia.

Hasil wawancara itu kemudian dimuat dalam buku “Ziarah PembebasanMengenang 50 tahun Pusat Rehabilitasi Kusta-Cacat st. Damian Cancar, Manggarai, Flores, NTT” yang terbit tahun ini, sebagai kado istimewa di ulang tahun emas pusat rehabilitasi itu.

Cover buku 50 tahun Panti Reghabilitas Kusta dan Difabel St Damian, Cancar. (Foto: Ist)
Cover buku 50 tahun Panti Reghabilitas Kusta dan Difabel St Damian, Cancar. (Foto: Ist)

Pada Kamis, 2 Desember 2016 kemarin dan Sabtu esok, anak-anak dari Pusat Rehabilitasi St Damian Cancar dan Binongko menggelar pentas seni di Labuan Bajo untuk memperkenalkan kehidupan mereka kepada publik, mendorong tumbuhnya kesadaran untuk peduli serta menggalang dana demi membantu biaya hidup mereka.

Bertepatan dengan momen itu, Floresa.co, memilih memuat ulang rekaman wawancara Yosep Min dengan Sr Virgula, yang berisi kisah awal ia merintis karyanya, sekaligus hal-hal apa yang menyertai upayanya selama 50 tahun mendedikasikan hidup bagi orang-orang kecil.

Berikut petikannya, di mana di beberapa bagian mengalami perubahan redaksional.

YM: Bagaimana suster melihat karya besar yang sudah dilaksanakan ini?

VS: Ini karya Tuhan sendiri, bukan karya saya. Saya bukanlah orang hebat atau orang pintar yang layak dibukukan. Saya melaksanakan apa yang Tuhan mau. Tiap pagi saya selalu berdoa, ”Tuhan tunjukkan apa yang Engkau kehendaki untuk saya lakukan hari ini dan bantulah aku untuk dapat melaksanakannya”.

Jadi, kalau Tuhan mau, kita tidak mampu menolaknya. Saya tidak merasa cemas atau takut sedikitpun, karena saya yakin, Tuhan ada bersama saya. Saya yakin dan alami sendiri bahwa Tuhan tidak mungkin melepas kita.

Kuncinya, kita percayakan diri kita kepada-Nya. Tuhan harus berada di tengah kehidupan dan karya kita, bukan di pinggiran.

Apakah suster merasakan hal itu sebagai mujizat Tuhan?

Benar. Banyak mujizat yang saya alami dalam hidup ini. Mujizat pertama, Yance (anak yatim pertama ia rawat) bisa hidup.

Padahal, ia lahir prematur dengan berat 600 gram. Kami bantu dia secara darurat. Cairan infus pakai air hujan yang disaring. Banyak mujizat lainnya yang menunjukkan bahwa Tuhan selalu membantu pada waktunya.

Pernah Yance bersama temannya bernama Mariani pada saat usia 4-5 tahun menyampaikan kepada saya di poliklinik bahwa susu habis. Tanpa saya suruh, mereka berdua pergi berdoa di kapel. Satu orang berdoa di depan patung bunda Maria dan satu lagi berdoa di depan tabernakel. Doa mereka, “Kami kehabisan susu, tolong kami!” Lalu mereka menukar posisi dan mendoakan hal yang sama.

Kebetulan, saya lewat di luar kapel dan mendengar doa mereka. Saya merasa terharu dan yakin Tuhan pasti menolong. Dan, jadilah. Pada malam itu, datang satu truk membawa susu kiriman dari Eropa melalui ekspedisi di Ruteng, lengkap dengan alamat pengirim di Jerman.

Saat saya berlibur ke Jerman dan menghubungi alamat tersebut untuk menyampaikan terima kasih, mereka katakan bahwa mereka tidak pernah mengirim susu dan tidak mengenal alamat tersebut, tempat pusat rehabilitasi St Damian Cancar.

Dan banyak lagi mujizat lain. Misalnya, saat kami membutuhkan sesuatu seperti obat, pakaian, makanan, atau fasilitas lainnya, ada ada saja bantuan, terutama dalam bentuk uang yang nilainya sama dengan yang dibutuhkan. (Suster kemudian bercerita tentang pembangunan kolam renang hidroterapi di Binongko, mendapat bantuan uang dari donator persis sebesar biaya yang dibutuhkan dan juga fasilitas lainnya).

Berarti dalam hidup ini suster tidak pernah mengeluh?

Benar. Kami tidak pernah mengeluh. Dalam kekurangan yang kami alami, tidak pernah ada yang meningggal karena kelaparan maupun ketiadaan obat.

Walaupun kami makan makanan yang sederhana seperti ubi, jagung rebus, gandum sisa pembuatan hostia, kami tetap sehat, bergembira, dan bersyukur. Belum pernah ada yang meninggal karena kelaparan.

Fasilitas sederhana kami tetap pakai untuk membantu orang-orang sakit dan difabel. Misalnya, belum ada gips, kami pakai bamboo sebagai alat terapi untuk meluruskan kaki dan punggung  dan berhasil.

Saya pernah dicap bisa menghidupkan orang mati. Itu terjadi di wilayah Boleng, Manggarai Barat. Ada wabah kolera dan satu pasien yang sudah sekarat karena kehabisan cairan tubuh.

Kami bantu dengan infus air hujan dan pasien itu bergerak kembali. Bantuan dari dr Gouw sebagai satu-satunya dokter di Manggarai dalam kurun waktu 16 tahun sangat luar biasa.

Bagaimana kisahnya sampai suster membuka pusat rehabilitasi kusta?

Ada satu pasien orang kusta yang dibuang keluarganya di hutan dan didapat oleh seorang imam Fransiskan dan kemudian membawanya ke Poliklinik St Rafael Cancar, tempat saya bekerja. Saat pastor itu membawa pasien itu ke hadapan saya, saya kaget dan tertegun. Tubuhnya penuh dengan luka dan rambutnya panjang tak terurus.

Saat itu, saya tidak tahu mau buat apa. Tapi, saya terima pasien tersebut dan merawat sesuai kemampuan kami.  Lalu, saya minta bantuan kepada keluarga di Jerman dan mereka membantu saya. Dukungan mereka sangat luar biasa. Sejak saat itu, tahun 1966, pelayanan orang kusta dipisahkan dari Poliklinik St Rafael.

Apa saja yang menjadi prinsip hidup suster?

Walau serba kekurangan, satu prinsip yang saya dapatkan dari ibu saya adalah “Tidak boleh berutang. Hiduplah dari kekurangan dengan penuh rasa syukur”.

Karena itu, dalam mengelolah keuangan di lembaga ini, prinsip yang dipegang adalah kejujuran. Usahakan tidak boleh berutang, walaupun ada dalam kekurangan. Hidup dari apa yang ada.

Tuhan akan membantu, kalau itu memang sesuai dengan kehendak-Nya.

Apa yang menjadi kunci dalam pelayanan suster?

Kalau kita memiliki semangat dan melihat kehadiran Tuhan dalam orang-orang yang datang berkunjung, maka tidak ada masalah.

Kadang-kadang, saat saya sibuk, lalu tiba-tiba ada orang yang datang mau bertemu. Sering suara hati menyuruh supaya saya menemui orang tersebut. Mungkin ada rencana Tuhan melalui orang tersebut.

Bagaimana pendekatan yang digunakan dalam mendampingi para pasien?

Kita perlu membangun kegembiraan dan optimism dalam diri mereka. Karena itu, saat rekreasi, usahakan supaya semua bisa bergembira. Setiap orang diharapkan bisa menyumbangkan acara, apapun bentuknya.

Dengan demikian, setiap orang bisa berbuat sesuatu untuk menggembirakan orang lain walaupun hanya dengan “meraung” sambil tetap berbaring di atas kreta.

Saat rekreasi, kami melempar manisan untuk diperebutkan. Dan situlah tercipta suasana kegembiraan.

Selain itu, diusahakan supaya ada piknik tahunan maupun setelah  beberapa tahun, entah mengunjungi paroki tertentu maupun piknik ke pantai, sehingga pasien merasakan udara luar.

Kami pernah membawa orang-orang kusta dan kaum difabel meyaksikan satu sirkus di Ruteng.

Pasien yang bisu kami bawa juga karena sadar walaupun mereka tidak bisa omong dan mendengar, namun bisa menyaksikan acara tersebut.

Apakah suster juga perna merasakan kekecewaan?

Tentu. Ada juga kegagalan, terutama anak-anak yatim yang susah diatur atau kemudian mengalami kegagalan dalam hidup.

Itu mungkin karena kurang mengalami cinta kasih dari orang tua. Apalagi kalau merasa ditolak atau dibuang oleh keluarga. Saya merasa kecewa tetapi akhirnya bisa memahami kenyataan ini.

Apa yang suster timba dari pengalaman “ada” bersama kaum difabel ini?

Kaum difabel bisa menjadi misionaris. Ada cahaya tersendiri yang terpancar dari wajah mereka yang membuat orang bertobat dan mengalami kegembiraan. Ada satu orang yang sering putus asa dalam hidup. Begitu melihat wajah Merlin atau Anus yang terbaring terus di atas kereta dan bermain-main dengan mereka, orang muda itu akhirnya sadar, betapa ia sia-siakan hidupnya selama ini. “Mereka yang begitu saja, tetap bergembira, apalagi saya yang tubuh utuh dan sehat ini,” kata pemuda tersebut.

Ada juga satu bapa keluarga yang hidup imannya begitu-begitu saja, akhirnya betekad untuk hidup secara baru setelah menyaksikan wajah para pasien yang menyungging senyuman.  Ada cahaya istimewa yang terpancar dari wajah mereka.  Jadi, mereka juga misionaris yang membuat orang bertobat sehingga keyakinan saya bahwa semua orang berguna, apapun keadaannya.

Apa pengalaman unik yang dialami?

Saat tiba di Cancar tahun 1965, ada pengalaman unik dalam melayani pasien. Ini akibat belum bisa berbahasa Indonesia, baik saya maupun pasien.

Kami memakai penerjemah seorang guru agama dari Rai, Cancar. Ia menerjamahkan ucapan pasien ke Bahasa Indonesia dan Sr Saveriana SSpS menerjemahkannya ke dalam Bahasa Jerman.

Saya bingung karena si guru agama katakan, pasien dipukul setan di pinggang dan di kepala. Maksudnya ada rasa ditusuk-tusuk di pinggang dan di kepala. Mereka yakin, itu sakit karena dipukul setan atau roh jahat.

Bagaimana strategi pemberdayaan orang kusta dan difabel?

Selain terapi medis, juga yang penting adalah terapi kerja.  Latih orang-orang kusta dan difabel untuk bisa berbuat sesuatu, bisa membantu dirinya sendiri.

Saya tidak mau orang-orang kusta dan yang difabel menjadi pengemis atau bergantung pada orang lain.

Bagaimana suster melihat masa depan lembaga St Damian Cancar?

Yang penting adalah kejujuran dan jaga kepercayaan orang yang memberi bantuan. Gunakan bantuan orang seperti apa yang dikehendaki oleh orang tersebut. Dan, buat laporan penggunaan uang tersebut lengkap dengan kuitansinya.

Namun ,yang paling penting adalah hidup doa. Percaya sepenuhnya pada Tuhan karena Dia tidak mungkin melepas kita. Uang memang penting tetapi bukanlah yang terpenting.

Dari pengalaman, walau dalam serba kekurangan tetapi kami tidak pernah melarat sama sekali. Gunakanlah segala sesuatu yang ada untuk bisa berbuat sesuatu. Dahulu, kami bertahan walau uang serba kurang. (Suster bercerita tentang orang-orang dekatnya, yang belasan tahun bersama dia, berjalan mengelilingi Manggarai dengan berkuda untuk menyadarkan masyarakat akan hidup yang sehat sekaligus mencari orang kusta. Mereka sering diberi honor yang sangat kecil, tetapi mereka ikhlas menerimanya karena melihat dan merasakan sendiri situasi dan kondisi yang ada).

Apa pesan suster kepada para penerus?

Usahakan supaya lembaga St Damian ini bisa mandiri. Enam belas tahun kami mendapat pakaian, obat-obatan, susu, dan bahan makanan lain dari Eropa.

Pakaian kami jual untuk mendapatkan uang atau kami tukar dengan air, sayur, ubi, pisang dan sebagainya. Tetapi. Hal itu kemudian dilarang pemerintah. Lalu kami putar otak.

Kami kontrak lahan orang di Lembor, di Golo Nawang, dan di Kuwu, dan di tempat lain untuk menanam sayur, ubi, dan jagung ataupun kontrak sawah untuk menanam padi. Tuhan membantu kita. (Yosep Min/Greg/ARL/Floresa)

spot_img

Artikel Terkini