Flores, Timor, dan Praktek Toleransi Beragama

Floresa.co – Orang Flores bertoleransi agama salah satunya dengan cara sederhana, dalam sajian makan. Mayoritas orang Flores beragama Katolik. Pada saat yang sama, kebanyakan orang Flores yang Katolik memiliki saudara dalam satu pohon keluarga, atau bahkan keluarga dekat yang beragama Islam. Paling tidak, mereka punya tetangga yang beragama Islam.

Suku sama, adat juga sama, tapi agama beda. Meski begitu, mereka saling menghormati. Dan yang paling sederhana bagaimana mereka bertoleransi dalam urusan makan. Dalam tradisi masyarakat Flores, ketika mereka punya hajatan, hampir pasti mereka menyembelih babi. Tentu, muslim yang taat menghindari makanan yang mengandung babi karena umat Islam meyakini babi haram. Namun, tetamu muslim tak perlu khawatir. Si empunya hajat hampir pasti menyediakan dari jenis daging hewan yang tak haram. Biasanya sapi, kerbau, atau kambing.

Didakus Wungubelen, warga Kabupaten Sikka, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur mengatakan, menyediakan makanan halal bagi  tetamunya yang muslim dalam pesta hajatan, merupakan bagian dari menjaga persaudaraan. Didakus penganut Katolik, dan ia menyatakan memiliki saudara dan tetangga yang muslim. “Ketika saya punya hajat, saya menyembelih babi, dan juga menyembelih sapi. Penyembelihnya dan yang memasak sapi adalah saudara dan tetangga yang muslim,” kata Didakus, Kamis 13 Oktober 2016. Ia bekerja di jasa persewaan mobil di Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka.

Menurut Didakus, meski telah menjadi kebiasaan dalam tradisi Flores berpesta dengan menyembelih babi, tak ada kewajiban warga Flores yang muslim untuk menyembelihnya. Warga Flores muslim yang punya hajat cukup menyembelih sapi, kerbau, atau kambing yang memang halal. “Kami memahami keyakinan saudara-saudara saya yang muslim,” kata Didakus.

Beruntung, alam Flores mendukung untuk menjaga adat dan toleransi dalam hidangan di meja makan.  Berkeliling ke desa-desa di Sikka, dan Kabupaten Ende misalnya, banyak sapi yang dipelihara penduduk dengan cara dilepas di ladang. Biar tidak lepas jauh dari pengawasan pemilik, biasanya sapi, kerbau, atau kambing induk ditambatkan di satu lokasi, dan yang lainnya akan beredar mencari pakan tak jauh dari situ. Terik dan hujan, ternak ini mereka biarkan hidup di alam terbuka.

Cara orang Flores memelihara sapi dan kerbau mirip dengan di daerah lain di Nusa Tenggara Timur, dilepas di ladang, tidak dikandangkan. Ada yang dilepas liar dengan cara sapi induk ditambatkan. Ada juga yang dilepas-liar tanpa tali sama sekali. Ini beda dengan kebanyakan orang Jawa yang memelihara ternak sapi dan kerbau dengan cara dikandangkan. Sehingga, di peternak harus “repot” mencari rumput atau pakan lainnya.

Babi dan sapi

Cara tak repot beternak di Flores bisa dilihat pada Kepala Desa Tanali, Kecamatan Wewaria, Kabupaten Ende, Dominggus Gema Galgani. Pria 46 tahun ini mengatakan bagi orang Flores, menghormati keyakinan saudara yang lain, terutama muslim, telah terinternalisasi ke masing-masing orang. Mereka tahu apa yang harus dilakukan, tanpa harus berdebat atau berisik tentang akidah. “Banyak saudara-saudara kami yang muslim, orang Flores asli,” katanya.

Dominggus telah dua periode menjadi kepala desa. Seorang anaknya berkuliah di Yogyakarta dan belum lama diwisuda. Seorang lagi sekolah di Kota Ende. Perlu setidaknya tiga jam perjalanan mobil dari desa itu ke jantung kota Ende. Tak jauh dari rumahnya, rencana akan dibangun rumah sakit pratama milik pemerintah Kabupaten Ende.

Ia tinggal di rumah sederhana. Seperti halnya kebanyakan orang desa di Flores, aset mereka umumnya berupa kebun dan binatang ternak.  Dominggus memiliki 20 sapi dan 50 babi yang hidup lepas di ladang. Jadi, kata Dominggus berkelakar, kalau punya hajat tinggal menyembelih ternak piaraan sendiri. “Tinggal mengambil sapi dan babi dari ladang lalu disembelih buat kami hidangkan ke saudara-saudara kami,” kata Dominggus.

Di Kupang, pada Minggu 16 Oktober 2016 berlangsung pesta pertunangan perempuan berlatar belakang suku Tionghoa Kupang dengan pria Jawa asal Yogyakarta. Pertunangan sepasang calon pengantin Katolik ini berlangsung di Restoran Oriental Kupang. Setelah upacara ringkas dan berdoa dengan tata cara Katolik, pembawa acara mempersilakan makan tetamu.

Ia memberi petunjuk makanan di meja makan yang ada di pojok depan merupakan makanan yang mengandung babi. Sedangkan di meja makan lain yang ada di pojok dekat pintu keluar, terhidang makanan yang tidak mengandung babi. “Yang tidak halal enak, yang halal juga enak bersertifikat halal,” kata pembawa acara.

Calon pengantin pria menjelaskan, banyak kerabat dan teman calon mertuanya yang muslim. Semua tamu harus dihormati. Itulah sebabnya, keluarga calon pengantin perempuan menghidangkan makanan halal. “Semua enak, coba saja semua,” kata calon pengantin pria. Ia bercanda pada temannya yang muslim.

Dinas Peternakan Nusa Tenggara Timur mencatat, memelihara sapi, kerbau, babi, kambing, dan ayam kampung telah menjadi tradisi sejak lama. Pemerintah Hindia Belanda memasukkan sapi Madura ke Pulau Flores, dan sapi Bali ke Pulau Timor pada tahun 1912. Peternakan sapi ini untuk memperkuat ekonomis masyarakat. Dalam catatan pemerintah Hindia Belanda, pada tahun 1915 jumlah sapi yang masuk ke Nusa Tenggara Timur sebanyak 234 ekor.

Pemerintah Hindia Belanda juga memasukkan 608 ekor sapi jenis Ongole dari India ke Pulau Sumba pada tahun 2014. Sapi ini untuk dikembangkan di Sumba, dan selanjutnya sebagian diangkut ke Jawa untuk mengangkut hasil pertanian dan perkebunan. Kini, sapi ini dikenal dengan sebutan Sapi Ongole Sumba. Setelah merdeka, pada dekade 1970-an, pemerintah Orde Baru memasukkan sapi jenis Brahman dari Australia.  Selain itu, pemerintah juga mendatangkan kuda dari Australia untuk diternakkan di Nusa Tenggara Timur. (Tempo.co/ARL)

spot_img

Artikel Terkini