Lebu Raya Gusur Identitas Budaya dan Hak Masyarakat Tradisional Mabar?

Oleh: PETRUS SELESTINUS

Polemik Pantai Pede akhirnya sampai di Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. Setelah mempelajari kasus dan mendengarkan keterangan dari berbagai pihak yang terlibat dalam polemik Pantai Pede, Mendagri kemudian memutuskan bahwa Pantai Pede adalah aset Pemerintah Manggarai Barat.

Mendagri pun menerbitkan surat yang meminta Pemprov NTT menyerahkan Pantai Pede ke Pemda Mabar.

Namun, Gubernur NTT Frans Lebu Raya belum memenuhi permintaan Mendagri untuk menghentikan kegiatan privatisasi Pantai Pede dan segera menyerahkan ke Pemda Mabar. Langkah FLR ini telah mengabaikan peran dan tanggung jawab negara di bidang ekowisata. 

Di satu pihak, FLR abai melakukan konservasi, pelestarian, pengakuan dan penghormatan terhadap identitas budaya beserta hak-hak masyarakat tradisional yang masih hidup.

Di lain pihak, FLR mengabaikan hak masyarakat untuk mendapatkan perlindungan, pelestarian dan pemberdayaan sosial, ekonomi dan budaya sesuai dengan tujuan ekowisata.

Langkah FLR ini merupakan kebijakan mengelola pemerintahan dengan cara yang “tidak beradab”. Pasalnya, tidak mengedepankan pendekatan berdasarkan penghormatan terhadap kearifan lokal atau tradisi masyarakat sesuai dengan kewajiban negara menurut Pasal 18 huruf b UUD 1945.

Langkah FLR ini pada gilirannya akan memutus  pertalian antara masyarakat tradisional dengan identitas budayanya di satu pihak dan dengan hak  wisatawan domestik dan internasional  yang hendak berinteraksi dengan lingkungan alam dan masyarakat tradisional setempat di pihak yang lain. 

Padahal unsur masyarakat, wisatawan dan keadaan alam yang eksotis tidak boleh dipisahkan satu dengan yang lain, bahkan harus saling melengkapi dan berjalan beriringan.

Frans Lebu Raya seharusnya mengedepankan dialog  bersama tokoh masyarakat dan tokoh gereja di “rumah gendang” sebagai simbol kekerabatan masyarakat adat dalam menyelesaikan segala perbedaan pendapat yang terjadi. 

Dengan menempatkan pola pendekatan secara tradisional, maka tujuan ekowisata untuk mengkonservasi lingkungan tradisional, melestarikan identitas budaya lokal dan pemberdayaan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat lokal tetap mendapatkan tempat terhormat.

Dampaknya, nilai-nilai ekowisata di Manggarai Barat tidak tergerus oleh sikap pemerintah yang arogan, feodalistik dan bertentangan dengan prinsip hukum adat, konstitusi dan demokrasi.

Kasus lahan Pantai Pede, telah menempatkan FLR sebagai biang kerok merusak ekowisata Manggarai Barat. FLR membiarkan aksi demo  menolak kebijakan privatisasi lahan Pantai Pede, tanpa memberikan solusi sebagai sebuah pertanggungjawaban dari pemerintahan yang beradat, beretika dan beradab.

FLR justru tetap kokoh menyerahkan hak pengelolaan Pantai Pede melalui kerja sama “Bangun Guna Serah” kepada PT. SIM. FLR memilih menghadapi masyarakat Manggarai Barat dengan pendekatan kekuasaan semata-mata, tanpa membangun dialog yang sesuai  dengan tradisi masyarakat Manggarai Barat, dengan mengambil tempat di “Rumah Gendang” sebagai simbol kesatuan masyaraka adat Manggarai dalam menyelesaikan setiap perbedaan pendapat.

Langkah FLR ini sama artinya dengan  tidak menghormati bahkan tidak mengakui tradisi dan identitas budaya masyarakat adat Manggarai.  Ini adalah tontonan yang tidak menarik bagi generasi muda,  bagi wisatawan domestik dan internasional, karena ternyata Gubernur Frans Lebu Raya berada pada posisi merusak program ekowisata pemerintah. Ini sebagai pembiaran dan pengabaian tanggung jawab negara terhadap kepentingan masyarakat dan mengganggu kenyamananan masyarakat.

Kebijakan Gubernur dan Bupati Manggarai Barat telah melanggar hukum adat, menegasikan identitas budaya dan tradisi masyarakat Manggarai yang harus dihormati, seperti kata nenek moyang kita, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung.

Masyarakat dan Mendagri meyakini betul bahwa lahan Pantai Pede adalah aset masyarakat yang harus dikelola oleh Pemda  Kabupaten Manggarai Barat. Kebijakan pengelolaannya sepenuhnya menjadi tanggung jawab bersama antara masyarakat dan Pemda Kabupaten Manggarai Barat, demi kepentingan masyarakat banyak. 

Gubernur Frans Lebu Raya, tidak boleh secara sewenang-wenang menempatkan lahan Pantai Pede sebagai aset Pemprov NTT. Kemudian menyerahkan pengelolaannya secara diam-diam kepada PT. SIM tanpa sosialisasi maksimal dan tanpa memberi ruang partisipasi masyarakat apalagi dilakukan dengan cara melanggar hukum.

Keprihatinan tokoh gereja dan tokoh masyarakat Manggarai Barat bertolak dari fakta bahwa kebijakan privatisasi lahan Pantai Pede jelas merugikan kepentingan masyarakat, terlebih tidak berpihak kepada kepentingan menjaga dan menghormati tradisi masyarakat adat sebagai identitas budaya yang harus dijunjung tinggi.

Pemerintah bahkan sama sekali tidak melibatkan partisipasi masyarakat sebagai elemen penting di dalam usaha kepariwisataan. Sehingga tindakan memprivatisasi lahan Pantai Pede, harus dipandang sebagai kebijakan yang bertujuan untuk menggusur identitas budaya dan hak masyarakat adat yang berupaya mempertahankan jati dirinya sesuai dengan jaminan yang diberikan oleh UUD 1945,  UU Kepariwisataan dan UU Lingukungan Hidup.

Tidak adanya kebijakan untuk melindungi masyarakat adat dan identitas budaya lokal dan tidak adanya perlindungan yang memadai terhadap kearifan lokal dari upaya pihak ketiga terkait pengambilalihan pemilikan tanah milik warga melalui jual beli, kerja sama dll. secara bebas tanpa kendali, telah mengakibatkan rakyat kecil di Manggarai Barat kehilangan tanah-tanah adat, kehilangan identitas budayanya yang tanpa mereka sadari bahwa tindakan menjual tanah miliknya itu hanya akan menciptakan kemiskinan baru secara struktural.

Bahkan tradisi masyarakat Manggarai Barat akan punah akibat masuknya unsur luar yang dominan di tengah kerentanan masyarakat menghadapi perubahan dari luar yang melampaui daya tahan dan daya saing ekonomi masyarakat. Akibatnya eksotika Manggarai Barat secara pelan tapi pasti akan punah dan kondisi ekowisata yang telah diprogramkan menjadi sia-sia.

Masyarakat Manggarai Barat akhirnya bertanya-tanya, untuk kepentingan siapakah Gubernur NTT Frans Lebu Raya dan Bupati Manggarai Barat Agustinus Ch Dula, mempertahankan sikap tidak bijak dan tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat Manggarai Barat? Bahkan terakhir membangkangi Surat Menteri Dalam Negeri yang meminta agar Gubernur NTT Frans Lebu Raya menghentikan privatisasi dan mengembalikan lahan Pantai Pede kepada Pemda Kabupaten Manggarai Barat.

Untuk menjawab tanda tanya publik di atas, maka langkah tepat adalah mendorong KPK menindak Gubernur Frans Lebu Raya, Bupati Agustinus Ch. Dula dan Dirut PT. SIM atas dugaan korupsi terkait dengan privatisasi lahan Pantai Pede.

Penulis adalah Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia dan Advokat Peradi 

 

spot_img

Artikel Terkini