Lawan Korupsi di NTT, Akademisi dan Aktivis Bentuk “Getar Nusa”

Floresa.co – Sejumlah akademisi dan aktivis mendeklarasikan pembentukan sebuah lembaga yang akan mengadvokasi kasus-kasus korupsi di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Deklarasi lembaga yang disebut Gerakan Pemberantasan Korupsi Nusa Tenggara Timur (Getar Nusa) itu diadakan di Kupang, Selasa, 13 September 2016.

Pendirian lembaga tersebut bermula dari keresahan pengamat politik Boni Hargens yang beberapa waktu lalu menuding sejumlah bupati di NTT “loyo” dan “sontoloyo,” hal yang ia sebut sebagai pemicu kian suramnya kondisi NTT.

BACA: Boni Hargens: Buktikan Kalau Saya Salah!

Tidak hanya gagal melahirkan terobosan-terobosan dalam pemerintahan, kata Boni, para pemimpin loyo dan sontoloyo juga terindikasi melakukan korupsi.

Pernyataan Boni kala itu disambut beragam, di mana sebagian orang meminta agar ia membuktikan pernyataannya. Boni bersama para relawan pun berkomitmen mengungkap praktek-praktek busuk para pemimpin di NTT, tanah kelahirannya.

Dampak Korupsi

Dalam keterangan tertulis yang diterima Floresa.co, Selasa, Boni mengurai korupsi menjadi pemicu terjadinya kemiskinan, pengangguran, buta huruf, busung lapar, juga human trafficking.

“Korupsi adalah masalah utama di balik kemiskinan dan kemelaratan yang dirasakan rakyat NTT,” katanya.

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia Corruption Watch (ICW) melansir NTT menempati urutan keempat dalam hal provinsi dengan kasus korupsi tertinggi. Terdapat 30 kasus korupsi dengan nilai kerugian negara sebesar Rp 26,9 miliar, demikian ICW.

Kata Boni, sejumlah kajian memang menunjukkan bahwa semakin tinggi angka kemiskinan dan pengangguran, semakin tinggi pula angka korupsi yang dilakukan para pejabat daerah.

“Bahkan banyak tren di beberapa kabupaten di daerah, banyak sekali anggota DPRD yang berubah status menjadi kontraktor proyek APBD. Mereka lupa mengurus rakyat, tetapi lebih suka memburu rente,” tegas mereka.

Korupsi, menurutnya, menjadi bagian dari perilaku elit dan bagian dari cara elit menjalankan kuasa.

“Itu artinya, korupsi bukan hanya masalah moralitas dan hukum. Benar bahwa koruptor itu pencuri, maka dianggap buruk secara moral dan melanggar hukum,” katanya.

“Namun, analisis ekonomi-politik menukik lebih dalam bahwa korupsi itu bagian dari proses menjadi elit, menjadi kaya dan berkuasa. Tanpa korupsi, birokrat, politisi dan pebisnis, akan menjadi rakyat kebanyakan. Pendapatan mereka tumbuh secara alami sesuai dengan pendapatan mereka. Dengan korupsi, mereka menjadi elit.”

Korupsi, lanjutnya, melanggengkan relasi kelas dan menyebabkan ketidakadilan sosial, karena memblokir akses rakyat miskin mendapat manfaat dari pembangunan.

“Dengan demikian, korupsi adalah bagian dari colonity of power atau praktek keterjajahan yang dilakukan para elit terhadap rakyat. Melalui korupsi mereka mengambil bagian yang menjadi hak rakyat dan menjadikan rakyat terbelakang,” katanya.

“Secara ekstrem saya katakan, korupsi bisa disebut sebagai penjajahan, penindasan baru dalam dunia modern, karena dilakukan secara legal dan sistematis. Elit-elit politik dan ekonomi itulah yang disebut penjajah dan rakyat adalah kaum terjajah.”

Menurut Boni, dalam konteks ini, rakyat miskin bukan karena mereka malas bekerja, tetapi karena pola pembangunan tak menguntungkan mereka.

“Itulah yang bisa menjelaskan mengapa semakin tahun semakin banyak proyek pembangunan mengalir ke daerah, tetapi rakyat masih hidup miskin. Program-program besar pun didesain atas nama kemiskinan, tetapi di tangan elit uang rakyat dihabisi secara sistemis,” tegasnya.

Upaya Perlawanan

Sebagai bagian dari praktek elit, kata dia, maka harus ditemukan solusinya melalui gerakan meruntuhkan status quo yang dibangun dengan korupsi politik dan ekonomi.

“Langkah pemerintah memerintahkan aparat birokrasi untuk menghemat anggaran, menyelanggarkan pertemuan di gedung pemerintahan, bukan di hotel, adalah langkah kecil yang perlu dikembangkan agar menjadi budaya,” katanya.

Namun, jelasnya, butuh gerakan masyarakat sipil, karena melawan korupsi adalah agenda seluruh rakyat.

“Atas dasar itu, Getar Nusa dibentuk,” tegasnya.

Ia menjelaskan, mereka mengusung semangat untuk mewujudkan pemerintahan daerah yang baik dan bersih, mewujudkan Revolusi Mental di lingkungan elite politik dan membangun kesadaran politik masyarakat serta mewujudkan NTT sebagai provinsi yang bersih dari korupsi dan bebas dari kemiskinan.

Getar Nusa, juga tegasnya, dibentuk dalam rangka membumikan nawacita yang menjadi gagasan pokok pemerintahan Presiden Jokowi.

“Kenyataan bahwa sudah seringkali Presiden Jokowi mengunjungi NTT, namun geliat perubahan belum tampak.”

Selain Boni Hargens, yang adalah ketua ketua dewan penasehat Getar Nusa, juga bergabung Utje Gustaaf Patty sebagai wakil ketua.

Anggota penasehat antara lain termasuk Ferdy Hasiman, Muhamad Jayadi, Event Lero, Umbu Pariangu, Handoko Anggraito dan Usman Gumantik.

Dewan pengawas ditempati oleh Gilbert Baoen sebagai ketua serta anggota William Koba dan Sulistyowati. Sementara pengurus harian diketuai oleh Florianus Sambi Dede, Hildebertus Selly sebagai sekertaris, Yani Rewos sebagai di divisi struktural, Yogi Bubu di divisi fungsional serta Alfred Radja di divisi humas. (ARJ/ARL/Floresa)

spot_img
spot_img

Artikel Terkini