HUR RI ke-71: Menuju Era Baru

Oleh: YULITA HETY SUJAYA

Setiap tanggal 17 Agustus, seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke merayakan hari kelahiran bangsa Indonesia.

Tahun ini, bangsa Indonesia merayakan hari ulang tahunnya yang ke-71. Jika disandingkan dengan usia manusia, tentu saja usia tersebut tidak layak lagi disebut sebagai usia muda.

Pekikan keras kata merdeka biasanya menjadi nyanyian oleh seluruh rakyat Indonesia pada moment kelahiran bangsanya.

Namun yang menjadi pertanyaannya adalah apakah teriakan kata merdeka tersebut benar-benar lahir dari kedalaman hati sebagai perwujudan rasa bangga atas hari ulang tahun bangsa Indonesia  yang ke-71 ataukah hanya sebuah bentuk seremonial yang nirmakna?

Tulisan ini merupakan suatu bentuk pemaknaan terhadap momen kemerdekaan sekaligus menghantar pembaca pada sebuah permenungan akan berbagai realitas sosial yang terjadi selama 71 tahun  bangsa kita.

Kemerdekaan yang memerdekakan

Perjalanan panjang bangsa Indonesia mulai dari perjuangan melawan hegemoni para penjajah hingga saat ini (baca: usia ke 71) tentu saja bukanlah hal yang mudah dan dianggap sepeleh.

Apresiasi yang setinggi-tingginya tentu saja pantas disematkan kepada para pahlawan yang sudah gugur di medan pertempuran. Mereka yang sudah berjuang dan bekerja keras hingga kita bisa menikmatinya.

Seiring bertambahnya usia, bangsa yang dahulu sudah digagaskan oleh para founding father untuk menjadikan bangsa yang sejahtera ternyata masih jauh dari harapan. Berbagai macam polemik datang silih berganti menghiasi lembaran sejarah bangsa. Sebut saja berbagai kejahatan yang tidak layak dipertontonkan pada khalayak publik seperti korupsi, kemiskinan, narkhoba dan ketidakadilan sosial.

Persoalan-persoalan tersebut hampir pasti selalu ada setiap saat dan terus menerus diberitakan oleh media. Idealnya kemerdekaan itu dimaknai sebagai upaya untuk membebaskan diri dari beragam persoalan sosial yang ada di masyarakat. Namun dalam kenyataannya hal tersebut masih sangat sulit untuk diaplikasikan oleh seluruh elemen bangsa.

Hemat saya, momentum perayaan 17 Agustus perlu dimaknai dan dipahami secara lebih luas dan mendalam lagi. Momentum ini bukan hanya sekedar mengibar bendera merah putih lalu memberi penghormatan dan menghabiskan dana yang banyak untuk membiayai beragam kegiatan.

Lebih dari itu, momentum perayaan 17 Agustus harus dimaknai sebagai moment untuk memonitoring struktural dan cultural bangsa Indonesia. Persoalan sistem (struktur) mulai dari kalangan bawah atau akar rumput hingga kalangan atas (kaum elite) perlu diselidiki lagi supaya tidak terjadi ketimpangan dan menumbuhkembangkan budaya kapitalisasi serta monopoli kekuasaan.

Selanjutnya, masalah kultural perlu dicermati juga. Sistem pendidikan yang bertujuan untuk memanusiakan manusia sebagaimana yang digagas oleh Paulo Freire harus dikembangkan lagi sehingga masalah seperti krisis moral bisa diminimalisir.

Lebih jauh lagi, momentum hari kelahiran bangsa Indonesia harus dilihat sebagai moment untuk meningkatkan fungsi pengawasan dan pengontrolan satu sama lain (rakyat dan pemerintah).

Sikap keterbukaan melalui forum dialog bersama dengan seluruh elemen bangsa mampu menumbang berbagai persoalan krusial yang tengah melanda bangsa Indonesia.

Merdeka sesungguhnya lepas dari beragam persoalan yang menyakitkan menuju era baru, era dimana seluruh rakyat merasakan angin segar kesejahteraan, era dimana seluruh rakyat tidak dipolitisir oleh negara lain serta era dimana kita mampu menunjukkan jati diri sebagai rakyat Indonesia yang bermartabat dan berharga di mata negara lain.

Merdeka!!!

Penulis adalah Guru di SMAK Setia Bakti, Ruteng

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini