Pemimpin dan Haru Biru Politik

Oleh: ALFRED TUNAME

Bagi yang mengira bahwa “politik itu kotor”, bacalah Gandhi. Bagi yang berdalih bahwa politik itu muslihat, bacalah Gandhi. Demikian tulis Goenawan Mohammad dalam Catatan Pinggir Tempo, 18 Februari 1978.

Mari kita bersepakat dengan itu. Dengan belajar dari Gandhi, publik akan menjumpai politik tak selamanya kotor, penuh muslihat dan beranak intrik. Politik lahir dari kerendahan hati untuk melayani rakyat dan membela yang lemah. Di situ, harga diri politisi diuji. Di situ, karakter politisi diasah.

Seorang Gandhi percaya bahwa setiap orang itu baik. Ia pun dengan rendah hati mengakui sisi baik kolonial Inggris saat itu.

Yang ia benci adalah sikap tamak dan haus kekuasaan pemerintahan kolonial Inggris yang merendahkan martabat warga negara India.

Melalui setyagraha (perjuangan tanpa kekerasan), Gandhi meruntuhkan benteng arogansi politik pemerintahan kolonial Inggris dan mengusir penjajah itu dari tanah airnya.

Gandhi sebagaimana dikenal, tetap rendah hati dalam berpolitik.

Politik kian mengharu biru bila kerendahan hati luput dari rahim politik itu sendiri. Tak pelak politik ditaruh pada logika ketamakan akan kekuasaan sekaligus merayakan arogansi representasi sosiopolitik demi kekuasaan itu sendiri.

Atas praktik politik seperti ini, demokrasi kian berjalan pincang. Artinya, para elite politik terus menerus melakukan akrobat dalam drama politik sementara rakyat terus dibiarkan menjadi penonton.

Bukan itu saja, publik dipaksa bingung dan tak mengerti oleh sikap dan pandangan politik elite yang terus menerus menebar fitnah dan cemooh.

Boleh jadi, politik merupakan perang menguasai wacana. Dengan begitu, setiap argumentasi dan informasi diarahkan untuk menyerang lawan sekaligus menimbun pertahanan diri yang kuat.

Maka, tidak heran bila terjadi perang saraf dengan mengirim signal pencaplokan di antara para elite politik. Komunikasi politik diarahkan untuk menguasai satu sama lain.

Jika argumentasi politik itu benar secara rasional, maka rakyat diuntungkan sebagai bekal pengetahuan politik yang benar. Tetapi yang lebih banyak muncul adalah sentimen-sentimen politik yang dihembuskan untuk mengalahkan lawan politik dengan penistaan dan pemfitnahan.

Tidak heran pula, informasi-informasi usang digotong dan timbun kembali untuk mematahkan niat politik seseorang.

Padahal, semua persoalan itu sudah selesai dan telah tuntas di hadapan kebenaran dan keadilan.

Berpolitik sekiranya selalu luhur bila diamalkan sesuai dengan prinsip etika dan moral. Di dalamnya ada sikap saling menghargai, mengakui dan bersaing secara sehat.

Thomas Aquinas menulis, “maksud yang baik tidak dapat membenarkan tindakan yang jahat”.

Jika politik benar-benar diarahkan pada kekuasaan, maka kekuasaan harus dirayakan demi kebaikan bersama.

Melalui politik, seorang politisi menyampaikan ide dan gagasan, visi dan misi untuk mendapat simpati pemilih (masyarakat).

Selebihnya, seorang politisi harus memahami regulasi dan mengikuti regulasi yang berlaku di negara ini. Dengan begitu, ia menjadi seorang politisi yang bersih yang dapat diandalkan untuk menjadi pemimpin masyarakat.

Tentu negara tidak melarang seseorang untuk menjadi pemimpin daerah. Tetapi seorang politisi yang ingin menjadi pemimpin harus bisa mengukur dirinya sendiri.

Artinya, politisi tersebut memiliki kualifikasi kepemimpinan dalam dirinya.

Pemimpin bukanlah seorang tukang judi, tukang spekulasi, koruptor, pelaku kriminal, sakit mental, dan berbagai kategori negatif lainnya. Dengan era keterbukaan saat ini, masyarakat sudah dapat menilai pemimpin yang diinginkan.

Larry Diamond menulis, demokrasi membutuhkan persetujuan. Demokrasi politik diarahkan untuk mendapatkan persetujuan publik.

Di sini, kekuasaan politik mengandaikan adanya persetujuan dan pengakuan masyarakat kepada seorang pemimpin. Pemimpin harus lahir dari masyarakat dan ada bersama masyarakatnya.

Kualifikasi pemimpin seperti ini sangat penting sebab ia dekat dengan penderitaan dan kebahagiaan masyarkat. Seorang pemimpin yang baik tidak datang dari jauh, lalu bertindak seperti ayam di kala senja, “datang hanya untuk bertengger”.

Pemimpin yang dekat pasti sudah pernah bersama-sama masyarakat menyelesaikan persoalan bersama. Ia tidak datang untuk menguasai lalu setelahnya hilang tak tersentuh (elitis).

Persisnya, menyambung Diamond, persetujuan membutuhkan kedekatan dengan publik.

Jangan sampai persetujuan mengorbankan persetujuan, sebab jika demikian publik akan terkena tulah “habis manis sepah dibuang”.

Oleh karena itu, masyarakat perlu menilai dengan bijak kualitas pemipinnya. Manuver politik yang dilakukan dengan intrik, caci-maki, sensasi, pencitraan dan mobilisasi merupakan langgam politik dangkal yang justru balik membahayakan masyarakat itu sendiri.

Publik perlu belajar dan mengambil nilai dari seorang politisi seperti Gandhi. Kerendahan hati, tidak membenci “musuh” dan membebaskan kaum miskin adalah moral politik yang harus kita sandingkan di hadapan muka para politisi kita.

Bagi kita, pelajaran tentang moral politik “Gandhian” itu kian penting untuk masuk dalam konteks politik Pilgub NTT 2018 dan Pilkada Manggarai Timur 2018.

Masyarakat politik tidak boleh terpedaya dan terprovokasi oleh intrik dan isu politik kotor.

Bersamaan dengan itu, calon pemimpin pun tidak boleh terpedaya dan tergiur oleh kekuasaan dan tipu-tapu para penjilat dan spekulan politik yang ada di dekatnya.

Untuk kebaikan bersama, pemimpin politik harus lahir dari proses dialektika dan proses demokrasi luhur, bukan dari sikap tamak kekuasaan dan balas dendam.

Penulis adalah Direktur Lembaga Neralino (Network On Reform Action for the Well-being of Indonesia)

spot_img
spot_img

Artikel Terkini