Mabar dan Ironi Pembangunan Pariwisata

Oleh: GREGORIUS AFIOMA

Kabupaten Manggarai Barat di Provinsi Nusa Timur (NTT), menjadi salah satu tulang punggung sektor pariwisata nasional tatkala Labuan Bajo, ibu kota Kabupatennya, terpilih menjadi salah satu dari 10 tujuan pariwisata prioritas 2016.

Melalui penetapan itu, pembangunan sektor pariwisata digenjot habis-habisan dan diharapkan meningkatkan kunjungan wisatawan. Target kunjungan pada tahun 2019 adalah 500 ribu kunjungan dengan penerimaan devisa negara sekitar 20 triliun. Itu artinya, perlu ditingkatkan lima kali lipat dari jumlah saat ini yang masih sekitar 95,475 kunjungan pada 2015.

Target tersebut adalah menyongkong rencana pembangunan sektor pariwisata Nasional. Pada tahun 2019, target penerimaan dari sektor pariwisata adalah 20 juta wisatawan dengan pendapatan sekitar US$ 20 milliar atau 260 trilliun. Pada tahun 2015, jumlah kunjungan wisatawan di Indonesia mencapai 10 juta kunjungan dan penerimaan sekitar US$ 10 milliar. Dua kali lipat dari jumlah sekarang.

Rencana pembangunan sektor pariwisata yang masif tersebut mengimpilikasikan dua hal. Pertama, pembangunan itu akan memperparah pencaplokan atau pengambilalihan penguasaan dan kontrol atas sumber daya publik seperti air, laut, pulau-pulau, pesisir, pantai, dan tanah di Labuan Bajo. Kedua, kebijakan itu akan memperparah narasi ketidakadilan sosial dan akhirnya menyangsikan realisasi cita-cita pancasila dan UUD 1945 pasal 33 tentang pemanfaatan sumber daya publik bagi kepentingan bersama.

Atraksi Alam dan Budaya

Yang paling mencolok dari pariwisata di Manggarai Barat adalah keeksotikan alamnya dan keberadaan satwa langka, Komodo (Varanus komodoensis). Dari luas wilayahnya sekitar 9, 450 km2, luas daratannya hanya 36 persen, sisanya adalah lautan. Dari luas daratan yang ada, sebagian kecilnya ditempati sekitar 200 ribu penduduk, sedangkan 80 persen masih belum dimanfaatkan. Hal itu menunjukkan sebagian besar alam Manggarai Barat masih alami dan diasumsikan cocok pengembangan pariwisata ekoturisme.

Pariwisata di Labuan Bajo mulai menggeliat sejak satwa langka Komodo ditetapkan sebagai Warisan Alam Dunia, Tanah Manusia serta Biosefer oleh UNESCO pada tahun 1986. Kunjungan wisatawan periode 1980-1990-an mencapai 20-40 ribu wisatawan per tahun. Bertambah menggeliat pada era desentralisasi dengan fokusnya tidak hanya Komodo, tetapi juga wisata bahari, pemandangan alam, dan atraksi budaya. Wisata bahari dalam kawasan TNK, misalnya, dinobatkan sebagai destinasi snorkeling terbaik dunia atau Worlds Best Snorkeling Destinationberdasarkan survei CNN pada 2015.[1] Ada sekitar 1000 jenis ikan, 260 jenis karang dan 70 jenis bunga karang (sponge) dan banyak invertebrata lain yang dapat di jumpai di banyak tempat di Taman Nasional ini.[2] Kemudian lebih dari 170 pulau yang menyajikan pesisir, pantai, dan pemandangan yang indah.

Lantas, bagaimana sektor pariwisata berkembang dalam konteks yang masih didominasi pesona alam itu?

Karakter Pariwisata

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, ada dua karakter pariwisata dalam konteks Indonesia umumnya dan NTT khusunys yang mesti dipahami. Pertama, budaya berwisata tidak identik dengan warisan bangsa Indonesia. Pariwisata selalu dipandang identik peradaban Barat terutama dalam paham globalisasi. Globalisasi adalah bentuk intensifikasi relasi lintas dunia dimana apa yang terjadi di tingkat lokal dipengaruhi oleh kejadian di tempat yang sangat jauh sekalipun dalam cara tertentu (Giddens, 1991, 64).

Mengenai asal-usulnya itu, globalisasi selalu dikaitkan perkembangan kolonialisme yakni berkembang sekitar abad ke-16 bersamaan dengan penemuan teknologi, ide kapitalisme, dan kemajuan sains. Pertautan antara globalisasi dan pariwisata saling meneguhkan satu sama lain. Ditandai oleh mobilitas manusia, pergerakan modal kultural, penggunaan teknologi, dan pengaruh media, unsur-unsur pariwisata tersebut juga dipandang sebagai penyebab dan konsekuensi dari globalisasi.

Karena itu, harus dicatat bahwa pariwisata di era modern terintegrasi pula dengan unsur-unsur pembentuk globalisasi seperti sistem ekonomi kapitalis, teknologi, dan perkembangan media komunikasi.

Kedua, pariwisata dalam konteks Manggarai Barat diaplikasikan tanpa didahului perencanaan, pertimbangan-pertimbangan dan persiapan yang matang. Masyarakat secara umum belum paham bagaimana mereka seharusnya berpartisipasi dalam pariwisata dengan segala logikanya. Janji-janji pariwisata seperti ramah lingkungan, mudah menciptakan lapangan kerja, dan diversifikasi model ekonomi, diterima begitu saja sebagai sektor pendorong kemajuan ekonomi.

Wisata di Indonesia, terutama di daerah-daerah Indonesia Timur, berkembang dalam ‘kejutan’ Otonomi Daerah. Meski sudah dalam agenda pembangunan nasional sejak pemerintahan Soekarno dan Soeharto, pariwisata belum berkembang signifikan. Pada era Orde Baru, sektor pariwisata sempat menjadi sektor penerimaan devisa keempat terbesar, yakni mencapai lebih dari 5 juta pengunjung pada tahun 1997. Namun tidak digenjot lantaran alergi dengan kebangkitan komunisme yang bisa saja masuk melalui kegiatan berwisata. Rezim Orba menjalankan pemerintahan otoritarianisme dengan model pengambilan keputusan yang terpusat dan birokratis. Hanya Bali yang difokuskan menjadi ikon sektor pariwisata.

Era desentralisasi lantas membuka peluang yang lebih leluasa kepada daerah-daerah untuk mempromosikan potensi daerah. Penguatan kewenangan pada kepala daerah membuat mereka bisa langsung terhubung dengan korporasi global dan mengambil keputusan-keputusan sentral bagi rakyat di wilayah kekuasaannya.

Dalam kasus Provinsi Nusa Tenggarai Timur terutama di Labuan Bajo, perkembangan sektor pariwisata adalah unik. Meskipun pariwisata sangat menjanjikan, dengan kandungan kekayaan alam yang begitu kaya, pada saat yang sama pertambangan menjadi salah satu sektor pendongkrak ekonomi. Namun ironi pertambangan membuatnya diprotes di mana-mana termasuk di Labuan Bajo pada tahun 2008. Konsekuensinya, pariwisata lantas dipandang satu-satunya yang baik dan tepat.

Akibatnya, atas nama perbaikan nasib masyarakat NTT, pembangunan pariwisata satu-satunya yang harus digenjot habis-habisan. Istilah-istilah seperti “kesempatan” atau “potensi” ekowisata memberikan kesan bahwa pariwisata sudah terbukti sukses. Secara berturut-turut berbagai kegiatan promosi pariwisata digelar, antara lain penyelenggaraan Sail Komodo (2013) yang menelan anggaran sekitar 3,7 triliun dan penyelenggaraan Tour de Floresdengan anggaran sebesar 32 miliar. Ditambah perbaikan bandara udara senilai 191 miliar disertai penambahan jumlah maskapai, landasan pacu yang diperpanjang, dan jam terbang yang diperlama, dan menfasilitasi peningkatan jumlah kapal pesiar yang datang ke Labuan Bajo meningkat. Semua kegiatan itu difasilitasi pejabat dan pemimpin daerah.

Dengan demikian, corak pariwisata tidak hanya ditandai oleh integrasi sistem ekonomi global, tetapi juga menggambarkan kegamangan masyarakat lokal berpartisipasi di dalamnya ketika pemimpin daerah memiliki kewenangan yang sentralistis dan cenderung sewenang-wenang.

Resources Grabbing

Tidak sebagaimana yang dijanjikan, sejak ditetapkannya NTT sebagai daerah pendukung pariwisata dalam Master Plan Percepatan Pembangunan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesi (MP3EI), 2011-2025, saat itu pula paradoks pembangunan pariwisata sudah kentara. Karena pariwisata tidak tampak sebagai pariwisata per se dan pengubah nasib masyarakat, pariwisata justru berwajah ideologi kapitalisme terwujud lewat upaya privatisasi dan pencaplokan sumber daya publik (resources grabbing), yakni pengambilalihan penguasaan dan kontrol atas kepemilikkan, manfaat, dan akses sumber daya publik dari bersama dan dari negara menjadi penguasaan oleh korporasi dan perorangan.

Dalam cara pandang itu, pembangunan sektor pariwisata adalah mesin akumulasi modal. Jika dalam pertambangan, akumulasi modal tercipta melalui proses pengambilan dan pengelolahan material mangan, dalam pariwisata ditempuh melalui penguasaan atau kontrol atas pulau-pulau, pesisir, wilayah laut, tanah, air, dan pemandangan. Akibatnya, semua sumber daya publik itu dikuasai dan disulap menjadi komoditi agar bisa dikonsumsi.

Di Labuan Bajo, pencaplokan sumber daya publik sudah berlangsung masif yang menyebabkan marginalisasi masyarakat lokal. Tercatat beberapa pulau sudah dikuasai dan “dibeli” orang asing seperti pulau Bidadari, Kanawa dan Sebayur. Bahkan penjualan pulau-pulau terpampang di laman digital, seperti penjualan pulau Punggu diwww.skyproperty.com beberapa tahun lalu. Tidak adanya regulasi yang jelas membuat wilayah pesisir dan pantai-pantai diklaim secara privat. Bahkan pantai publik satu-satunya, Pantai Pede sudah diprivatisasi oleh PT. Saran Investama Manggabar (PT.SIM), milik pengusaha dan politisi nasional, Setya Novanto. Harga tanah pun melonjak mahal. Per meter persegi, sudah mencapai 400 ribu-satu juta.

Marginalisasi tidak hanya tercipta melalui mekanisme pasar, tetapi juga melalui regulasi dari pemerintah. Aturan dalam kawasan Taman Nasional Komodo adalah contohnya. Atas nama konservasi, aturan zonasi membuat masyarakat lokal yang sebagian besar nelayan tidak boleh sembarang menangkap ikan. Mereka seringkali dilabeli sebagai perusak ekosistem laut. Sementara, penguasaan dan bangun resort dalam kawasan TNK diperbolehkan. Bahkan, berseliweran kapal-kapal pesiar dan operator wisata diving dan snorkeling yang tidak saja memperoleh manfaat paling besar dari sektor pariwisata yakni 75 persen, tetapi juga menganggu ekosistem laut.

Karena itu, alih-alih membawa kesejahteraan, pembangunan sektor pariwisata adalah narasi tentang apa yang membuat rakyat miskin, bagaimana mereka menjadi tetap miskin, dan mengapa mereka menjadi semakin miskin (Dale, 2013).

Ketidakadilan Sosial

Selain itu, pariwisata boleh terbukti mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi gagal meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara umum. Kue pariwisata tidak terbagi merata, sebaliknya menggambarkan ketidakadilan sosial. Yang kaya bertambah kaya dan kemiskinan malah semakin menggurita.

Jika dihitung-hitung, dengan jumlah pengunjung mencapai 90 ribu wisatawan per tahun dan pengeluaran rata-rata 1 juta per hari, maka jumlah uang yang beredar bisa mencapai Rp 90 triliun. Ini bisa hitungan minimal mengingat lamanya waktu tinggal belum dimasukkan. Tahun 2012, peredaran uang sudah mencapai lebih dari Rp 838 miliar.

Namun dari jumlah itu, sebagian besar diterima oleh operator wisata dan pengusaha kapal wisata (75,55 persen). Sebanyak 2,09 persen diterima oleh pengelolah TN. Komodo dan pemerintah daerah. Sebanyak 22, 36 persen terdistribusi pada pengusaha hotel, restoran dan toko retail/ souvenir. Sementara manfaat pariwisata bagi masyarakat setempat sangat kecil karena penyerapan tenaga kerja yang terbatas sebagai akibat rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan yang dimiliki masyarakat (Wahyuti, 2013: 53).

Menarik juga menyimak siapa pemilik usaha operator wisata dan kapal wisata serta usaha hotel dan restoran di Labuan Bajo. Sampai dengan tahun 2013, baru satu orang lokal yang menjadi pemilik operator wisata. Selebihnya milik orang asing, termasuk yang menjadi dive master. Tenaga kerja didatangkan dari Bali karena orang-orang lokal dinilai belum siap. Begitu pula kepemilikan hotel dan restoran yang jumlahnya sudah mencapai lebih dari 40 hotel di Labuan Bajo. Sebagian besar milik orang asing. Bisa disimpulkan bahwa keuntungan terbesar pariwisata pertama-tama bukan untuk orang lokal melainkan orang asing atau kaum pemodal yang menguasai sumber daya tersebut.

Karena itu, promosi pariwisata yang menggunakan APBD dan APBN seperti Sail Komodo dan Tour de Flores, tidak lain adalah bagian dari konspirasi pencaplokan sumber daya publik. Karena Labuan Bajo dengan segala isinya sudah berubah menjadi komoditi yang hanya dikuasai segelintir orang, namun dipromosikan oleh uang bersama (rakyat). Juga dikatakan pencaplokan karena proyek-proyek pembangunan itu justru tidak ada kaitannya dengan peningkatan mutu pariwisata di Flores, tetapi lebih sebagai upaya menciptakan ‘proyek’ untuk mendapatkan dana dari pemerintah pusat. Melalui ‘proyek’ ini, pemerintah daerah, dalam hal ini oknum birokrat dan politisi yang terlibat, ingin memperdayai pemerintah pusat demi kepentingan ekonomi politiknya sendiri (Mariberth Erb, 2008). Uang tidak lagi menjadi sarana, tetapi menjadi tujuan dari proyek-proyek tersebut.

Tidak heran, di tengah anggaran-anggaran proyek bernilai fantastis, masyarakat justru tidak merasakan manfaatnya. Sebagai contoh, adalah proyek air yang merupakan kebutuhan dasar. Proyek air minum bersih selama Sail Komodo sudah mencapai lebih dari 30 miliar, namun krisis air selalu momok di kota Labuan Bajo. Baru 24 persen rumah penduduk yang dialiri air PDAM. Itu pun di beberapa tempat mengalir hanya dua kali seminggu. Di tengah kondisi demikian, penjual air dibiarkan, akibatnya harga air mencapai 70-130 ribu per tangki. Dengan penghasilan sekitar 850 ribu (pekerja cleaning service di bandara), pengeluaran untuk air bisa mencapai separuh dari penghasilan (Stroma dan Marta Tulis, 2015).

Dalam statistik, kondisi-kondisi ketidakadilan itu direpresentasikan oleh angka kemiskinan. Manggarai Barat masih termasuk kabupaten tertinggal (miskin) dalam peraturan Presiden Nomor 131 Tahun 2015 tentang Penetapan daerah Tertinggal (2015-2019). Dari 1,8 juta jiwa penduduk Flores, terdapat 330.380 (17,33 persen) penduduk miskin, jauh lebih tinggi dari rata-rata nasional yakni 13,33 persen (BPS, 2010).

Jadi sebenarnya pariwisata tidak terbukti sukses mengatasi kemiskinan. Pariwisata adalah kedok dari kelas pemodal untuk menguasai sumber-sumber produksi seperti pemandangan, pulau, pesisir, tanah, air, dan laut. Dari pertimbangan itu, bisa dibayangkan apa yang terjadi jika jumlah wisatawan terus digenjot sampai lima kali lipat dalam empat tahun mendatang. Privatisasi dan pencaplokan sumber daya publik sudah pasti semakin terus terjadi dan ketidakadilan semakin tajam. Ancaman ekosistem laut dan Komodo juga menjadi semakin besar.

Karena itu, kontrol dan penguasaan pemerintah menjadi sangat penting. Keterlibatan masyarakat dalam keputusan-keputusan politik terkait pariwisata perlu didorong tentang apa yang perlu didahulukan dan didistribusikan manfaatnya. Tidak cukup masyarakat memahami kontribusi pariwisata hanya dalam bentuk perbaikan infrastruktur jalan dan sarana-sarana transportasi.

Masyarakat juga masih membutuhkan dukungan di tengah pariwisata berbasis pasar. Karena itu, perencanaan dan persiapan pemerintah harus matang dan mencerminkan nilai-nilai keadilan sosial. Tidak menghilangkan kedaulatan masyarakat dengan membiarkan keputusan-keputusan dipengaruhi desakan-desakan kapitalisme. Itu juga berarti rencana peningkatan wisatawan di tahun mendatang mesti dievaluasi. Sudah terbukti, pariwisata hanyalah kedok pencaplokan sumber daya publik dan upaya pemiskinan. Di tengah-tengah kekayaan sumber daya alam, kemiskinan tidaklah alami, tetapi masalah struktural.

Gregorius Afioma adalah peneliti di Sunspirit for Justice and Peace

[Artikel ini sebelumnya muat di Indoprogress.com]

spot_img

Artikel Terkini